Eksklusif, Yudianto Tri: BLT Minyak Goreng Hanya Solusi Sesaat, yang Diperlukan Solusi Permanen
Menurut Yudianto Tri BLT hanya solusi sesaat. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

Bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng langsung digulirkan pemerintah untuk masyarakat miskin setelah gonjang-ganjing harga minyak goreng sebelum HET (harga eceran tertinggi) dicabut dan harga migor dilepas sesuai mekanisme pasar.  Menurut Yudianto Tri Ketua Umum INKOPPAS (Induk Koperasi Pedagang Pasar), BLT minyak goreng hanya solusi sesaat, yang diperlukan masyarakat adalah solusi permanen.

***

Harga minyak goreng  mulai merangkak naik sejak November 2021. Migor kemasan melambung hingga 24.000 per liter. Melihat keadaan ini pemerintah turun tangan dengan memberlakukan HET 14.000 perliter. Meski harga bisa dikontrol namun persediaan migor di pasar mulai langka.

Keadaan ini menurut Yudianto Tri aneh, soalnya Indonesia adalah negara produsen CPO terbesar di dunia. “Dari sidak yang dilakukan pihak berwajib, di sektor hulu tidak ada masalah.  Di pabrik-pabrik juga nggak ada masalah karena semuanya yang diproduksi   diserap oleh distributor. Permasalahannya itu ada di distributor. Dan itu ada penimbunan. Penimbunan inilah yang yang membuat minyak goreng langka,” katanya.

Diduga salah satu penyebab kenaikan harga ini kaerena disparitas harga CPO yang tinggi antara di dalam negeri dan luar  negeri membuat produsen CPO lebih senang melakukan ekspor karena keutungannya jauh lebih besar. CPO selain untuk kebutuhan pembuatan migor juga menjadi bahan baku untuk biodiesel.

Saat krisis moneter tahun 1998 harga minyak goreng juga melambung. Saat itu pemerintah melibatkan INKOPPAS untuk menstabilkan harga. Ketika itu HET minyak goreng mestinya 4.200 per liter,  pedagang membeli ke distributor  Rp3.600. “Tapi yang terjadi harga melejit sampai Rp8.000 hingga Rp8.500. Saat itu pemerintah mempercayakan INKOPPAS untuk turun membantu mendistribusikan harga minyak goreng. Dan alhamdulillah harga bisa turun hingga Rp4.000. Caranya langsung didistribusikan kepada pedagang di pasar,” katanya.

Inilah yang melandasi INKOPPAS mengajukan diri menjadi distributor migor. Menurut Yudianto Tri simpul kemacetan distribusi migor sejatinya sudah bisa dilacak. Namun pihak yang berwajib seperti enggan menyelesaikan persoalan ini. Yang ada hanya janji-janji untuk memenuntaskan persoalan namun kenyataannya tak ada. Pemerintah mencabut HET dan harga diserahkan pada mekanisme pasar. Berbagai pihak menilai ini adalah kekalahan pemerintah berhadapan dengan kartel migor yang ada di negeri ini.

Kemudian BLT dan subsidi dikeluarkan sebagai jurus untuk meredam amarah masyarakat. Apa yang dilakukan pemerintah dengan memberikan BLT migor Rp100.000 selama tiga bulan yang dibayarkan di muka dalam pandangan Yudianto adalah solusi sesaat, bukan solusi permanen. “Jadi solusisnya dari hulu hingga ke hilir dirapihkan semua,” tegasnya kepasa Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Safic Rabos dan Rifai dari VOI yang menemuinya di kantor INKOPPAS belum lama ini. Inilah petikannya.

Yudianto Tri meminta kepada instansi terkait akar INKOPPAS bisa menjadi distributor minyak goreng. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Yudianto Tri meminta kepada instansi terkait akar INKOPPAS bisa menjadi distributor minyak goreng. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Indonesia adalah produsen CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia, namun minyak goreng langka dan harganya tinggi, bagaimana Anda melihat fenomena ini?

Itulah keanehan yang terjadi di negeri kita. Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. Uniknya negara kita mengalami kelangkaan minyak goreng. Dalam industri minyak goreng, ada yang posisinya di hulu dalam hal ini perkebunan sawit. Di bawahnya ada pabrik pengolahan minyak sawit. Selanjutnya ada distributor, lalu ada pedagang pasar (retail/pasar moderen dan tradisional) yang langsung berhubungan dengan pembeli atau konsumen.

Dari sidak yang dilakukan pihak berwajib, di sektor hulu tidak ada masalah.  Di pabrik-pabrik juga nggak ada masalah karena semuanya yang diproduksi   diserap oleh distributor. Permasalahannya itu ada di distributor. Dan itu ada penimbunan. Penimbunan inilah yang yang membuat minyak goreng langka.  

Di mana posisi INKOPPAS dalam persoalan ini?

INKOPPAS  memiliki 18 PUSKOPPAS dan 2.689 KOPPAS (koperasi pasar) yang tersebar di seluruh Indonesia. Kami sudah mengusulkan kepada beberapa Kementerian terkait agar INKOPPAS bisa jadi distributor minyak goreng. Semoga dalam waktu tak lama lagi kita akan mendapatkan kepercayaan itu. Kalau menjadi distributor kami tidak akan menimbun, langsung disalurkan ke KOPPAS yang ada.

Peran INKOPPAS itu untuk melindugi dan mensejahterakan KOPPAS yang ada,  karena kita adalah tempat pedang-pedang pasar berkumpul untuk berbisnis bersama dalam wadah koperasi.

Apakah informasi soal ketersediaan minyak goreng sudah ada dari level distributor?

Dari sisi distributor tidak ada masalah, jumlah distributornya tetap bahkan akan makin bertambah, tapi yang dipermasalahkan adalah semua barang (migor) yang masuk yaitu tidak lancar masuk ke pedagang. Kita ambil contoh soal penimbunan,  pemerintah mengakui kalau itu ada. Kalau ada penimbunan mengapa tidak  ditangkap dan mingornya disalurkan ke publik. Satu lagi kasus penimbunan migor 1,1 juta ton yang terjadi di Deli Serdang Sumatera Utara, tapi mengapa hal itu bukan dikatakan penimbunan. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dan Bareskrim Polri sudah ke sana, dikatakan tidak ada penimbunan, maksudnya tidak  ditemukan bukti penimbunan. Ini aneh.

Pak Lutfi (Menteri Perdagangan) menyatakan ada ekspor ilegal 415 juta ton CPO. Tapi sampai sekarang kita tidak tahu siapa yang mengekspor dan apa tindakan yang diambil aparat, tidak tegas. Yang ada janji-janji kalau dalam waktu 3 atau 4 hari akan ada tersangka.Tapi sampai saat ini tidak ada itu. Ini keanehan yang terjadi. Publik hanya dihibur dengan janji-janji namun tindakan tidak ada. Buat apa itu semua, yang dibutuhkan adalah solusi.

Berikutnya yang terjadi HET minyak goreng kemasan dicabut, soal harga diserahkan kepada mekanisme pasar. Lalu harga minyak  goreng curah juga naik. Yang terjadi harga migor tak  terkendali. Kalau sudah begini pemerintah itu berpihak ke mana? Rakyat atau industri migor besar. Mustinya hal seperti ini tidak layak terjadi, kita harus membenahi semua ini.

Yudianto Tri tak setuju jika ibu-ibu dikatakan menimbun minyak goreng. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Yudianto Tri tak setuju jika ibu-ibu dikatakan menimbun minyak goreng. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Soal ibu rumah tangga yang sempat dikatakan melakukan penimbukan migor di rumah bagaimana  menurut Anda?

Kalau dikatakan ibu rumah tangga menimbun itu menyakitkan hati kita semua.Tidak ada ibu rumah tangga dan masyarakat yang menimbun minyak goreng. Yang ada mereka khawatir minggu depan apa masih bisa menggoreng. Kemudian apakah tukang gorengan yang di pinggir jalan itu minggu depan masih bisa jualan. Itulah kekhawatiran yang ada.

Pemerintah memberikan solusi mengeluarkan BLT minyak goreng Rp 100.000 perbulan selama tiga bulan yang dibayarkan di muka, tanggapan Anda?

Saya melihat BLT itu hanya hiburan semata, itu hanya solusi sesaat,  bukan solusi permanen. Tujuannya agar masyarakat tidak demo. Tidak ada yang bisa jamin kalau uang BLT migor itu untuk membeli minyak goreng. Mestinya ini tidak perlu dilakukan.

Ada info di lapangan minyak goreng curah dikemas dan dijual di pasar, bagaimana dengan hal ini?

Minyak goreng curah itu bersubsidi, tidak boleh dipasok untuk minyak goreng kemasan. Tidak boleh dikemas, karena jadinya minyak gireng kemasan dengan harga yang tinggi. Apa yang diberikan pemerintah melalui subsidi minyak goreng curah harus sampai ke masyarakat. Tidak masuk ke industri besar, restoran besar, dll. Migor curah  itu hanya untuk masyarakat, ibu rumah tangga, pelaku UMKM. Sudah ada beberapa yang yang ditangkap karena ada  penyalahgunaan migor curah, dll. Bagus sekali kalau hal ini bisa dirapihkan.

Apa solusi dari INKOPPAS untuk melambungnya harga migor ini?

Memang ada disparitas yang amat tinggi antara harga CPO di dalam negeri harga di luar negeri. Dari sisi pebisnis tentu lebih senang mengekspor daripada memenuhi pasar dalam negeri. Ada kebijakan domestic market obligation (DMO) serta domestic price obligation (DPO) yang dinaikan 20 persen. Namun hal ini tidak membantu juga.

Lalu ada pajak ekspor untuk CPO, dari pajak ekspor ini disalurkan untuk memberikan subsidi. Kalau pabrikan minyak goreng memproduksi biodiesel mereka akan mendapatkan subsidi. Yang terjadi produsen CPO itu memberikan pajak ekspor sedikit namun mendapatkan subsidi amat besar. Ada yang bayar pajak ekspor  1juta dolar dia dapat subsisi 4juta dolar. Jadi untung mereka. Ini harus mendapat perhatian agar persoalan ini berkeadilan buat semua,

Kalau begitu apa mungkin CPO dialihkan lebih banyak untuk produksi biodiesel karena akan lebih menguntungkan bagi pengusaha, biaya produksi murah untung lebih tinggi?

Kemungkinan itu selalu ada jadi memang turunan CPO itu banyak sekali. Bisa jadi minyak goreng, bio diesel dan lain-lain. Bahkan minyak kotor (miko)  saja punya nilai ekonomsi yang tinggi, harganya amat bagus.

Menurut Anda apa solusi jangka panjang atau solusi permanen untuk persoalan migor ini?

Harus dilihat lagi dari hulu hingga ke hilir. Dari produksi sawit dan pabrik minyak sawit engga ada masalah. Dari sisi produksi cukup. Yang terjadi kemarin itu masalah di distributor  dan ada migor yang diekspor secara illegal. Karena itu INKOPPAS minta dijadikan distributor untuk menyalurkan ke jaringan yang ada di pasar. Jadi solusisnya dari hulu hingga ke hilir dirapihkan semua.

Saat HET ditetapkan pemerintah migor langka, saat harga dilepas ke pasar migor muncul namun dengan harga yang melabung, apakah distribusinya sudah bagus?

Itulah yang terjadi, saat ada HET migor langka, saat dilepas ke harga pasar langsung muncul migor di gerai retail medoren. Mustinya Kemendag dan Polisi bisa melacak, ini dari gudang mana. Dan siapa distributornya, sesimpel itu untuk melacaknya. Tapi sampai sekarang tidak ada tindakan yang tegas. Kalau masalahnya disembunyikan, kita tidak akan menyelesaikan masalah yang ada.

Aparat keamanan kita masih kurang kalau begitu?

Saya tidak bilang kurang, tapi lebih baik ditingkatkan lagi. Pemerintah, penegak hukum bersama-sama melihat ini sebagai suatu masalah yang perlu dicarikan solusinya. Bukan untuk ditutupi. Kita siap untuk turut membantu Kementerian untuk memberikan solusi minyak goreng yang terjadi sekarang.

Kasus kelangkaan migor apa pernah terjadi sebelumnya?

Kasus seperti ini pernah terjadi  tahun 1998 saat  krisis moneter. Mestinya harga eceran minyak goreng 4.200 perliter,  pedagang membeli dengan harga Rp3.600 maka terjual Rp4200 tapi yang terjadi harga melejit sampai Rp8.000 hingga Rp8.500. Saat itu pemerintah mempercayakan kepada INKOPPAS untuk turun membantu mendistribusikan migor. Dan alhamdulillah harga bisa turun hingga Rp4.000. Caranya langsung didistribusikan kepada pedagang di pasar.

Selama ini INKOPPAS tidak dilibatkan dalam distribusi, yang terlibat asosiasi retail moderen. Apa yang terjadi, banyak penyimpangan. Begitu kami bersuara lantang  baru berubah. Masyarakat juga harus mengikuti syarat tertentu untuk bisa dapat migor. Karena ke retail moderen, ibu-ibu jadi jarang ke pasar tradional.

Pandemi berimbas pada retail modern, apakah pedagang di pasar tradsional juga terimbas?

Saat COVID-19 sedang tinggi-tingginya omzet pedagang pasar menurun drastis. Pasar tradisional sempat dijadikan kambing hitam sebagai tempat penularan COVID-19. Saya tak terima dengan tuduhan ini. Mungkin ada pedagang yang nekad jualan meski terpapar. Orang yang seperti ini disanksi saja, tanpa harus menutup pasar. Kewajiban kami bagaimana membantu anggota KOPPAS  agar bisa mandiri.

Apakah ada pedagang yang bangkrut dilanda pandemi?

Kalau sampai bangkrut engga ya, tapi memang banyak yang terdampak. Omzet menurun drastis 10 sampai 20 persen. Tapi sekarang keadaan sudah melandai, para pedagang juga sudah kembali naik omzetnya.

Apa yang dilakukan INKOPPAS membantu anggota yang terdampak pandemi?

Ada program digitalisasi pasar yang dicanangkan oleh Menparekraf Sandiaga Uno pada Agustus 2021. Kami sedang menyusun road map untuk digitalisasi pasar. Semua anggota KOPPAS kita persatukan agar mendapatkan fasilitas yang dibutuhkan, seperti pinjaman, informasi suplai barang, dll. Semoga dalam setahun bisa diluncurkan program ini. Di provinsi yang ada PUPKOPPAS kita melalui mereka, tapi kalau tidak ada kami langsung ke KOPPAS.

Harapan kami habis lebaran ini INKOPPAS bisa ditunjuk sebagai distributor migor. Setelah itu kita akan menjadi distributor daging, dan komoditas lain yang menjadi domain pedagang pasar.

Saat harga barang melambung, apa yang bisa dilakukan, apalagi ini menjelang lebaran?

Kalau harga barang di pasar kita tak bisa kontrol. Yang penting suplai barang lancar.  Dan kita sudah memberikan masukan kepada pemerintah untuk menjaga suplai barang pokok menjelang lebaran. Jawaban klise dari pemerintah biasanya begini “Jangan khawatir kebutuhan lebaran stoknya mencukupi,”. Kebutuhan barang pokok memang mencukupi tapi harganya melambung. Yang masyarakat itu tidak hanya stok mencukupi tapi juga hargannya terjangkau.

Belum lama ini pemerintah juga menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, apakah ini memengaruhi penjualan pedagang di pasar?

Pemerintah naikkan PPN menjadi 11 persen ini untuk mencukupi kebutuhan negara. Selain itu pertamax juga naik. Kalau sudah seperti ini akan memengaruhi inflasi. Dulu uang Rp100ribu bisa melaja beberapa hari, namun sekarang cuma untuk beberapa jam. Tapi itu domain pemerintah kami tidak bisa bertindak. Harapan kami bisnis pada pedagang pasar bisa berjalan, kalau bisa berkembang.

Meski Sibuk, Yudianto Tri Tetap Memprioritaskan Olahraga

Yudianto Tri rutin berolahraga untuk menjaga kesehatan. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Yudianto Tri rutin berolahraga untuk menjaga kesehatan. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Di tengah kesibukannya melakoni bisnis, berorganisasi, menjadi Ketua INKOPPAS (Induk Koperasi Pedagang Pasar) juga travelling dan berburu kuliner, Yudianto Tri tak meninggalkan aktivitas olahraga. Bagi dia olahraga itu selain menyehatkan badan, juga jadi penyeimbang hobinya berburu kuliner.

Saat kasus pandemi COVID-19 sedang tinggi-tingginya beberapa waktu lalu, ia banyak memanfaatkan waktunya berolahraga. “Selama masa pendemi saya kebanyakan work from home (WFH). Selain meeting daring dengan staf dan relasi, saya mengisi kegiatan dengan olahraga,” katanya.

Yudianto yang juga sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat KADIN DKI Jakarta itu berolahraga di rumahnya di kawasan Ciganjur Jakarta Selatan.  Olahraga apa yang ia lakukan? “Saya itu hobinya berenang, ya mau gimana lagi aktivitas saya berenang di kolam yang ada di rumah. Sebagai variasi saya lakukan lari dengan treadmill,” ungkapnya.

Kalau bosan berenang dan lari dengan treadmill, ia memanfaatkan sepeda statis yang dimilikinya. “Sepeda statis juga lumayan untuk mengeluarkan keringat,” katanya. Tapi ia ada trik lain untuk mengeluarkan keringat meski tak banyak bergerak. Caranya dengan masuk di ruang sauna yang ada di rumahnya. Hanya diam saja keringat sudah bercucuran karena suhu yang panas. “Setelah itu ditutup dengan dengan berendam di kolam jakuzi. Semua dilakukan lakukan di rumah,” lanjutnya.

Berapa lama durasi berenang, bersepeda statis dan berlari? “Engga lama-lama kalau renang sekitar 20 putaran. Untuk sepeda statis dan treadmill masing-masing sekali melakukan sekitar 30 menit. Itu cukup dan keringat saya sudah bercucuran,” ungkapnya.

Diakui Yudianto banyak manfaat yang bisa dipetik dari olahraga rutin yang dilakoninya. “Engga bisa dipungkiri olahraga teratur itu banyak manfaatnya untuk kesehatan dan elastisitas tubuh saya. Karena itu meski sibuk saya menyempatkan diri untuk tetap berolahraga. Soalnya terasa sekali manfaatnya kalau kita rutin olahraga,” ujarnya. “Fisik jadi bugar dan semangat melakoni kegiatan,” lanjutnya.

Dia biasanya dalam sepekan minimal tiga kali berolahraga. Kalau ada kesempatan bisa tambah porsi olahraganya. “Yang penting kita harus rutin berolahraga. Soal durasi itu relatif ya. Tergantung situasi dan kondisi. Biasanya saya sepekan tiga berolahraga kalau ada waktu luang biasanya ditambah,” kata Yudianto juga CEO di PT. Paragon Pacifica dan PT. Begawan Maharishi serta  PT. Paragon Bintang Properti.

Pandemi  

Selama pandemi COVID-19 masih tinggi, Yudianto Tri berhenti melakoni hobinya travelling. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Selama pandemi COVID-19 masih tinggi, Yudianto Tri berhenti melakoni hobinya travelling. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Pandemi membuat ruang geraknya terbatas. Aktivitasnya travelling sama sekali tak bisa dilakukan. Karena banyak negara termasuk Indonesia membatasi penduduknya bepergian ke luar negeri dengan aneka persyaratan yang ketat. Sebaliknya WNA yang biasanya datang untuk melakukan aktivitas bisnis dan wisata juga tak bisa datang ke Indonesia juga terhambat.

Ia bersyukur karena kian hari keadaan pandemi makin kondusif. Meski pandemi belum dikatakan usai alias belum berubah status dari pandemi menjadi endemi, namun aktivitas sudah mulai meningkat. “Kondisinya sekarang sudah makin membaik. Bepergian ke kota-kota lain yang ada di Indonesia dan juga mancanegara sudah makin mudah karena persyaratan yang selama ini banyak semakin berkurang. PCR dan antigen sudah tak digunakan lagi. Yang penting sudah vaksin booster. Karantina sudah berkurang bahkan sudah ditiadakan. Ini semua harus kita syukuri,” katanya.

Biasanya Yudianto rutin berkunjung ke Eropa, setahun dua kali. Soalnya ada anaknya yang menuntut ilmu di salah satu negara Eropa. “Selain menjenguk anak saya yang belajar di sana, sekalian saya manfaatkan untuk travelling. Selama pandemi saya tidak bisa ke sana. Dalam waktu dekat saya akan berangkat ke Eropa,” lanjut Yudianto Tri.

Bagi dia selain berwisata, kesempatan menyambangi negeri lain dimanfaatkan juga untuk melihat perkembangan teknologi yang ada. “Kita bisa lihat di sana perkembangan teknologinya seperti apa. Itu bisa jadi inspirasi dan bisa deterapkan untuk usaha saya di tanah air,” kata Yudianto yang kerap menyambangi toko buku dan membeli buku-buku baru saat ke mancanegara.

Kuliner

Tak hanya hobi berburu kuliner, Yudianto Tri juga hobi memasak. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Tak hanya hobi berburu kuliner, Yudianto Tri juga hobi memasak. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Tak lengkap bagi Yudianto saat berwisata tanpa mencicipi kekayaan kuliner tempat yang dia datangi. “Salah satu hobi saya itu  makan, makanya kalau saya berkunjung ke luar negeri atau ke kota-kota yang ada di tanah air saya tak lupa menikmati makanan khas di daerah tersebut. Kayaknya ada yang kurang kalau tak wisata kuliner,” katanya. Namun saat pandemi COVID-19 kegiatan wisata yang rutin tak bisa dilakukan. 

Dalam aktivitas kuliner itu bagi Yudianto tak sekadang untuk mengisi perut. Namun ada seni yang terkandung di dalamnya.  “Saya ini kan termasuk yang hobi banget dengan sup kambing Betawi. Sebelum makan biasanya kita dipersilahkan memilih bagian mana yang akan disantap. Ada kepala, otak, jeroan, kaki dan bagian-bagian lainnya. Buat saya itu adalah seni tersendiri,” katanya.

Selain sup kambing, hidangan laut juga amat disukai oleh Yudianto. Bahkan untuk seafood ia sering mengolah atau memasak sendiri. “Setelah beli ikan dan aneka seafood di pasar ikan Muara Baru, saya masak sendiri di rumah di temani istri. Memasak masakan itu juga ada seninya. Tapi saya baru bisa memasak saat weekend atau memang libur. Di luar itu mana sempat,” lanjutnya.

Masih mengonsumsi makanan dari kambing dan seafood apa tidak khawatir? “Sampai saat ini saya tidak ada masalah dengan makanan seperti kambing dan seafood. Kuncinya satu jangan berlebihan, secukupnya saja. Kalau dirasa sudah cukup dan kenyang ya stop. Jangan menuruti nafsu harus makan lebih banyak dan lebih banyak lagi,” ungkapnya.

Ternyata kebiasaan berolah raga juga membantu menyeimbangkan kegemarannya wisata kuliner. “Ada korelasi yang antara hobi makan dengan olahraga. Olahraga itu menjadi penyeimbangnya. Jadi kalori yang masuk ke dalam tubuh terbakar melalui olahraga. Dan penyimbang lainnya dalah sayuran dan buah-buahan,” kata Yudianto Tri.

“Saya melihat BLT itu hanya hiburan semata, itu hanya solusi sesaat,  bukan solusi permanen. Tujuannya agar masyarakat tidak demo. Tidak ada yang bisa jamin kalau uang BLT migor itu untuk membeli minyak goreng. Mestinya ini tidak perlu dilakukan.”

Yudianto Tri