Partager:

JAKARTA - Keuntungan berbisnis di tanah Hindia-Belanda (kini: Indonesia) tiada dua. Tenaga kerja dan biaya produksi murah jadi muaranya. Istimewanya pemerintah kolonial Belanda tak membatasi bisnis yang ada. Segala macam bisnis yang menjanjikan keuntungan tinggi acap kali direstui.

Namun, semua berubah ketika Perang Dunia I dan Flu Spanyol mengancam. Alih-alih keuntungan, kehidupan di tanah koloni jadi sulit. Utamanya bagi kaum bumiputra. Harga bahan pokok meningkat tajam. Telur ayam yang dulunya berharga murah apalagi.

Penjajahan Belanda membawa luka yang mendalam bagi kaum bumiputra. Mereka nelangsa di tanah leluhurnya sendiri. Bahkan, diperas bak sapi perah. Kebencian terhadap Belanda pun menjadi-jadi. Situasi yang berbeda dialami oleh penjajah Belanda.

Upaya penjajahan justru dimanfaatkan untuk memperkaya negeri Belanda. Segala macam bisnis orang Belanda kerap direstui. Semuanya bermuara pada satu tujuan: keuntungan. Neraca perdagangan internasional surplus. Sementara mayoritas kaum bumiputra sendiri tak mendapatkan apa-apa.

Pekerja perkebunan pada masa penjajahan Belanda di Nusantara. (Wikimedia Commons)

Orang Belanda pun meyakini tiada yang mampu meruntuhkan ragam bisnis di Hindia-Belanda. Dari perkebunan hingga pabrikan. Nyatanya, anggapan itu salah besar. Kehadiran Perang Dunia I (1914-1918) yang disebabkan persaingan industri dan militer antara Inggris dan Jerman jadi muaranya.

Kedua negara membentuk aliansi untuk berperang. Peperangan itu memiliki efek negatif kepada negara-negara lain yang tak ikut berperang.  Hindia-Belanda, apalagi. Belum lagi Flu Spanyol ikut menyebar seiring masifnya Perang Dunia I.   

“Namun, dua tahun terakhir Perang Dunia I memperlihatkan suatu perkembangan yang berbeda. Pada tahun 1917-1918 perang kapal selam tidak terbatas Jerman bersamaan dengan blokade Sekutu menyebabkan perdagangan antara Eropa dan Hindia Belanda membeku. Akibatnya, kebutuhan Hindia Belanda yang diimpor dari Belanda digantikan oleh impor dari negara ketiga atau dengan peningkatan produksi di sektor manufaktur koloni vang mulai lahir.”

“Perhentian permusuhan pada tahun 1918 diikuti oleh inflasi harga yang ekstrem. Keseluruhan nilai ekspor dari negeri Belanda melonjak hingga dua miliar gulden pada tahun 1919 dan 1920, yang mana lebih banvak sebagai akibat dari harga vang membubung tinggi dengan cepat,” ungkap Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah nasional Indonesia Jilid V (2008).

Sengsara Akibat Perang dan Wabah

Dampak dari Perang Dunia I awalnya tak begitu terasa. Produksi terus berlanjut. Masyarakat hidup sebagaiamana adanya. Namun, ketika perang mulai memasuki tahun 1917-1918 pengaruhnya mulai besar. apalagi bersemaan dengan Perang Dunia I, Flu Spanyol mulai mengancam dunia, kemudian Hindia-Belanda pada 1918.

Jalur pelayaran yang menjadi ajian Belanda mengekspor hasil bumi Nusantara terganggu karena perang. Akibatnya, gudang-gudang penyimpanan Belanda jadi menumpuk. Kerugian besar tak terhindarkan. Pemerintah Belanda mencoba menutup-nutupi pengaruh Perang Dunia yang berimbas kepada jatuhnya ekonomi di tanah koloni. Ajian itu gagal total.

Imbas Perang Dunia I dan wabah Flu Spanyol ke mana-mana. Segala lini usaha terkena imbasnya. Dari kaum bumiputra hingga orang Eropa. Pemutusan kerja untuk mengurangi beban perusahaan santer terdengar.

Pasar tradisional di Nusantara pada masa penjajahan Belanda. Ekonomi saat itu sempat kacau akibat Perang Dunia I dan wabah Flu Spanyol. (Indonesia Zaman Doeloe)

Nasib kaum bumiputra apalagi. Seperti biasa, empunya wilayah justru kena pukulan lebih keras daripada orang Eropa. Kaum bumiputra terancam kelaparan. Daya beli mereka berkurang. Semua karena efek negatif dari perang dan wabah.

Imbas lainnya, Kebutuhan pokok serba mahal. Telur ayam yang biasanya berharga murah dan dapat diakses semua orang ikutan mahal. Kenaikan telur ayam kala itu mencapai dua kali lipat harga normal. Alias telur ayam mencapai harga tertinggi dalam sejarah di masanya.

“Dilemanya adalah bahwa harga pangan dan sandang melejit tinggi dan konsckuensi perekonomian dari perang membuat lowongan pekerjaan semakin sulit. Satu pikul beras yang harganya 6 gulden pada 1916 naik menjadi 11 gulden pada Februari 1918, di Batavia bahkan 12 gulden. Ketela telah menjadi lebih mahal. Harga telur dan ayam naik dua kali lipat sejak pecahnya perang.”

“Harga ikan segar naik tiga kali lipat. Kain menjadi dua kali lebih mahal. Naiknya minyak untuk lampu juga sama membebaninya. Diklaim bahwa sebagian orang Indonesia tidak lagi mampu menerangi rumah mereka pada malam hari sebagai akibatnya. Selain semua itu, tarif transportasi umum pun naik. Menurunnya daya beli juga mempengaruhi permintaan akan barang mewah, yang pada masa lalu masih dibeli masyarakat pribumi,” ungkap Kees van Dijk dalam buku Hindia Belanda dan Perang Dunia 1 1914 – 1918 (2013).


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)