Partager:

JAKARTA - Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono) sudah paham asam garamnya kehidupan seorang prajurit TNI. Kehidupan itu dirasakannya kala ayahnya, Sarwo Edhie Wibowo masih jadi prajurit biasa. Ani sudah terbiasa hidup berpindah-pindah, dari tinggal di losmen hingga barak.

Semuanya berubah saat karier ayahnya melejit naik jadi jenderal TNI AD. Kehidupan susah sudah tak dirasakan lagi. Namun, cintanya kepada seorang prajurit, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat Ani kembali hidup merana di rumah dinas TNI.

Kehidupan sebagai anak seorang prajurit TNI, Sarwo Edhie tak pernah mudah. Banyak momentum yang menguji ketangguhan mental. Nyali dan mental harus ditempa. Seseorang harus siap sedia hidup berpindah-pindah kala dibutuhkan negara. Kondisi itulah yang dialami oleh Ani kecil.

Ani dan keluarganya pernah merasakan hidup menanti pemberian rumah dinas. Rumah yang notabene diberikan negara kepada prajurit aktif itu tak kunjung diberikan karena terbatas. Keterbatasan itu membuat Sarwo Edhie pernah memboyong keluarga untuk sementara tinggal di losmen di Cimahi, Jawa Barat.

Ani terus mengenang pengalaman hidup di losmen dengan tidur berjejalan. Kondisi itu tak jauh berbeda kala mereka mulai dapat rumah dinas. Rumah dinas yang berupa rumah petak atau barak. Keluarga Ani bak ditantang untuk hidup fleksibel. Alias, bisa dengan cepat beradaptasi.

Ani Yudhoyono kecil duduk di sebelah ayahnya, Sarwo Edhie Wibowo. (Biografi Ani Yudhoyono) 

Jika tidak, peluang untuk menyerah akan terbuka lebar. Ani pun beruntung. Ia punya seorang penutan dalam kehidupan. Sosok itu bukan orang lain melainkan ibunya sendiri, Sri Sunarti Hadiyah. Sosok itu jadi inspirasi bagi Ani dalam membentuk mental kuat dalam keadaan serba terbatas.

Semua karena laku hidup ibunya yang tak mengenal kata menyerah. Ibunya bahkan menasehati Ani berkali-kali. Jikalau kehidupan mendampingi tentara, wanita harus menghadapi dua hal. Pertama, Kuat mendamping suami dalam berbagai kondisi tugas. Kedua, harus pandai beradaptasi.

“Kisah ibu mendampingi perjuangan papi merupakan sebuah kisah juang yang patut dibingkai sendiri. Saya menyebutnya ibu yang perkasa. Di sisi seorang prajurit yang berada di medan laga, adalah seorang istri tangguh yang berjuang mengelola kehidupan di rumah. Dan rumah yang dimaksud bisa berupa barak, rumah-rumah petak yang saling berimpitan khas perumahan prajurit, atau juga sebuah rumah dengan desing suara peluru dan bunyi kematian.”

“Dengan luwes Ibu mendampingi Papi yang kariernya terus berkembang. Dipercaya Pak Harto memberantas pemberontakan Gerakan 30 September (G30S), papi kemudian menjadi Pangdam di Medan dan Papua, lalu menjadi Gubernur AKABRI di Magelang. Kemudian Papi ditunjuk jadi Dubes Indonesia untuk Korea Selatan. Terakhir Papi menjadi Kepala BP7. Sepanjang itu, Ibu terus bermetamorfosis menyesuaikan diri dengan jabatan-jabatan Papi,” ungkap Ani Yudhoyono sebagaimana dikutip Alberthiene Endah dalam buku Ani Yudhoyono: 10 Tahun Perjalanan Hati (2018).

Hidup di Rumah Dinas Lagi

Kehidupan Ani dan keluarganya mulai berubah kala karier ayahnya, Sarwo Edhie melejit. Keaktifan Sarwo Edhie dalam memberantas pemberontakan G30S ada di baliknya. Presiden Soeharto mulai memberikan kepercayaan tinggi kepadanya. Pun pangkatnya mulai naik hingga jadi jendral TNI AD.

Kehidupan sebagai anak jenderal pun dirasakan Ani. Kehidupan mulai nyaman, dari yang awalnya hidup pindah-pindah hingga punya rumah. Namun, kemewahan tak menyilaukan mata Ani. Ia lantas memilih takdirnya menikah dengan prajurit TNI biasa.

Sosok itu tak lain adalah SBY. Pria yang notabene lulusan terbaik AKABRI 1973 itu datang meminang Ani. Sarwo Edhie pun merestui. Keduanya pun melangsungkan pernikahan 1976. Narasi itu membuat Ani kembali harus mengikuti jejak suaminya hidup berpindah-pindah.

Mulanya pasangan yang baru nikah itu akan menempati rumah dinas di Kompleks Asrama Batalyon 330 di Dayeuhkolot, Bandung, Jawa Barat. SBY dan Ani langsung bertolak dari Jakarta ke Bandung. Namun, jauh panggang dari api.

Alih-alih mereka langsung menempati rumah dinas, SBY justru mendapatkan panggilan tugas ke Timor-Timur. SBY pun harus kembali dan memulangkan Ani sementara ke rumah mertuanya di Jakarta. SBY rencananya berada di Timor-Timur berbulan-bulan.

Keluarga Sarwo Edhie Wibowo, Ani Yudhoyono duduk di sebelah kanan ayahnya. (Dok. Pribadi)

Kepulangan SBY pun disambut Ani dengan suka cita. Kondisi itu membawa mereka kembali ke Dayeuhkolot untuk menempati rumah dinas yang disediakan. Rumah itu sungguh sederhana. Kondisi yang mulanya membuat Ani Syok.

Rumah dinas yang ditempatinya hanya memiliki tiga ruangan inti. Ruangan tamu, ruang tidur, dan ruang belakang (dapur). Kecil pula. Tiap ruang pun disekat dengan bilik bambu. Kesederhanaan itu dilengkapi dengan tidak adanya kamar mandi di dalam rumah.

Semuanya menggunakan kamar mandi umum secara bergantian. Alias, kalau mau mandi harus mengantri. Situasi itu membuat SBY terus menguatkan Ani. Pun sebaliknya Ani meminta suaminya tak perlu khawatir.

Cobaan besar bagi Ani adalah dirinya kerap jadi bahan pergunjingan istri tentara sekitar. Statusnya sebagai anak jenderal kerap diungkit-ungkit. Banyak yang merasa aneh dengan pilihan Ani untuk memilih hidup susah, padahal anak jenderal. Ani pun tak ambil pusing. Ia terus siap sedia mendamping suami, bahkan hingga SBY jadi orang nomor satu Indonesia pada 2004.

“Banyak dari mereka mengenali aku sebagai anak Sarwo Edhie. Wah, anak jenderal, ya? Kok mau hidup di asrama seperti ini! Cetusan seperti itu kerap terdengar. Aku hanya tersenyum, sambil dalam hati mengagendakan sebuah niat. Cepat atau lambat aku harus menjelaskan pada mereka bahwa kehadiranku di sini tidak perlu dikaitkan dengan keberadaan ayahku. Seutuhnya aku siap dan senang berada di sana, sebagai istri SBY. Nyonya Bambang Yudhoyono.”

“Aku ingat pada masa-masa awal kami tinggal di sana, SBY sering menguatkan diriku. Kamu sabar ya, hidup di sini. Inilah proses yang harus kita lewati, katanya. la rupanya sangat khawatir aku tidak kerasan hidup di sana. Dengan cepat langsung kukatakan bahwa aku sangat siap dan senang tinggal di sana, walau tentu saja perlu waktu agar aku bisa menyesuaikan diri dengan luwes,” terang Ani Yudhoyono sebagaimana ditulis Alberthiene Endah dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit (2010).


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)