Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming sudah dilantik. Para menteri kabinet pun sudah diumumkan. Esoknya, Senin, 21 Oktober 2024, giliran para pembantu presiden yang dilantik. Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Mokhammad Najih, SH, MHum, PhD, optimistis Prabowo dan kabinetnya akan mampu mengupayakan penegakan hukum dan meningkatkan pelayanan publik.
***
Najih, begitu dia biasa disapa, bukan tanpa alasan menggantungkan harapan tinggi pada Prabowo. Selama ini, saat kampanye dan berbagai kesempatan setelah dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2024, Prabowo cukup intens mengemukakan ide soal pemberantasan korupsi dan peningkatan pelayanan publik.
“Saya punya harapan besar pada Presiden Prabowo Subianto. Apalagi dia sudah mengumandangkan program memberantas korupsi. Dia juga menaruh perhatian dalam sektor kesejahteraan masyarakat, pendidikan, dan kesehatan. Saya kira ini adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus menjadi prioritas. Soalnya, hal ini sudah lama terabaikan,” ujarnya.
Menurut Mokhammad Najih, satu dekade yang lalu di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, pemerintah lebih fokus pada pembangunan infrastruktur. Kini saatnya fokus dialihkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Ke depan, kita harus fokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, dan jaminan kesejahteraan sosial. Program makan bergizi gratis harus kita dukung. Yang penting, program ini bukan gimmick politik, tetapi benar-benar diimplementasikan secara nyata. Dengan dana yang besar, mestinya betul-betul sampai kepada masyarakat,” harapnya.
Kepada publik, ia tak henti menyerukan untuk berani angkat bicara saat menemukan pelayanan publik yang tidak benar. “Saluran pengaduan itu banyak, bisa ke DPR atau langsung ke instansi terkait. Kami menjalin kerja sama dengan sejumlah instansi untuk menyikapi pelaporan publik dengan bijak. Sebaliknya, publik tidak perlu takut untuk melaporkan penyelenggaraan layanan publik yang bermasalah. Tidak ada alasan lagi untuk malu melaporkan temuannya. Kalau takut melapor ke instansi, Ombudsman bisa menjadi pilihan karena identitas pelapor bisa dilindungi,” katanya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidianto, dan Dandi Januar saat bertandang ke kantor VOI belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.
Apa itu Ombudsman, dan apa saja tugas dan fungsinya?
Ombudsman adalah lembaga negara yang dibentuk melalui UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman bertugas melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik yang dilakukan oleh negara, baik di pusat maupun di daerah. Termasuk juga BUMN, BUMD, dan swasta yang mendapat anggaran negara untuk memberikan pelayanan publik. Fokus kami adalah pengawasan pada negara dalam pelayanan publik. Dalam hal pelayanan publik, selain UU No. 37, juga ada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Tujuan kami adalah implementasi good governance dalam pelayanan pemerintahan dan negara yang berhubungan dengan pelayanan publik.
Apakah ada sinergi Ombudsman dengan lembaga penegak hukum lainnya?
Ombudsman adalah badan baru yang dibentuk pasca era reformasi. Ombudsman berdiri sebagai lembaga independen, jadi tidak ada hubungan struktural dengan lembaga eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Kami melakukan pengawasan terhadap seluruh lembaga pemerintah yang memiliki pelayanan publik. Kami juga melakukan koordinasi dan komunikasi dalam rangka penyelesaian masalah atau aduan yang muncul dari masyarakat.
Selama dua tahun terakhir, berapa banyak aduan dari publik dan persoalan apa saja yang mereka adukan?
Yang paling banyak itu keluhan masyarakat terkait masalah pertanahan, terutama dalam hal pendaftaran tanah. Lalu ada soal kepegawaian; seleksi ASN, kenaikan pangkat, dan mutasi pegawai. Bidang pendidikan juga banyak dikeluhkan, misalnya PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) baik di pusat maupun daerah selalu mendapat keluhan. Kami juga membuat posko PPDB untuk menampung pengaduan masyarakat.
Tugas kami adalah menerima pengaduan masyarakat untuk diselesaikan, serta mencegah adanya maladministrasi. Yang dilaporkan masyarakat adalah dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik. Saat menerima pengaduan, kami melakukan pemeriksaan dan pengecekan ke lapangan. Langkah berikutnya adalah memediasi antara masyarakat sebagai pelapor dan lembaga yang dilaporkan. Untuk penyelesaian masalah, kami melakukan komunikasi dan koordinasi. Tujuan kami adalah agar keluhan masyarakat bisa diselesaikan.
Adakah perbedaan pelayanan publik dari lembaga yang ada sebelum dan sesudah ada Ombudsman?
Ombudsman ini dibentuk pada tahun 2000 melalui Keputusan Presiden oleh Presiden Gus Dur, kemudian dikuatkan dengan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Secara valid, kami belum punya alat uji untuk menilai apakah kehadiran Ombudsman ini sudah berdampak pada pelayanan publik. Namun, sejak 2014 kami melakukan survei ke lembaga pelayanan publik, dan ada peningkatan kepatuhan terhadap layanan publik. Artinya, pelayanan publik semakin baik. Kami menggunakan alat ukur pelayanan yang meliputi empat dimensi: input, output, proses, dan pengaduan. Itu yang kami gunakan untuk menilai pelayanan publik.
Masyarakat sering mengkritik bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah dan tumpul ke atas, bagaimana Anda melihat realitas ini?
Ada empat hal yang perlu kita perhatikan dalam penegakan hukum: regulasi/peraturan, budaya masyarakat terhadap hukum, penegak hukum, dan faktor eksternal seperti intervensi pihak tertentu. Soal "tumpul ke atas, tajam ke bawah" ini bisa dilihat dari contoh di lampu lalu lintas. Orang biasa harus patuh pada lampu lalu lintas, tapi saat ada pejabat lewat dengan voorijder, mereka bisa melintas meski lampu merah menyala. Ini yang membuat masyarakat cemburu, seolah hukum tumpul pada pejabat.
Hal lainnya adalah soal sorotan publik. Kalau pejabat melakukan sesuatu, banyak yang memperhatikan; sementara kalau masyarakat biasa, tidak begitu. Karena itu, apa yang dilakukan pejabat sering lebih terekspos dibandingkan masyarakat biasa. Begitu pula jika terjadi pada figur publik seperti artis. Empat hal tadi sangat berpengaruh. Hakim akan lebih objektif memutus perkara yang tidak mendapat perhatian publik secara luas. Jadi, publik perlu mengoreksi asumsinya bahwa hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Karena produk hukum yang kurang sosialisasi, sering orang awam dipenjara. Kasus terbaru Nyoman Sukena di Bali yang harus digiring ke meja hijau karena memelihara landak Jawa yang dilindungi UU. Bagaimana mestinya penegak hukum menangani kasus seperti ini?
Penegakan hukum itu memang tak bisa serta-merta. Lihat dulu apakah masyarakat sudah tahu, memahami, dan mengerti atas sebuah aturan hukum. Edukasi itu sangat penting agar mereka tidak terperangkap oleh norma yang tidak diketahui. Dalam kasus lain, misalnya soal anak presiden yang naik pesawat pribadi, apakah itu termasuk gratifikasi atau bukan, hal ini sama seperti kasus pemeliharaan landak Jawa. Secara subjektif, bagaimana bisa anak presiden tidak tahu bahwa yang dia terima mungkin merupakan gratifikasi? Atau setidaknya (menerima fasilitas pesawat jet pribadi) berpotensi menjadi gratifikasi. Dalam kasus pemeliharaan landak Jawa, saya melihat bahwa sosialisasi aturan yang kurang masif menjadi masalah utama.
Kasus serupa juga terjadi di Malang. Ada seseorang yang membeli ikan aligator dari pasar ikan. Karena dijual bebas, ia merasa sah-sah saja untuk memeliharanya. Ini juga masalah kurangnya sosialisasi aturan. Penegak hukum seharusnya lebih sering melakukan sosialisasi.
Penegak hukum mestinya tidak membeda-bedakan apakah ini anak presiden atau bukan, semua sama di mata hukum, komentar Anda?
Ya, tidak boleh ada pembedaan dalam hal penegakan hukum. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum.
Apa yang dilakukan Ombudsman agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang?
Kami melakukan upaya preventif melalui systemic review, rapid assessment, dan juga audit kebijakan. Setiap ada kasus yang berulang, kami akan meneliti apakah ada kendala di regulasi. Jika ya, kami akan memberikan saran perbaikan kepada lembaga terkait. Ini sudah sering kami lakukan. Misalnya, pengurangan hambatan dalam pengurusan KTP, SIM, sertifikat tanah, dan sebagainya. Kami melihat progresnya cukup baik meskipun pengaduan masyarakat masih ada. Namun, jika dibandingkan 5 tahun lalu, jumlah pengaduan sudah berkurang banyak.
Tidak semua orang berani secara terbuka menyampaikan kritik atas dugaan pelanggaran hukum. Sindiran yang sering digunakan adalah memakai istilah Konoha, sebuah desa fiksi dalam komik Naruto. Bagaimana Ombudsman menanggapi suara seperti ini?
Ini akibat dari mudahnya orang yang mengkritik dijerat pasal hukum. Oleh karena itu, kritik sering disampaikan melalui sindiran, seperti lewat stand-up comedy, podcast, diskusi, dan sebagainya. Publik kadang merasa buntu, tidak tahu harus menyalurkan masalah yang mereka temui ke mana. Sebenarnya, untuk kasus pelayanan publik, Ombudsman adalah tempat yang tepat untuk mengadu. Dengan demikian, penggunaan nama lain atau istilah sindiran seperti Konoha bisa dikurangi.
Apakah ini dilakukan para pengkritik untuk menghindari delik hukum?
Ya, begitulah akhirnya yang terjadi. Di negara demokrasi, hal ini seharusnya tidak terjadi. Proses demokrasi dan perbedaan pendapat mestinya bisa terus terpelihara dengan baik.
Apakah hukum di negara kita sudah menjadi panglima? Ini yang sering dikritik, karena kenyataannya penguasa sering menggunakan hukum untuk kepentingan mereka.
Dalam satu fase, politik seringkali lebih dominan daripada hukum. Ketika politik lebih dominan, hukum seolah menjadi instrumen kekuasaan. Namun, suatu saat nanti saya percaya hukum akan lebih dominan daripada politik saat demokrasi menjadi lebih dewasa dan terbuka. Sekarang memang sudah lebih terbuka, tetapi belum maksimal. Masih ada yang menganggap politik sebagai yang paling dominan.
Selain itu, dominasi pemilik modal atau oligarki dengan sistem politik saat ini membuat biaya politik tidak murah. Persekutuan antara politisi dan oligarki ini menyebabkan posisi hukum tidak berada pada tempat yang seharusnya. Dalam konstitusi jelas dikatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Namun, dalam praktiknya, kita melihat bahwa politisi sangat menentukan arah hukum. Dan politisi seringkali dipengaruhi oleh oligarki. Inilah mengapa hukum belum bisa menjadi panglima.
VOIR éGALEMENT:
Ada revisi peraturan yang “berdasarkan pesanan,” misalnya soal usia cawapres. Puncaknya, publik begitu marah sampai berdemo saat DPR secara kilat menganulir putusan MK soal batas usia calon kepala daerah. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Kalau norma baru itu ditujukan kepada orang tertentu, jelas sekali pesannya. Berbeda jika norma baru itu untuk semua orang. Awalnya, masyarakat sudah agak rela menerima (saat ada perubahan batas usia capres dan cawapres), tetapi ketika ada lagi perubahan batas usia calon kepala daerah, rasa keadilan masyarakat terusik. Semua bergerak dan bertindak, hingga terjadilah demo besar yang menggagalkan semuanya. Ketika politisi dan oligarki berkolaborasi, hanya bisa dilawan oleh kekuatan moral rakyat yang bersatu. Mereka berasal dari berbagai kalangan, seperti akademisi, mahasiswa, karyawan, buruh, ormas, dan lain-lain.
Inilah yang harus menjadi pelajaran bagi pemegang kendali politik, baik di parpol, legislatif, eksekutif, maupun oligarki. Oligarki tak bisa hanya berpikir mereka punya uang lalu bisa bertindak sesukanya. Rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Jangan semena-mena saat memegang kekuasaan.
Di era sekarang ada istilah "no viral, no justice." Bagaimana Anda melihat fenomena ini? Apakah penegak hukum kita harus diviralkan dulu agar bisa menegakkan hukum?
Ada dua hal yang saya amati. Pertama, masalah yang ditangani oleh penegak hukum overload, sehingga mereka tidak bisa menentukan mana yang prioritas. Ketika suatu kasus menjadi perhatian masyarakat luas atau viral, barulah hal itu menarik perhatian penegak hukum. Profesionalitas penegak hukum harus ditingkatkan, dan jumlah personel perlu ditambah agar semua perkara bisa ditangani. Konsep "no viral, no justice" harus dihilangkan, tidak boleh dibiarkan.
Penegak hukum juga sering mengeluh jika sebuah kasus sudah viral. Mereka harus merespons cepat, kalau tidak, akan ada tindakan di internal mereka. Kasus Vina di Cirebon adalah contoh ketidakprofesionalan penegak hukum, sehingga kasus ini menjadi panjang. Contoh lainnya adalah kasus Sambo. Saat kejadian pertama diumumkan, ceritanya begini, tetapi setelah viral dan didalami, ternyata ceritanya berbeda.
Apakah teknologi artificial intelligence (AI) sudah digunakan oleh Ombudsman? Sejauh ini seperti apa realisasinya?
Kemajuan teknologi informasi sangat cepat. Kami sudah menggunakan sistem administrasi berbasis elektronik. Kami sudah memiliki aplikasi internal, termasuk untuk laporan masyarakat, tetapi belum menggunakan AI. Kami masih dalam proses menuju ke arah itu. Melalui aplikasi SIMPLE, masyarakat sudah bisa melaporkan persoalannya.
Apa harapan Anda terhadap pemerintahan Prabowo dalam hal penegakan hukum?
Saya punya harapan besar pada Presiden Prabowo, apalagi dia sudah mengumandangkan program pemberantasan korupsi. Dia juga menaruh perhatian pada sektor kesejahteraan masyarakat, pendidikan, dan kesehatan. Saya kira ini adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus menjadi prioritas. Selama ini, hal-hal tersebut lama terabaikan. Sepuluh tahun terakhir fokusnya adalah pada infrastruktur, tetapi ke depan kita harus fokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, dan jaminan kesejahteraan sosial. Program makanan bergizi gratis harus kita dukung. Yang penting, program ini bukan sekadar gimmick politik, tetapi benar-benar diimplementasikan secara nyata. Dengan dana yang besar, mestinya program ini benar-benar sampai kepada masyarakat. Kalau hasilnya baik, mereka tidak perlu kampanye untuk maju ke periode berikutnya.
Ombudsman siap mendukung Presiden Prabowo dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kelemahan pelayanan publik di masa lalu bisa dikurangi, dan ke depan, pelayanan publik akan lebih baik.
Apa saran Anda kepada publik agar tidak ragu melapor jika ada pelayanan publik yang tidak benar?
Saluran pengaduan itu banyak, bisa melalui DPR atau instansi terkait. Kami menjalin kerja sama dengan sejumlah instansi untuk menyikapi pelaporan publik dengan bijak. Sebaliknya, publik tidak perlu takut untuk melaporkan penyelenggaraan layanan publik yang bermasalah. Tidak ada alasan lagi untuk tidak melaporkan temuannya. Jika takut melapor ke instansi, Ombudsman bisa menjadi pilihan karena identitas pelapor bisa dilindungi.
Lepas Dinas, Mokhammad Najih Menjelma Menjadi Koki
Di kantornya, Ombudsman Republik Indonesia, atau di kampus, boleh saja Mokhammad Najih, SH, MHum, PhD, berkutat dengan aneka persoalan hukum dan aduan dugaan pelayanan publik yang tidak benar oleh masyarakat. Namun saat sudah berada di rumah, ia bisa berganti peran menjadi koki.
Kok bisa begitu? Soalnya saat pulang ke rumah, istri dan anak-anaknya sudah kangen dengan masakannya. Langsung ia berubah peran dari dosen menjadi koki di rumah.
Apa saja yang dimasak pria yang juga dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Malang ini? “Saya ini kan orang desa, saya bisa memasak masakan yang pernah dibuat oleh ibu saya. Misalnya sayur asem, sayur lodeh, sup ikan, nasi goreng, dan lain-lain. Pokoknya masakan rumahan,” katanya.
Bagi Najih, ia akan merasa senang saat anak dan istrinya puas dan menikmati apa yang dia masak. “Artinya apa yang saya racik, dari bahan baku sayuran, ikan, dan bumbu-bumbu itu ternyata pas. Buktinya mereka suka dan menikmati. Buat saya itu adalah kepuasan tersendiri saat makanan ludes, hehehe,” kata pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 17 Mei 1965.
Karena sudah biasa memasak, kalau dia berada di rumah, anak dan istrinya langsung mempercayakan padanya untuk memasak. “Kalau mereka ingin sayur lodeh atau sambal korek misalnya, mereka bilang bapak saja yang buat. Karena mereka sudah percaya, akhirnya saya yang terjun ke dapur,” ungkapnya. Istrinya jadi enggak percaya diri saat ada Najih di rumah.
Dalam memasak, Najih tak terlalu terpaku dengan takaran bumbu. Dia lebih sering berimprovisasi. “Saya lebih sering menggunakan insting saja dalam memasak. Jadi bawang merahnya berapa, bawang putih berapa, lalu ditambah ketumbar, jinten, dan lain-lain, itu tidak terpaku dengan ukuran, ya dikira-kira saja,” katanya.
Karena sering memasak, dia jadi paham dengan bumbu dan berapa takaran yang pas tanpa membuka buku resep lagi. “Tidak perlu takut atau ragu. Ya dicoba saja. Saya senang karena selama ini anak dan istrinya tak pernah komplain dengan masakannya, misalnya yang keasinan,” lanjut Najih yang hobi membaca buku.
Masak Daging Kurban
Saat momen spesial seperti Idul Fitri atau Idul Qurban pun, Najih akan berperan di dapur. “Kalau saat qurban biasanya banyak dapat daging. Saya akan mengolah daging itu dengan bumbu pepes. Daging dipotong kecil, lalu dikasih bumbu dapur yang lengkap; jahe, laos, merica, jinten, lengkuas, ketumbar, dan lain-lain, semua masuk jadi satu. Dan saya sudah bisa mengira, kalau daging sekian artinya bumbunya sekian, ya pakai insting tadi. Alhamdulillah, apa yang saya lakukan disuka dan habis disantap istri dan anak-anak,” terangnya.
Setelah di Jakarta dan bertugas di Ombudsman RI, Najih jarang sekali bisa melakoni hobinya memasak. “Soalnya kesibukan lumayan tinggi. Untuk mencari bahan dan bumbu itu kan perlu waktu. Kalau di Malang, saya tinggal masak, urusan belanja bahan dan bumbu sudah diambil alih istri,” ujarnya.
Karena hobi memasak, saat ada kunjungan ke luar kota, Najih akan meluangkan waktu ngobrol dengan koki hotel atau resto tempat dia makan. “Kalau kokinya mau cerita dan berbagi resep, saya dengarkan. Besok kalau ada kesempatan bisa masak juga dengan resep yang dia kasih. Tapi ada juga koki yang merahasiakan resep dan cara memasaknya. Ya sudah kalau dia tak mau. Saya menikmati makanannya saja,” kata pria yang menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya (S1), Universitas Diponegoro (S2), dan Universitas Kebangsaan Malaysia (S3).
Menurut dia, kuliner Indonesia itu kaya sekali ragam dan jenisnya. “Kuliner kita itu kaya sekali. Soto saja di berbagai daerah ada dengan jenis dan rupa yang berbeda. Dari Aceh sampai Papua ada soto. Ada yang kuah bening, kuah santan, dan sebagainya. Itu luar biasa kekayaan kuliner kita,” kata Najih, yang menambahkan bahwa soto Lamongan paling sering ia jumpai.
Wisata Kuliner
Menurut Mokhammad Najih, kekayaan khazanah kuliner Indonesia ini sejatinya adalah nilai lebih untuk memikat wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. “Kuliner ini harus dikemas sedemikian rupa agar menjadi suguhan yang menarik. Jadi bisa disodorkan untuk wisatawan yang datang,” tukasnya.
Kuliner tradisional, lanjut Najih, harus tetap dilestarikan agar tidak tergerus oleh kuliner kekinian. “Kuliner kekinian boleh saja, tapi jangan sampai kita lupa pada kuliner nenek moyang. Sekarang ini anak-anak kita lebih suka dengan masakan kontemporer dan hidangan fast food yang merajalela di mana-mana. Akhirnya kuliner tradisional terpinggirkan,” keluhnya.
Mestinya dibalik, bagaimana masakan lokal dan tradisional diutamakan. “Ini harus ada peran pemerintah dan pengusaha, kalau perlu masakan lokal didukung agar bisa berkembang bahkan bisa diwaralabakan ke berbagai daerah dan mungkin mancanegara,” tegasnya.
Pemerintah harus melestarikan masakan lokal karena ini bisa mendukung ketahanan pangan kita. “Sagu misalnya, bahannya melimpah, tinggal bagaimana mengolahnya menjadi masakan yang bisa diterima oleh banyak orang. Kita harus memperkuat sumber pangan yang ada di sekitar kita. Jadi tak perlu bergantung pada pangan impor,” katanya.
Ada juga tanaman sorgum yang banyak ditanam di NTT. “Sorgum itu juga tanaman istimewa. Dia bisa tumbuh bagus di lahan kering. Dan sorgum ini bisa diolah sebagai sumber pangan yang bernilai gizi tinggi. Saya kira ini harus menjadi perhatian pemerintah melalui instansi terkait,” pungkas Mokhammad Najih.
"Saya punya harapan besar pada Presiden Prabowo. Apalagi dia sudah mengumandangkan program memberantas korupsi. Dia juga menaruh perhatian dalam sektor kesejahteraan masyarakat, pendidikan, dan kesehatan. Saya kira ini adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus menjadi prioritas. Soalnya, hal ini sudah lama terabaikan,"
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)