Istilah jihad sering kali diartikan secara sempit. Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Dr. H. Amrisyah Tambunan, MA., ini termasuk penyalahgunaan kata jihad. Seolah-olah jihad hanya perang dan angkat senjata. Padahal kata jihad mengandung arti yang luas.
***
Terdapat penyempitan makna dalam kata jihad yang secara harfiah berarti bersungguh-sungguh. “Berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Allah menggunakan harta dan diri adalah jihad, jangan disalahartikan menggunakan harta dan diri untuk tindakan teroris, tidak boleh itu,” tandas Dr. H. Amirsyah Tambunan, MA.
MUI sebagai tempat berkumpulnya ulama dari berbagai ormas seperti NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, sudah punya sikap yang tegas pada gerakan radikal dan teroris yang selalu muncul silih berganti dari masa ke masa. Termasuk yang terakhir menjadi pemberitaan Khilafatul Muslimin yang pemimpin tertingginya Abdul Qadir Baraja ditangkap polisi.
MUI kata Amirsyah Tambunan dengan tegas menyatakan kalau gerakan teroris adalah haram. “MUI sendiri sudah punya fatwa, fatwa MUI teroris itu haram dengan segala bentuk atribut yang digunakan, seperti menggunakan kata khilafah, kata jihad, atau kata-kata lain yang disalahgunakan dalam bentuk kekerasan dan bentuk-bentuk lain seperti praktik bom bunuh diri. Itu bertentangan dengan ajaran Islam. Kata jihad itu wajib digunakan untuk kemaslahatan munusia,” katanya.
Sementara soal Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pada dasar negara Pancasila bagi MUI, lanjut Amrisyah Tambunan adalah final. “Ini adalah hadiah umat Islam terhadap Bangsa Ini. Kerelaan umat Islam yang sangat bijak dalam bernegara agar bangsa ini utuh ya lewat Pancasila,” tukasnya.
“Kalau Pancasila yang amat mahal harganya tidak dijunjung tinggi oleh warga bangsa ini, maka bangsa ini bisa terancam bubar. Kita engga mau itu, karena itu sikap MUI jelas. NKRI itu sudah final dalam bahasa lain harga mati,” tandasnya kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, dan Rifai dari VOI yang menemuinya di Kantor MUI Pusat, di bilangan Menteng, Jakarta Pusat belum lama ini. Inilah petikan selengkapnya.
Ancaman teroris di Indonesia itu bukan isapan jempol, sudah banyak ledakan bom dan aksi teror yang terjadi. Tidak sedikit yang tertangkap dan dipenjara, tapi terulang lagi. Bagaimana Anda melihat persoalan ini?
Secara umum ada dua hal dalam konteks ini. Persoalan teroris ini harus dijelaskan apa adanya bukan ada apanya. Mengapa apa adanya, karena teroris itu adalah bentuk extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Nyaris seluruh dunia sudah menggolongkan aksi teroris ini sebagai extraordinary crime yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Semua negara sudah sudah punya SOP (standard operating procedure) bagaimana mencegah dan menindak teroris. Indonesia sudah punya UU untuk menghadapi persoalan ini (UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU).
Bagaimana dengan MUI?
MUI sendiri sudah punya fatwa, fatwa MUI teroris itu haram dengan segala bentuk atribut yang digunakan, seperti menggunakan kata khilafah, kata jihad, atau kata-kata lain yang disalahgunakan dalam bentuk kekerasan dan bentuk-bentuk lain seperti praktik bom bunuh diri. Itu bertentangan dengan ajaran Islam. Kata jihad itu wajib digunakan untuk kemaslahatan munusia. Sebaliknya haram jika digunakan untuk kekerasan dan apalagi membunuh manusia.
Sebenarnya kata jihad itu sendiri seperti apa maknanya?
Kata jihad itu banyak disebut dalam Al Qur’an seperti dalam Surat Ash Shaf ayat 10-11. “Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.”
Teroris itu bisa jadi azab di dunia karena disalahgunakan. Karena juga bisa menjadi azab di akhirat karena membunuh orang sembarangan. Berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Allah menggunakan harta dan diri untuk adalah jihad, jangan disalahartikan menggunakan harta dan diri untuk tindakan teroris, tidak boleh itu.
Ada yang mengartikan jihad itu hanya perang, bagaimana menurut Anda?
Memang sering kali orang mengartikan jihad itu hanya dalam bentuk perang. Kalau seperti itu sempit sekali. Perang itu salah satunya, tetapi dalam konteks hukum internasional dinyatakan terjadi perang. Rasulullah sendiri melakukan perang, tapi ada aturannya. Indonesia ini Darussuluh atau Darussalam artinya negara yang damai. Bukan dalam konteks peperangan. Islam itu agama damai, rahmatan lil alamin. Jadi jihad itu bukan hanya perang, sungguh-sungguh memberantas kemiskinan dan kebodohan juga jihad namanya.
Bagaimana peran ulama dalam hal ini, kesannya Islam identik dengan kekerasan?
Kita sudah mengeluarkan fatwa, haram menggunakan kata jihad dengan meledakkan bom. Jihad itu wajib untuk perbaikan manusia. Berjuang sungguh-sungguh membebaskan manusia dari kebodohan. Itu jihad. Oleh karena itu, saya mengajak khususnya umat Islam untuk memahami konsep jihad dengan sebenar-benarnya.
Karena itu diperlukan 3 hal, pertama literasi, kedua edukasi dan yang ketiga sosialisasi. Ketiga ini punya peran penting di hulu dalam melakukan pencegahan. Sedangkan di hilir adalah penindakan, itu tugasnya aparat keamanan negara termasuk kepolisian.
Baru-baru ini pemimpin tertinggi gerakan Khilafatul Muslimin; Abdul Qadir Baraja ditangkap polisi, pendapat Anda?
Itu adalah domain kepolisian untuk melakukan tindakan. Saya hanya mengingatkan kepada polisi kalau bukti-bukti permulaan sudah cukup silahkan (bertindak) dilanjutkan. Itu adalah konsekwensi dari seseorang yang melampaui batas. Dalam UU tentang teoris ada dua pendekatan yang perlu dilakukan, pertama tindakan pencegahan kedua penikdakan. Tindakan pencegahan menurut saya jauh lebih efektif.
Seperti apa tindakan pencegahan itu?
Pencegahan dapat dilakukan dengan manusiawi; literasi, edukasi dan sosialisasi. Untuk yang terjadi pada Baraja itu wewenang Kepolisian. Ini bukan wewenang MUI. Kita tunggu saja penyidikan yang akan dilakukan.
Ternyata semangat untuk mendirikan negara dengan konsep dan idiologi selain Pancasila masih ada dan terus terjadi, artinya bagi sebagian orang konsep NKRI yang berlandaskan Pancasila belum final, bagaimana Anda melihat hal ini?
MUI sendiri sudah bersikap dalam Ijtima’ Ulama, Munas MUI berpandangan bahwa Indonesia dalam kontek NKRI bagi kami sudah final. Kenapa? Dalam konteks sejarah Indonesia ini lahir melewati sejarah yang panjang dalam mendirikan negara. Seperti dalam perumusan dasar negara Pancasila yang merumuskan 5 sila. Dari yang awal rumusan Piagam Jakarta, ada tujuh kata yang dicoret; dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Jadilah sila pertama seperti sekarang; Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ini adalah hadiah umat Islam terhadap bangsa ini. Kerelaan umat Islam yang sangat bijak dalam bernegara agar bangsa ini utuh ya lewat Pancasila. Kalau Pancasila yang amat mahal harganya tidak dijunjung tinggi oleh warga bangsa ini, maka bangsa ini bisa terancam bubar. Kita engga mau itu, karena itu sikap MUI jelas. NKRI itu sudah final dalam bahasa lain harga mati.
Begitu juga dengan ukhuwah, untuk menjaga keutuhan bangsa ini ukhuwah juga harga mati bagi saya. Ukhuswah Insaniah, ukhuwah Islamiyah, dan ukhuwah Wathania dalam berbangsa dan bernegara. Tapi ini tidak hanya kata-kata, harus benar-benar diimplementasikan agar bangsa ini utuh.
BACA JUGA:
Sejak pilgub DKI yang lalu polarisasi umat amat kencang dengan politik indentitas, diprediksi saat Pilpres 2024 nanti juga akan terjadi, seperti apa pendapat Anda?
Saya akan mengutip pendapat Hamka soal Pancasila. Pancasila itu sila pertama tambah nol menjadi sepuluh. Maksudnya sila pertama itu bisa lengkap saat keempat sila lainnya diiplementasikan. Sedangkan sila kedua, ketiga, keempat dan kelima dilaksanakan tanpa sila pertama jadinya nol. Kalau cuma sila pertama saja yang dilaksanakan tanpa sila-sila kainnya nilainya cuma 1.
Umat Islam yang terpolariasi bisa diselesaikan melalui nilai-nilai Pancasila. Persatuan harus diwujudkan, pemimpin harus bersikap adil. Jangan karena si A dan si B mau berkuasa lalu mengabaikan prinsip keadilan. Polarisasi terjadi karena pendidikan politik bagi warga negara kita ini kurang. Pak Ali Yafie pernah berpesan kita harus tahu diri, tahu menempatkan diri dan sadar diri.
Kita harus tanamkan ukhuwah, khususnya umat Islam. Semua umat Islam itu pengikut Muhammad, dalam Bahasa Arabnya Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan menyebutnya Muhammadiyah. Lalu kita butuh ulama yang kharismatik bisa mempersatukan ummat, itu ada di Nahdlatul Ulama (NU). Kita butuh persatuan Ummat melalui Ormas PUI (Persatuan Umat Islam). Kita butuh umat yang bersyarikat, ormasnya Syarikat Islam. Kita butuh yang bisa menyatukan umat dengan ormas Wahdah Islamiyah, dll. Ada 70 lebih ormas Islam, dan saya sering menyuarakan hal seperti ini. Karena saya tidak ingin umat Islam terpragmentasi gara-gara pilihan politik. Pilihan politik boleh beda, tapi ummat Islam harus bersatu.
Bagaimana dengan standardisasi ulama?
MUI melakukan pelatihan dalam bentuk standarisasi, bagaimana menjadikan penceramah ini punya standar. Standar kompetensi kemampuan yang bersifat substantif dan dia menguasai metodologi dakwah. Ustad kita bisa arif dan bijak menyampaikan ajaran Islam. Dakwah itu mengajak bukan mengejek. Dakwah itu merangkul bukan memukul.
Cara dakwah itu penting agar pesan bisa sampai kepada ummat. Banyak orang yang punya ilmu tinggi tapi cara penyampaiannya tak bisa, atau kurang menarik. Ada juga mubaligh yang ilmunya pas-pasan tapi penyampaiannya menarik, nah dia punya banyak jemaah.
Kesehatan Fisik dan Mental bagi Amirsyah Tambunan Harus Seimbang
Fisik dan mental memang berbeda, namun keduanya tak bisa dipisahkan. Kata Dr. H. Amrisyah Tambunan, MA., Sekjen MUI kondisi tersebut seperti dua sisi mata uang. Karenanya ia amat memerhatikan dua hal itu untuk menjaga kesehatan dirinya secara menyeluruh. Keduanya harus seimbang, tak bisa hanya memprioritaskan yang satu dan menafikan yang lain. Begitu juga sebaliknya.
“Ada satu ungkapan ahli kedokteran muslim terkenal; Ibnu Taimiyyah. Dia bilang kalau kita tenang sabar dalam menghadapi persoalan atau masalah itu sudah menyembuhkan separuh penyakit. Kalau kita panik dan punya beban stress yang tinggi hal itu akan mendatangkan lebih dari separuh penyakit,” katanya mengutip pendapat ilmuwan kesehatan muslim tersebut.
Fisik dan mental, kata Amirsyah memang tak sama, dan keduanya adalah satu kesatuan yang terdapat dalam diri seseorang. “Karena itu kita harus menjalani hidup ini dengan tenang, sabar, sehingga kita bisa tidur nyenyak, dan istirahat yang cukup,” ujar pria kelahiran Padang Gala-gala, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, 17 Mei 1963.
Kondisi tenang ini tidak hanya di lingkungan keluarga saja, namun harus meluas ke organisasi, masyarakat dan sebagainya. “Situasi lingkungan itu penting. Organisasi yang tensi konfliknya tinggi justru akan membuat seseorang harus meningkatkan imunitas dirinya lebih tinggi dari biasanya. Jadi situasi lingkungan itu juga penting,” paparnya.
Karena itu, Amirsyah Tambunan sering menyampaikan kepada jemaahnya saat berceramah soal lima kecerdasan manusia dalam menghadapi situasi sekitar. “Pertama kecerdasan intelektual. Kita rata-rata sama kecerdasan intelektualnya. Lalu kecerdasan spiritual, bisa berbeda. Satu tambah satu bisa 27. Ini perumpamaan dalam salat berjemaah, satu imam tambah satu makmum jadi salat berjemaah pahalaanya menjadi 27 kali lipat dari pada salat sendiri. Ada barokah, hidup kita sederhana, bayak bergaul dengan orang akan menjadi barokah,” kata Wakil Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan PP Muhammadiyah ini.
“Selanjutnya yang ketiga kecerdasan emsional. Ini yang sering kita sebut soft skill. Tabah, sabar, dan tawakkal. Yang keempat adalah kecerdasan sosial, bagaimana seseorang bisa bergaul dengan baik dengan orang di sekitarnya. Dan yang kelima adalah kederdasan entrepreneurship, ini juga tak kalah penting. Ekonomi yang tidak baik akan bikin repot dan berpengaruh pada banyak hal,” katanya.
Umat Islam, sambungnya, harus punya kewirausahaan. “Bukan hanya nikah yang sunnah, tijaroh atau berdagang alias mencari nafkah itu juga sunnah. Rasullullah bersama istrinya Khadijah adalah pedagang yang sukses,” lanjutnya.
Soalnya, dia melanjutkan kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. “Kemiskinan yang dimaksud dekat dengan kekufuran itu ada dua hal, kemiskinan iman dan kemiskinan harta. Kemiskinan iman sangat mempengaruhi. Seseorang yang imannya kuat namun miskin harta dia akan cari sekuat tenaga, puas dia setelah berusaha sekuat tenaga. Orang yang spiritualnya kuat meski profesinya hanya pemulung dia tetap bahagia dengan penghasilannya,” kata pria yang kerap disapa Buya ini.
Ada juga yang sebaiknya, hartanya banyak namun imannya lemah. “Yang dia lakukan kemudian korupsi. Akhirnya hidupnya menderita karena hartanya tidak barokah,” lanjutnya.
Menghadapi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini yang amat kompleks, kata Amirsyah menggunakan tips di atas agar tidak stress. “Tips inilah yang bisa digunakan dalam menjalani kehidupan berbangsa dna bernegara supaya tidak stress,” tandasnya.
Olahraga
Dalam konteks olahraga meski tidak melakoni semua olahraga yang disebutkan Rasulullah seperti jalan kaki, berlari, berkuda, memanah, dan berenang. Namun Buya Amirsyah memilih berjalan kaki.”Olahraga itu silahkan dilakukan sesuaikan dengan kemampuan fisik masing-masing. Kalau saya olahraganya jalan pagi saja selama setengah jam,” ungkapnya.
Ada siasat yang dilakukannya saat tak sempat berolahraga. Jalan dari tempat parkir menuju lokasi acara yang dia datangi. “Jangan manca kesan ke mari naik motor atau mobil membuat jalan kita kurang. Misalnya mencari parkir yang jauh agar bisa berjalan. Berjalan atau berolahraga itu bisa membuat stamina kita fit,” tandasnya.
Selain itu pola makan dengan gizi seimbang juga harus dilakukan. “Pola makan harus dijaga selain olahraga dan istirahat yang cukup,” katanya. “Dalam Islam kita diajarkan untuk memakan makanan yang halal dan toyyib. Asupan makakan yang halalan toyyiban itu akan mempengaruhi fisik kita,” imbuhnya.
Meski setahun lagi usinya 60 tahun, Buya Amirsyah masih bisa mengonsumsi semua makanan. “Alhamdulillah meski usia sudah 59 tahun dalam urusan makanan tidak ada yang dipantang. Artinya masih bisa memakan semua, tapi catatannya tidak boleh banyak, secukupnya saja,” tukasnya.
Orangtua
Di era pesatnya kemajuan teknolgi ia menyarankan kepada orangtua untuk mengawasi putra-putrinya. “Kepada para orang tua saya tekankan betul untuk mengawasi anak-anaknya agar tidak tergantung pada gadget atau telepon pintar. Kalau anak sudah lupa diri dan ketergantungan pada perangkat teknologi itu akan berbahaya,”katanya.
Sekarang ini kata dia ada orangtua yang senang anaknya diam di kamar dansibuk dengan gadgetnya. “Banyak orangtua yang tak tahu apa yang dilakukan anaknya di kamar. Apa yang ia lakukan dengan gadgetnya itu bisa merusak saat sudah lupa salat, lupa makan dan lupa kewajiban utamanya sebagai anak,” kata dosen di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Tujuan beragama itu, menurutnya adalah untuk menjaga akal pikiran, memelihara harta, memelihara keturunan, memelihara jiwa. “Dengan memelihara akal pikiran, memelihara harta, memelihara keturunan, memelihara jiwa, saya yakin berapa pun umur yang diberikan Allah kepada kita akan menjalani dengan sebaik-baiknya,” pungkas Amrisyah Tambunan.
“MUI sendiri sudah punya fatwa, fatwa MUI teroris itu haram dengan segala bentuk atribut yang digunakan, seperti menggunakan kata khilafah, kata jihad, atau kata-kata lain yang disalahgunakan dalam bentuk kekerasan dan bentuk-bentuk lain seperti praktik bom bunuh diri. Itu bertentangan dengan ajaran Islam.”