Bagikan:

Tak dipungkiri popularitas media sosial (Medsos) kini jauh di atas media berbasis jurnalistik. Realitas ini diakui oleh Atal S Depari sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bagi dia silahkan saja publik terhibur dengan beragam informasi yang disuguhkan oleh media sosial, namun ketika publik ingin informasi yang benar dan terverifikasi tetap dari media yang berbasis jurnalistik. Inilah peluang sekaligus tantangan yang harus dioptimalkan oleh semua wartawan.

***

Berdasarkan data dari penelitian yang dilakukan Dewan Pers dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) 2021, media yang diakses pertama kali oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi sebanyak 22,5 persen adalah WhatsApp, media siber atau online media dipilih oleh 22 persen responden. Dari data ini terlihat bahwa media baru (Youtube, Whatsapp, Instagram) yang biasa disebut media sosial masih menjadi pilihan teratas dalam memperoleh berita sehari-hari masyarakat kita.

Meski kenyataannnya demikian, bagi Atal S Depari, ada kelebihan dari media berbasis jurnalistik yang tidak dimiliki oleh media sosial. Karena itu ia tak ragu meski saat ini media sosial lebih diminati publik. Ke depan publik pasti akan kembali ke media berbasis jurnalistik untuk mencari kebenaran sebuah peristiwa.

“Nanti suatu hari masyarakat akan mengatakan, ini benar enggak informasi di media sosial. Dia akan memverifikasi informasi yang didapat di media sosial (Medsos) ke media yang berbasis jurnalistik.  Sebagian besar media sosial itu tidak serius, hanya bersifat hiburan saja. Karena itulah peran media (berbasis jurnalistik) menjadi penting dibandingkan dengan media sosial,” katanya.

Ke depan di tengah kemajuan teknologi yang kian pesat, menurut  pria yang pernah bertugas meliput pertarungan tinju Michael Moorer dan Evander Holyfield di Las Vegas, Amerika tahun 1997 silam, wartawan mesti memiliki kecakapan ganda alias multitasking. “Kemajuan teknologi sebenarnya membuka peluang pagi wartawan, tetapi wartawan harus punya kecakapan lebih. Untuk menuju ke sana dia harus mengasah dan meng-upgrade pengetahuannya agar bisa multitasking. Wartawan sekarang tak hanya dituntut bisa menulis, tapi harus bisa memotret, mengambil gambar video dan meng-upload-nya. Hanya dengan satu perangkat telepon pintar semua bisa dilakukan oleh wartawan. Wartawan harus selalu beradaptasi dengan kemajuan teknologi,” tandasnya kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai dari VOI yang mewawancarainya belum lama berselang di Kantor PWI Pusat, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Inilah petikan selengkapnya.

Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Dinamika yang terjadi di dunia media begitu pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Media cetak pelan-pelan tergerus, media online bertumbuh, seperti apa Anda melihat fenomena ini?

Saya melihatnya agak serem, ada dua hal yang  membuat saya begitu. Media mengalami disrupsi, ini luar biasa. Sekarang ini kita tidak bisa lagi menyebut siapa yang paling luar biasa, media yang mengatakan dia sekarang paling besar, tidak ada lagi yang mengatakan dia besar. Karena semua sudah terkoreksi, kurang bagus-lah kalau saya katakan sudah kerdil. Kemudian kondisi ini tentu mempengaruhi wartawan. Kini  anggota PWI itu ada  20.000 lebih, saya mulai mikir kalau media seperti ini ke mana ini semua anggota PWI kelak ke depan.  Semua ini penyebabnya adalah teknologi informasi dan kemajuan teknologi.

Nah, ini memang luar biasa, kita nggak menduga kalau ketika ada teknologi 4.0 di tambah dengan adanya pandemi COVID-19,  prosesnya sangat cepat. Kita belum siap tetapi kita sudah dihajar oleh teknologi seperti ini. Ini adalah masalah besar kita sekarang.

Wartawan mau tidak mau harus siap dengan kondisi ini?

Wartawan tidak bisa mengelak dari keadaan ini. Saya akhirnya berpikir apakah di masa yang akan datang wartawan itu masih laku? Sekarang media sosial kita melihat tubuh begitu besar dan luar biasa. Bahkan sudah banyak orang yang sukses mencari uang lewat medsos ini. Sebaliknya yang terjadi pada media sebaliknya, yang ada proses pembangkrutan saja.

Tetapi saya yakin informasi itu hanya bisa disuguhkan oleh insan pers. Saya pikir teknologi akan terus bergulir dan tahun ini akan bergulir apa yang disebut 5G. Kecepatan transfer datanya 1.000 giga per bite. Beda jauh dengan 4G. Teknologi informasi akan semakin booming, dan media sosial pun akan mengalami hal yang sama.

Biarkan masyarakat terhibur dengan media sosial. Tapi kalau masyarakat ingin mencari informasi yang benar, faktual, terverifikasi bisa dijamin kebenarannya, tetap melalui media berbasis jurnalistik.

Jadi masyarakat akan bercanda dengan media sosial, di media sosial kita tahu ya hiburan begitu banyak. Di media sosial terjadi hujat-menghujat. Begitu mereka bosan dengan media sosial dia akan mencari dan mengklarifikasi semua informasi untuk mencari kebenaran ke media berbasis jurnalistik.

Jadi peran media berbasis jurnalistik meski kini media sosial lebih diminati publik, masih amat strategis?

Kalau saya lihat ya.  Itu malah penting sekali untuk menetralisir media sosial yang semakin kuat karena itu saya pikir, nanti suatu hari masyarakat akan mengatakan, ini benar enggak informasi di media sosial. Dia akan memverifikasi informasi yang didapat di media sosial.  Sebagian besar medsos itu tidak serius, hanya bersifat hiburan saja. Ada yang serius satu atau semua media.

Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagaimana Anda melihat problem yang dihadapi wartawan sekarang?

Kalau dulu ada istilah WTS (wartawan tanpa suratkabar), tapi sekarang sebaliknya seorang wartawan bisa memiliki banyak media atau suratkabar. Kemudahan mendirikan media membuat wartawan berlomba-lomba mendirikan media sendiri. Menurut saya ini kurang ideal, kurang sehat. Soalnya dari media online yang didirikan itu belum bisa menjamin hidup yang layak. Masih banyak teman-teman yang berjuang menghidupi medianya hanya dari traffic. Wartawan sekarang tak sekadar berpikir mencari berita, tapi juga harus berpikir secara ekonomi bagaimana membuat bisnis tetap berjalan.

Selama ini bagaimana perselisihan wartawan dengan perusahaan yang bangkrut, seperti apa penyelesaiannya?

Soal perusahaan yang bangkrut di era sekarang, bukan hanya terjadi pada terjadi pada perusahaan media, tapi juga pada perusahaan bidang usaha lain. Sampai saat ini soal tidak ada yang mengadukan ke kami, juga ke Dewan Pers saya belum dengar. Keadaan sekarang ini sepertinya dimaklumi oleh wartawan dan perusahaan, atau sudah terjadi penyelesaian di antara mereka.

Gaji wartawan apakah saat ini sudah standar atau masih di bawah?

Ada media yang sudah mampu memberikan gaji yang layak kepada wartawan, tetapi ada juga yang belum. Yang terakhir inilah yang perlu menjadi perhatian. Tetapi ada juga wartawan yang menjadi konten kreator. Untuk yang terkakhir ini kalau dihitung-hitung pendapatannya kadang jauh lebih besar dari gaji wartawan pada umumnya. Cuma memang harus kreatif agar apa yang dia buat ditonton orang.

Sekarang ini antara konten kreator pembuat berita dan wartawan menjadi tipis bedanya, bagaimana pengawasan untuk kedua hal ini?

Untuk anggota PWI saya pikir sudah jelas, mereka punya kode etik, begitu juga dengan organisasi profesi kewartawanan lainnya. Ke depan menurut saya perlu diberikan pelatihan atau pendidikan kepada konten kreator yang membuat berita. Pelan-pelan mereka harus dididik.

Kepada masyarakat harus bisa membedakan mana mana media yang benar dan mana yang tidak. Bisa dilihat dari izinnya, ada apa tidak? Lalu lihat juga status medianya terverifikasi atau tidak.Verifikasi secara administrasi dan verifikasi secara faktual. Dan itu bisa dilihat dari laman Dewan Pers. Di beberapa daerah sudah ada pengumuman hanya melayani media yang sudah terverifikasi. Banyak yang teriak, tapi begitulah syaratnya.

Di lingkungan PWI sendiri berapa banyak wartawannya yang sudah ikut Uji Kompetensi (UKW)?

PWI sangat aktif untuk urusan UKW ini, kalau ada yang tanya apa program organiasi, misalnya 1 sampai 10, nomor 1-9 itu pendidikan dan pelatihan, nomor 10 baru dan lain-lain. Begitu pesar perhatian PWI untuk meningkatkan kompetensi wartawan. Kami sangat apresiasi kebijakan UKW. Lebih dari 100 orang penguji UKW dari PWI, dan mereka nyaris tak pernah istirahat, terus menguji. Dari 20.000-an anggota 13.000 lebih yang sudah mengikuti UKW dari berbagai level, muda (wartawan pemula), madya (wartawan sekelas editor/redaktur) dan utama (Redaktur Pelaksana sampai Pemimpin Redaksi).

Masih ada wartawan yang diintimidasi pihak luar saat melaksanakan tugas, seperti apa PWI melindungi anggotanya?

Saya bangga anggota PWI  harus bekerja sesuai dengan pedoman yang dibuat. Ada pedoman dalam peliputan demo, ada pedoman dalam peliputan kasus terorisme, dan sebagainya. Untuk kasus di Sumatera Utara ada wartawan yang tertembak beberapa waktu yang lalu, saya sudah cek dia bukan anggota PWI. Tapi apapun karena dia sudah menyandang predikat sebagai wartawan kami prihatin dengan perlakuan yang demikian.

Saya yakin kalau wartawan itu bekerja secara profesional dan sesuai dengan kompetensi, dia tidak akan banyak menghadapi masalah. Intinya memang itu. Kalau sudah dijalankan relatif lebih aman. Dalam pendidikan dan pelatihan di PWI ditekankan kalau wartawan tidak boleh melindungi kejahatan.

Kalau wartawan itu profesional dan terdaftar sebagai anggota kita pasti membela dia. Kita punya lembaga bantuan hukum untuk membantu wartawan yang berhadapan dengan hukum. Kita ada Ketua Bidang Pembelaan Wartawan. PWI juga bergabung dengan organisasi wartawan lainnya dalam melakukan advokasi pada wartawan.

Di era sekarang wartawan dituntut multitasking, seperti apa kesiapan wartawan menurut Anda?

Kemajuan teknologi sebenarnya membuka peluang pagi wartawan, tetapi wartawan harus punya kecakapan lebih. Untuk menuju ke sana dia harus mengasah dan meng-upgrade pengetahuannya agar bisa multitasking. Wartawan sekarang tak hanya dintuntut bisa menulis, tapi harus bisa memotret mengambil gambar video dan meng-upload-nya. Memang belum semua wartawan bisa seperti itu tapi sudah banyak yang memiliki kemampuan seperti itu. Hanya dengan satu perangkat telepon pintar semua bisa dilakukan oleh wartawan. Wartawan harus selalu beradaptasi dengan kemajuan teknologi.

Sampai saat ini apa masih ada wartawan yang mempersoalkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional?

Sebenarnya bukan PWI yang menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional, itu adalah keputusan pemerintah. Kebetulan tanggal itu bertepatan dengan hari lahir PWI, itu engga bisa diubah. Tanggal 9 Februari itu tokoh-tokoh pers Indonesia berkumpul di Solo. Bukan perkara mudah buat mereka untuk sampai di kota Solo kala itu. Ada yang menyelinap dan dengan menyamar sampai akhirnya tiba di Solo. Kala itu semua pers pejuang yang hadir. Kalau mau dicari tanggal yang lebih tua mungkin ada tanggal lahir koran tertentu, tapi masa itu yang kita jadikan hari pers. Tanggal 9 Februari dipilih karena semangat dan momentumnya.  Saat itu tokoh-tokoh pers berkumpul untuk membantu perjuangan bangsa dan negara Indonesia yang baru diproklamirkan kemerdekaannya.

Apa harapan Anda untuk HPN 2022 ini?

Bagaimana format pers ke depan yang ideal? Bagaimana mensikapi kemajuan teknologi yang amat pesat. Agar kita bisa jalan dengan lurus. Ini yang akan dirumuskan dalam diskusi di konvensi HPN 2022.  Kita juga mendorong pemerintah dan berbagai pihak untuk konsisten menggunakan energi baru dan terbarukan demi kelestarian bumi kita. Sehubungan dengan Indonesia yang bertindak sebagai presidensi G20 kami juga men-support berbagai pihak untuk menuju zero emisi seperti yang sudah ditetapkan dalam Paris Agreement.

Tak Ada Kompromi, Demi Kesehatan Atal S Depari Stop Merokok dan Kurangi Konsumsi Karbohidrat 

Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Memang tak perlu banyak teori untuk menghentikan kebiasaan yang menurut tinjauan kesehatan tidak bagus. Seperti yang dipraktikkan oleh Ketua PWI Pusat Atal S Depari, dia langsung menghentikan kebiasaan merokok dan mengurangi asupan karbohidrat yang tinggi kadar gula. Kini dengan menjalankan pola hidup yang sehat; stop merokok, mengurangi karbohidrat, olahraga, dan perbanyak istirahat, membuat kondisi fisiknya makin sehat dan bugar.

Ternyata titik balik dia tersadar perlu memerhatikan kesehatan setelah gelaran Kongres PWI di Solo Jawa Tengah 2008 silam. Saat itu Atal tertegun melihat foto dirinya yang terlihat kurus kering dan tak segar. “Saya lihat foto saya pakai topi, modelnya kayak katro (anak kampung), saat itu berat saya 54kg. Setiap orang yang ketemu saya, pesannya selalu sama; jaga kesehatan ya Bang,” katanya menirukan pesan para sahabat, relasi, kolega saat berjumpa dirinya. Semuanya menginginkan dirinya menjaga kesehatan.

Sejujurnya pesan itu tidak disukai oleh Atal. Namun sejak itu ia merenung. Inti dari perenungannya harus ada yang berubah dalam hidupnya. “Saya harus mengubah pola hidup agar bisa lebih sehat. Sejak itu saya tidak merokok lagi, padahal bisanya sehari saya habis 4 bungkus rokok sehari. Orang di sekitar saya tahu semua, saya hanya tidur saja yang tidak merokok,” kenang pria kelahiran Seberaya, Sumatera Utara, 4 Januari 1954 ini.

Kebiasaan lain yang juga dihentikan Atal menuju hidup sehat adalah konsumsi karbohidrat yang tinggi kadar gula, terutama nasi. Soalnya dia memiliki riwayat kadar gula yang lumayan tinggi. Saran dokter asupan nasi harus dikurangi secara drastis dan diganti dengan karbohidrat lain yang rendah  kadar gulanya. “Saya bilang kepada istri, saya engga mau lagi makan nasi. Dia malah senang sekali melihat kemauan saya mengurangi asupan nasi. Dia mendukung dengan menyiapkan makanan yang tak ada nasinya. Sudah dua tahun terakhir saya tak makan nasi,” ungkapnya.

Tak hilang akal meski tak makan nasi, Atal masih bisa memenuhi kebutuhan karbohidrat tubuhnya dengan mengonsumsi kentang. “Ada yang kasih saran kepada saya sebenarnya bisa makan nasi merah yang rendah kadar gulanya. Tapi saya engga percaya, saya tetap tak mau makan nasi,” tandasnya. Kini makanan pokoknya kentang dengan lauk daging, dan pelengkap sayur dan buah sebagai komsumsi hariannya.

Tak makan nasi bukannya berat badannya berkurang. Justru sebaliknya, kini berat badannya sudah 67kg. Padahal sebelum menjalankan pola hidup sehat, bobotnya hanya 54kg. “Sekarang lumayan, saya juga sudah gemuk. Tadinya sudah enggak ada lekuk-lekuk, sekarang ada,” katanya semringah mengabarkan kondisi fisiknya yang makin sehat dan berisi.

Terpapar

Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sebelum menjalankan pola hidup sehat, Atal S Depari lebih fokus pada liputan olahraga. Saat itu, ternyata tidak ada korelasi positif yang signifikan antara liputan bidang olahraga dengan kesehatan fisiknya. “Dari dulu saya memang hobinya olahraga, terutama main bola. Tapi merokok jalan terus,” kata Atal yang menjadi saksi saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan medali emas untuk Indonesia di olimpiade Barcelona, 1992.

Tapi itu dulu, kini semuanya sudah berubah. Setelah komit untuk melakoni hidup sehat. Aktivitas hariannya juga berubah. “Setiap hari saya olahraga jalan kaki selama 30 menit. Kalau hujan pilihannya treadmill di rumah,” katanya. “Supaya lebih lengkap saya latihan barbel 3kg dan 5kg, untuk menjaga otot,” tambahnya.

Dari semua aktivitas menuju sehat ini, Atal menyimpulkan ada tiga yang harus dia lakukan. Pertama tidur harus cukup, minimal 7 jam sehari. “Sekarang jam 8 atau jam 9 malam saya sudah tidur. Padahal dulu saya bisa dua hari dan dua malam enggak tidur kalau deadline,” kenang Atal soal pola hidupnya dulu dan sekarang yang bagai langit dan bumi.

Kedua, makan yang begizi dan mengurangi asupan karbohidrat yang banyak gula. Dan yang ketiga adalah olahraga yang teratur. “Selama COVID-19 ini teman-teman di PWI engga berani pergi. Selama diizinkan pemerintah di saya akan datangi undangan dari berbagai daerah. Hidung saya ini sudah penuh dengan bekas tes antigen dan PCR. Alhamdulillah aman saja,” katanya.

Tapi bukan berarti dia luput dari sergapan COVID-19. Atal beserta keluarga yang berjumlah 10 orang pernah terpapar pada Juli 2021 silam. “Satu rumah kena semua, anak, istri dan mertua terpapar,” katanya.

Setelah ditelusuri ternyata muasalnya dari pembantunya yang dikunjungi suaminya yang domisilinya di luar kota. “Berat sekali saat terpapar, tapi alhamdulillah bisa melewati semua itu. Daya tahan tubuh saya bisa kuat, salah satunya karena pola hidup sehat yang saya jalankan selama ini,” ujarnya.

Rahasia

Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Atal S Depari. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Dari pecandu rokok langsung bisa berhenti sama sekali dari rokok, membuat banyak sahabat, kolega dan relasi yang bertanya-tanya. Apa sebenarnya resep yang begitu ampuh dan membuat Atal sama sekali tak lagi menghisap rokok?

“Yang menolong saya sebenarnya keadaan. Suatu hari saya batuk tak henti-henti. Saking parahnya sampai membuat tak bisa tidur. Karena super ngantuk akhirnya jam 11 malam saya tertidur juga. Dan esoknya bangun teringat rokok. Tapi saat itu rokok itu menjadi sesuatu yang menakutkan buat saya. Takut batuk lagi kalau berani mencoba rokok. Akhirnya sejak itu saya tak mau lagi merokok. Jadi langsung drastis berhenti, tanpa proses yang bertahap,” katanya.

Dalam benak Atal sudah terbayang kalau dia kembali merokok akan diserang batuk berkepanjangan, yang membuat tubuhnya sakit tiada tara. “Kalau sekarang meski ditawari rokok saya pasti menolak,” ujar Atal yang sejak anak-anak sudah merokok, waktu itu rokok dari kulit jagung.

Atal S Depari merasakan perubahan yang amat signifikan setelah dia melakukan pola hidup sehat. Kini mau bangun pagi dengan full aktivitas dia tak merasakan keluhan, justru tubuhnya makin bugar. “Selain membatasi makan nasi, resep lain saya lakukan tak berlebihan. Semua itu tak boleh berlebihan, apa saja yang berlebihan itu tidak bagus,” katanya.

“Biarkan masyarakat terhibur dengan media sosial. Tapi kalau masyarakat ingin mencari informasi yang benar, faktual, terverifikasi, bisa dijamin kebenarannya, tetap melalui media berbasis jurnalistik,”