Film sebagai karya seni sejatinya bisa menjadi jembatan lintas generasi untuk memahami konteks sejarah suatu masa. Akhlis Suryapati, Ketua Sinematek Indonesia menggarisbawahi pentingnya pengarsipan film yang bisa menjadi bahan bagi generasi berikutnya memahami budaya dan situasi masa lalu. Lewat film kata pria yang juga sutradara dan wartawan senior ini, kita bisa melihat Indonesia dan merawat ingatan.
***
Setiap tanggal 30 Maret insan film Indonesia merayakan Hari Film Nasional. Penetapan tanggal ini berdasarkan sejarah pertama kali pengambilan gambar film besutan mendiang tokoh perfilman nasional H. Usmar Ismail yang bertindak sebagai sutradara film bertajuk Darah dan Doa atau dalam versi Bahasa Inggris berjudul Long March of Siliwangi.
Film nasional sudah mengalami jatuh bangun. Sempat mengalami masa kejayaan di era 1970-an hingga 1980-an, kemudian mati suri dan kini bangkit kembali. Pandemi COVID-19 kembali membuat sineas kelimpungan seperti juga pelaku usaha sektor lain yang terdampak. Geliat produksi film diharapkan bisa kembali bergairah seiring dengan situasi pandemi yang melandai dan dibukanya kembali bioskop sebagai salah satu wahana untuk menayangkan film.
Lewat film kata Akhlis Suryapati, kita bisa dilihat perkembangan sejarah perjalanan bangsa. “Lewat karya film bisa dilihat perkembangan sejarah kita. Sudah tiga tahun terakhir ini kami memakai tag line ‘melihat Indonesia, merawat ingatan.’ Artinya kita bisa melihat Indonesia sekaligus merawat ingatan melalui karya film. Dan itu terlihat saat banyak peneliti dan mahasiswa yang datang ke Sinematek ingin melihat Indonesia melalui film yang dibuat oleh sineas kita,” katanya.
Sinematek Indonesia, sebagai satu-satunya lembaga yang khusus pengarsipkan film di Indonesia, dan mengoleksi karya yang berhubungan dengan film memiliki peran yang penting dalam upaya pelestarian film-film yang dibuat oleh sineas. Namun lanjut, Akhlis kesadaran untuk menyimpan dan merawat film di negeri ini kian hari kian menurun. Padahal katanya saat sebuah film bisa dikoleksi oleh lembaga seperti Sinematek Indonesia yang ia pimpin, hal itu bisa menjadi wahana belajar bagi generasi muda dan siapa pun yang punya ketertarikan pada dunia film, sepuluh tahun, dua puluh tahun ke depan bahkan lebih, karya film akan dicari.
Dalam rangka hari Film Nasional, Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai melakukan wawancara khusus seputar pengarispan film di Indonesia pada Akhlis Suryapati belum lama berselang. Inilah petikannya.
Tanggal 30 Maret diperingati sebagai hari Film Nasional, apa saja yang dilakukan Sinematek Indonesia?
Tiga tahun terakhir, setiap Hari Film Sinematek punya tradisi menggelar acara Festival Sinematek. Sebetulnya sama dengan festival film lain, di Festival Sinematek ini kami memberikan penghargaan kepada tokoh perfilman nasional lewat penghargaan Legend Award. Kriterianya sang legend ini mewariskan langsung profesinya kepada anak-anaknya. Tahun lalu kita berikan Legend Award kepada mendiang Bing Slamet. Karena dia mewariskan profesinya kepada Adi Bing Slamet, Iyut Bing Slamet, dan Ferry Bing Slamet.
Ada juga Annarari Award yaitu penghargaan untuk Lembaga atau perorangan yang peduli pada pengarsipan film. Dan terakhir adalah Excellence Award, ini perhargaan untuk film terbaik versi Sinematek. Selain secara sinematografi ada juga kriteria memiliki nilai kearsipan yang tinggi. Lalu kita juga menggelar beragam acara diskusi, pemutaran film, dan hiburan dalam rangka hari Film Nasional tahun ini.
Untuk Legend Award tahun 2022 akan diberikan kepada siapa?
Untuk Legend Award ini punya parameter sendiri, dalam hal ini dia mewariskan secara langsung kepada keturunannya. Bukan berarti yang tidak punya keturunan tidak bisa mendapatkan anugerah ini. Namun bagi yang punya keturunan dan meneruskan profesinya di dunia film dianggap punya nilai lebih. Tahun ini kita sudah tetapkan yang akan mendapat penghargaan Legend Award adalah mendiang Usmar Ismail, Suryo Sumanto, dan Sofia WD.
Tadi Anda menyebut film yang puya nilai kearsipan tinggi untuk penerima Excellence Award, bisa dijelaskan soal ini?
Ini untuk katagori film terbaik, selain unsur sinematografinya terbaik, ceritanya juga bagus, juga memiliki nilai tambah soal kearsipan. Karena kita anggap suatu hari nanti, sekian tahun kemudian sebuah film diperlukan untuk penelitian, pelajaran dan sebagainya. Yang pernah kita kasih adalah film Bumi Manusia. Film yang diangkat dari novel karya Pramoedya Anantatoer ini sejak dari novel sudah layak untuk diarsipkan. Begitu juga saat ceritanya difilmkan. Tahun lalu kita berikan Excellence Award ini kepada film Hayya, dan Abrakadabra.
Secara umum bagaimana kondisi pengarsipan film Indonesia saat ini?
Saya kebetulan sudah membuat film tentang bagaimana dunia kearsipan film di Indonesia. Dalam film ini sangat jelas menceritakan tentang kearsipan di Indonesia yang kemudian menjelma menjadi Sinematek. Di Indonesia ini semangat pengarsipan film ini memang dipelopori oleh tokoh film dalam hal ini Misbach Yusa Biran dan teman-temannya. Karena mereka sama-sama orang film memiliki kesadaran bahwa pengarsipan film itu penting.
Waktu itu kesadaran pengarsipan itu mampu disosialisasikan oleh Misbah dengan baik, sehingga mereka kemudian bisa mengumpulkan film, barang-barang yang film menjadi koleksi Sinematek Indonesia. Sampai saat ini status kami ini swasta mandiri, dikelola olah masyarakat film dalam hal ini Yayasan (Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail), berjalan seperti yang dicita-citakan Misbach Yusa Biran. Namun harapan masyarakat kadang-kadang ingin Sinematek Indonesia ini seperti Perpustakaan Nasional yang mewah dan seperti Arsip Nasional yang gedungnya banyak. Kehadiran Sinematek ini menjadi sesuatu yang penting. Sekarang tidak lagi menjadi yang terbesar di Asia Tenggara karena di Thailand muncul lembaga sejenis yang dibiayai oleh negara. Berbeda dengan Sinematek yang swasta murni. Tetapi kita tetap mengumpulkan, merawat dan melestarikan film.
Apa kendala utama Sinematek, apakah soal pendanaan?
Persoalan dana itu menjadi kendala karena kita menghadapi ekspektasi masyarakat yang ingin A-B-C-D. Tetapi kalau kita realistis, dalam arti kita jalan terus dengan keadaan seperti sekarang ya tak masalah. Kita selenggarakan kegiatan pengarsipan film dari yang kita cari sendiri dan yang dihibahkan pihak lain. Yang agak mahal itu memang perawatan koleksi film.
Soal Thailand yang Anda kemukakan menjadi yang terbesar kini karena peran pemerintahnya, untuk Indonesia seperti apa peran pemerintah membantu pengarsipan film ini?
Soal Thailand tadi sebenarnya saya tidak tahu persis, tapi saat ini kita tidak percaya diri untuk dikatakan sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Walau pun kenyataannya belum tentu mereka yang terbesar. Sinematek tidak pernah mendapat bantuan langsung dari pemerintah, kecuali di zaman Ali Sadikin Simematek mendapat dana abadi. Itulah yang digunakan berkesinambungan sampai sekarang. Kalau program kita kerjasama dengan Depdikbud untuk digitalisasi film, dengan perusahaan film dan dengan individu.
Sekarang bagaimana kesadaran para produser film untuk mengarsipkan filmnya di Sinematek?
Dulu kesadaran untuk mengarsipkan film itu luar biasa. Sekarang kesadaran untuk itu berkurang. Kalau dulu menyimpan film seluloid itu biayanya mahal, kalau disimpan sendiri bisa rusak ketika tidak tahu caranya. Makanya koleksi filmnya disimpan di Sinematek. Sekarang cukup disimpan di hard-disc atau bentuk lainnya.
Bagaimana cara menambah koleksi film di Sinematek?
Kita meminta kesadaran dari teman-teman produser untuk menyimpan koleksinya di Sinematek. Cara lain saat penjurian FFI misalnya, ada koleksi film yang direkam dalam format VCD, usai penjurian daripada dibuang kita minta panitia serahkan kepada Sinematek. Saat ada kegiatan memutar film Indonesia di mancanegara yang kami lakukan, usai acara itu filmnya boleh disimpan di Sinematek. Namun secara umum semangat untuk menyimpan film tak seperti dulu.
Lewat karya film bisa dilihat perkembangan sejarah kita. Sudah tiga tahun terakhir ini saya memakai tag line ‘melihat Indonesia, merawat Ingatan.’ Artinya kita bisa melihat Indonesia sekaligus merawat ingatan melalui film. Dan itu terlihat saat banyak peneliti dan mahasiswa yang datang ke sini ingin melihat Indonesia melalui film yang dibuat oleh sineas kita. Kalau soal bantuan dari pemerintah mereka memberikan support dan menekankan bahwa arsip itu penting.
BACA JUGA:
Selama dua tahun dilanda pandemi COVID-19 seperti apa Sinematek menghadapi keadaan ini?
Selama pandemi ini, kantor Sinematek tetap buka. Soalnya kantornya luas sementara karyawannya sedikit, soal jaga jarak tidak jadi masalah. Karyawan menggunakan masker dan protokol kesehatan yang selalu dijalankan. Bahkan ada kecendrungan kunjungan peneliti dan mahasiswa meningkat di masa pandemi ini. Mereka yang datang asyik berada di Sinematek. Untuk penambahan koleksi kondisinya agak memprihatinkan. Karena kita tidak punya kemampuan lebih untuk menambah koleksi di era film digital ini.
Untuk restorasi film seperti apa yang dilakukan?
Kami memang tak pernah melakukan restorasi sendiri, selama ini dilakukan bekerjasama dengan pihak lain dalam film Lewat Djam Malam. Kalau sendiri tidak mungkin bisa karena biayanya amat besar. Restorasi satu film biayanya bisa mencapai Rp1,5miliar.
Sampai saat ini berapa banyak koleksi film di Sinematek?
Untuk film seluloid koleksi kita jumlahnya sekitar 2.700 lebih koleksi film. Sekarang jumlah itu tidak bertambah, karena sudah tak ada lagi yang memproduksi film dalam format seluloid. Yang banyak itu dalam bentuk digital, saat ini ada sekitar 5.000 koleksi film dalam bentuk digital.
Bagaimana mendekatkan Sinematek dengan anak muda dan kaum milenial?
Kami berusaha mengemas kegiatan Sinematek ini bisa dekat dengan anak muda dan generasi milenial. Rangkaian kegiatan dalam rangka Hari Film Nasional juga dikemas dengan menyasar anak muda, agar apa yang ada di Sinematek ini bisa dekat dengan generasi milenial.
Sekarang ini hidup kita itu dikepung oleh film. Di semua tempat, rumah, stasiun, di jalan di mana-mana ditampilkan film. Saat kita punya kesadaran masa lalu, hari ini dan besok melalui film kita sudah punya bekal. Pengarsipan itu isinya film masa lalu, film hari ini dan dari film kita bisa memprediksi masa depan karena film juga membuat hal-hal yang futuristik. Kalau arsip film difahami seperti itu justru amat dibutuhkan oleh generasi milenial sekarang ini.
Sinematek sudah berusia 47 tahun, apakah tujuan awal pendiri itu masih relevan hingga saat ini?
Kebetulan saya baru menyelesaikan film berjudul Tearing Memory Of Indonesia yang saya angkat dari memoar Misbach Yusa Biran. Saya berusaha melanjutkan dan mewujudkan cita-citanya dengan program-program yang saya jelaskan tadi sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam konteks itu, cita-cita pendirian Sinematek ini tercapai, tanpa harus besar pasak daripada tiang. Sinematek menjadi pusat orang-orang yang membutuhkan informasi tentang film tercapai. Namun kalau ekspektasinya seperti Perpustakaan Kongres Amerika ya tidak bisa disamakan. Keadaan kita ya seperti sekarang ini adanya. Bagi saya keadaan ini sudah bersyukur, yang penting bisa independen tanpa disusupi kegiatan di luar soal kearsipan.
Soal melayani jarak jauh melalui online kami tidak bisa melayani, karena takut ikut melanggar kode etik dan hak cipta. Kita memang menyimpan koleksi fisik film, tetapi right-nya tetap pada pemilik filmnya.
Korelasi Kebiasaan Wara-wiri Akhlis Suryapati dengan Kesehatan
Disadari atau tidak ternyata ada korelasi antara kebiasaan Akhlis Suryapati wara-wiri atau bergerak, dengan kesehatannya. Setidaknya itu yang dia alami dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata banyak bergerak bisa jadi substitusi olahraga meski tidak sama dan sebanding.
Wartawan senior yang kini menjabat sebagai Kepala Sinematek Indonesia ini memang mengakui tidak rutin berolahraga, tapi dia rajin bergerak, dan wara-wiri ke sana ke mari dengan berjalan kaki. Kadang dia memilih naik tangga meski ada lift, saat antrian untuk naik terlalu lama. Atau sekadar untuk mencari sesuatu di toko dekat kediamannya, daripada menghidupkan kendaraan dia lebih memilih berjalan kaki.
“Untuk olahraga saya memang amat malas, maksudnya olahraga yang teratur seperti yang kerap dilakukan banyak orang. Namun saya ini sering bergerak, wara-wiri ke sana ke mari. Kalau orang-orang senang naik lift, saya lebih suka naik tangga dari pada antriannya lama,” aku Akhlis.
Bukannya ia tak pernah melakoni olahraga. Olahraga pingpong dan berlari pernah dilakoninya. Namun itu hanya untuk senang-senang saja, dia ikut karena pergaulan dengan teman, bukan motivasinya untuk menjaga atau meningkatkan kesehatan.
Anda boleh percaya dan juga boleh juga sebaliknya, dengan perilaku yang dilakoni pria berambut sebahu ini, ada korelasi dengan kesehatannya. Meski pun apa yang ia kemukakan itu perlu pembuktian lebih lanjut. “Saya memang tak rajin olahraga, namun ternyata kebiasaan bergerak dan wara-wiri itu ada manfaatnya. Salah satu buktinya saat saya akan mengikuti seleksi menjadi pimpinan di salah satu lembaga. Salah satu syaratnya harus general check-up. Dan hasilnya kesehatan saya baik,” paparnya.
Soal makanan ia memang tak terlalu menjaga, bahkan sering berlebih dan tak taat aturan. Apalagi cara makan seperti mereka yang menerapkan diet dari dokter atau ahli gizi. Ia malah biasa melewati kehidupan ini dengan asyik-asyik saja. “Saya bukannya takabbur, alhamdulillah di masa pandemi COVID-19 ini saya tetap sehat dan tidak terpapar,” akunya.
Lalu apa yang dilakukannya? “Tidak ada yang spesial, yang saya lakukan biasa-biasa saja kok. Saya juga pernah terkena batuk dan flu dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini. Karena takut ke rumah sakit dan dikira terpapar, akhirnya saya diamkan saja sampai akhirnya batuk dan flu-nya sembuh sendiri,” katanya.
Soal kesehatan, bagi Akhlis bukan semata fisik. Namun juga urusan non fisik seperti pikiran. “Kalau dibilang saya menjaga kesehatan, biasa saja tu. Saya lebih menjaga pikiran,” ungkap Akhlis yang juga sutradara ini.
Ada tiga pilar yang perlu diamankan dalam melakoni hidup ini menurut Akhlis. “Pertama soal ekonomi, ekonomi itu kan memang perlu ada. Kedua masalah cinta dan kasih, itu diperoleh dari istri dan keluarga. Dan ketiga harapan, saya masih punya harapan untuk ke depan bisa lebih baik. Saat ketiga hal itu berada dalam keseimbangan. Itulah yang membuat pikiran kita menjadi sehat. Ingat faktor terbesar yang membuat mempengaruhi kesehatan adalah pikiran,” tandas sutradara film Lari dari Blora ini.
Ketika ditanya soal menjaga asupan makanan, Akhlis punya cara yang tak neko-neko. “Dibilang menjaga makanan, saya tidak terlalu ketat, apa saja saya makan. Soalnya saya itu tipe orang yang menikmati hidup. Makanan dari kelas warteg sampai hotel bintang pun bisa saya nikmati tanpa halangan,” lanjutnya.
Jika orang banyak menghindari makan di malam hari, ia justru sebaliknya. “Kalau siang saya banyak aktivitas, kadang terlambat dan lupa makan. Saya justru banyak makan itu di malam hari. Jadi enggak ada istilah menjaga makanan. Kalau soal menjaga kebersihan itu tak ada tawar-menawar,” katanya.
Saat ia asyik makan emping atau sate kambing yang menjadi kegemarannya, mulai ada yang menyindir. “Usia engga bisa ditipu lho, keluarga dan teman-teman tak sedikit yang bilang begitu. Saya makan saja, yang penting harus tahu diri saja kalau sudah cukup ya berhenti,” katanya.
Urusan Kantor
Selama masa pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun ini kantor Sinematek Indonesia yang berlokasi di Kawasan Kuningan, Setia Budi, Jakarta Selatan tidak menerapkan work from home (WFH) seperti yang banyak dipraktikkan oleh berbagai kantor pemerintah dan swasta.
“Memang benar selama pandemi ini kita engga libur atau menerapkan WFH. Soalnya kantor Sinematek Indonesia ini luas, sementara karyawannya tidak banyak. Di sini lega sekali, satu karyawan dengan karyawan yang lain mau dibikin berjarak 5 meter masih bisa. Peneliti atau mereka yang mau mencari informasi di Sinematek ini senang berlama-lama nongkrong, karena situasinya kondusif,” kata pria kelahiran Pati, Jawa Tengah 3 Januari 1963 ini.
Di luar itu selama di kantor dia dan karyawan Sinematek tetap melakukan protokol kesehatan. Karyawan mengenakan masker, setiap akhir pekan dilakukan penyemprotan disinfektan.
Dan yang perlu digarisbawahi, masih kata Akhlis, aktivitas kantornya bukan interaksi dengan orang banyak dengan intensitas yang tinggi. “Yang datang ke Sinematek ini peneliti atau orang-orang yang punya minat yang tinggi dalam hal film dan seluk belum film,” paparnya.
Di masa pandemi ini banyak peneliti yang senang berlama-lama di Sinematek, jumlahnya meningkat dari sebelum pandemi. “Ya mungkin mereka bisa lebih konsentrasi di sini. Jadi betah berada di tempat kami ini mencari informasi yang mereka butuhkan lewat film dan koleksi lain yang tersedia Sinematek,” ungkapnya.
Jadi, tandas Akhlis Suryapati, pandemi tidak menghentikan aktivitas. Kegiatan yang terjadi masih seperti biasa meski dengan penerapan protokol kesehatan. “Memang semua orang terdampak pandemi, di tempat kami kegiatan masih tetap bisa dilaksanakan. Jadi pandemi tidak menghentikan aktivitas di Sinematek, apalagi setelah belakangan keadaan semakin kondusif,” lanjutnya.
Etika
Perkembangan teknologi yang semakin maju membuat beragam kamera besar yang dulu digunakan mulai ditinggalkan, bahkan dengan telepon genggam pun orang sudah bisa membuat film. Kemudahan dan kecanggihan teknologi ini harus dimanfaatkan secara bijaksana.
“Kamera betacam yang dulu harganya Rp400 juta, sebenarnya masih berfungsi dengan baik. Namun harga kasetnya saja Rp250ribu, itu pun mencarinya susah dan durasinya cuma 30 menit. Untuk prosesnya terbilang ribet. Akhirnya kamera itu dijadikan pajangan saja, teknologi sudah semakin canggih. Dengan telepon genggam saja orang sudah bisa bikin film,” katanya.
Meski dipermudah teknologi, menurut Akhlis harus hati-hati merekam dan membuat film, harus dilandasi dengan etika. “Film itu dibuat dalam konsep kesenian, teknologi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk hasil karya seni itu,” katanya.
Dan jangan lupa, Akhlis mengingatkan, kalau merujuk ke undang-undang pembuatan film itu harus dilandasi dengan akhlak mulia. Karena itu etika dan pengetahun sama pentingnya. Kalau tidak akan tergelincir pada membuat film yang membahayakan diri sendiri. Contohnya sudah banyak orang-orang yang membuat film yang tak pantas,” tandas Akhlis Suryapati.
“Lewat karya film bisa dilihat perkembangan sejarah kita. Sudah tiga tahun terakhir ini saya memakai tag line ‘melihat Indonesia, merawat Ingatan.’ Artinya kita bisa melihat Indonesia sekaligus merawat ingatan melalui film. Dan itu terlihat saat banyak peneliti dan mahasiswa yang datang ke sini ingin melihat Indonesia melalui film yang dibuat oleh sineas kita.”