Saat semua sektor berusaha beralih ke energi hijau untuk mencapai emisi nol bersih atau net zero emission, ternyata sektor pertambangan bauksit belum siap. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto, kondisi ini masih menjadi tantangan besar bagi pertambangan bauksit. Namun, di masa depan, ketika pertambangan bauksit sudah siap, mereka juga akan menggunakan energi baru dan terbarukan.
***
Saat ini, pertambangan bauksit, lanjut Ronald Sulistyanto, sedang menghadapi tantangan besar. Salah satunya adalah biaya produksi yang akan meningkat jika menggunakan energi hijau. “Pengusaha bauksit belum bisa melakukannya. Kita melihat ke China, di awal industri mereka juga menggunakan energi fosil. Sekarang setelah industri mereka berkembang, baru mereka berbicara tentang energi hijau. Saat ini, pengusaha bauksit belum bisa menerapkan energi hijau, tetapi di masa depan, saya kira bisa,” katanya.
Tantangan lain yang juga berat adalah ketika pada tahun 2023 pemerintah mengeluarkan aturan yang melarang ekspor bijih bauksit. Seperti halnya sektor pertambangan nikel, bauksit juga diminta melakukan proses hilirisasi dengan membangun smelter bauksit. Harapannya, dengan hilirisasi akan ada nilai tambah dari produk yang diolah dan juga berdampak positif pada banyak pihak di dalam negeri. “Ketika konsep hilirisasi akan diterapkan pada bauksit, itu cerita yang berbeda. Mungkin pemerintah belum menyadari atau sudah sadar tapi pura-pura tidak tahu, karena bauksit berbeda dengan nikel,” katanya.
Persoalan berat masih melanda pengusaha tambang bauksit yang tergabung dalam APB3I. Bertahan saja sulit karena produksi mereka tidak terserap maksimal, sementara ekspor yang menjadi salah satu saluran pendapatan sejak 2023 dilarang. Dari sekian banyak pengusaha bauksit, hanya satu yang mampu membangun smelter. Untuk membangun smelter dibutuhkan lahan yang luas dan modal yang besar.
Bank pelat merah yang diharapkan dapat mendanai pembangunan smelter bauksit malah tidak berani memberikan kredit. Tampaknya mereka sangat berhati-hati dengan proposal yang diajukan oleh pengusaha bauksit. Di saat seperti ini, menurut Ronald Sulistyanto, pemerintah seharusnya bisa bertindak. “Seharusnya pemerintah turun tangan dengan mengeluarkan asetnya untuk membangun smelter, agar perintah UU bisa dilaksanakan,” katanya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto saat bertandang ke kantor VOI di Jl. Tanah Abang III, Jakarta Pusat, belum lama ini. Inilah petikannya.
Bicara soal bauksit, berapa banyak hasil bauksit nasional dalam dua tahun terakhir? Di mana saja sentra pertambangan bauksit di Indonesia?
Saat ini, daerah yang paling banyak menjadi tempat penambangan bauksit adalah Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat. Selain dua daerah tersebut, sebarannya juga ada di Kalimantan Tengah. Namun, yang utama adalah Kepri dan Kalbar. Produksi bauksit nasional menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2022 mencapai 27,5 juta ton. Setahun kemudian, ada pelarangan ekspor bauksit, sehingga produksi hanya mencapai 13,5 juta ton.
Selain dijadikan aluminium, bauksit ini bisa dijadikan apa saja?
Pada tahap pertama, bauksit diolah menjadi alumina, yang bentuknya seperti bubuk putih menyerupai gula pasir. Ketika dipanaskan dalam bejana pada suhu tertentu, alumina akan meleleh dan menghasilkan aluminium.
Pemerintah melarang ekspor bauksit mentah, jadi harus diolah dulu dan terjadi yang namanya hilirisasi, seperti apa pelaksanaannya?
Sebelum ada hilirisasi di bauksit, hilirisasi yang lebih dulu terekspos adalah nikel. Nikel dilarang diekspor dan pengusaha diminta melakukan hilirisasi. Maksud dari hilirisasi ini adalah agar ada nilai tambah dari bahan mentah bijih nikel yang diekspor, lalu diolah menjadi bahan setengah jadi. Saat itu, banyak yang berlomba membangun smelter, sehingga ada moratorium untuk menata kembali mana yang memang harus ada dan mana yang harus ditunda agar tidak berlebihan.
Ketika konsep hilirisasi diterapkan pada bauksit, itu cerita yang berbeda. Mungkin pemerintah belum menyadari atau sudah sadar tapi pura-pura tidak tahu, karena bauksit berbeda dengan nikel. Nikel memiliki banyak turunan, sedangkan bauksit hanya menghasilkan alumina. Biaya untuk smelter bauksit sangat besar, mencapai 1,2 miliar dolar AS, dan lahan yang dibutuhkan mencapai 800 hektar. Di smelter nikel, biayanya tidak sebesar itu, berkisar antara 100 juta hingga 200 juta dolar AS. Dari amanat UU No 4 tahun 2009, hanya satu yang bisa melaksanakannya karena sangat sulit.
Sejak kapan pelarangan ekspor diberlakukan?
Pada tahun 2014, ekspor bauksit sudah dihentikan, sehingga tambang bauksit mati. Pada tahun 2017, ada izin ekspor lagi, tetapi dengan syarat jika nilainya bagus akan mendapat izin ekspor. Jadi bukan sekarang saja ada pelarangan ekspor bauksit ini. Pada tahun 2019, COVID-19 melanda, dan pertambangan bauksit berhenti lagi. Kondisi pengusaha bauksit semakin sulit.
Untuk pelarangan ekspor bauksit tahun 2023 dari pemerintah, apakah sudah berlaku efektif?
Landasan peraturan ini adalah UU No 3 tahun 2020. Namun, hingga saat ini hanya satu yang bisa membangun smelter, sementara yang lain masih kesulitan.
Artinya niat baik untuk hilirisasi ini ternyata ada kendala di lapangan, apa saja?
Saya kira pengusaha setuju dengan hilirisasi, karena ini menyangkut martabat bangsa. Namun, kendala yang dihadapi pengusaha juga harus didengar. Pemerintah harus membina pengusaha, bukan membinasakan mereka. Cara membinanya bagaimana, mari kita bicarakan. Jika hilirisasi belum sesuai dengan keinginan pemerintah, mari diperbaiki atau rencanakan ulang. Jika program ini tidak bisa dilaksanakan, artinya ada masalah.
Jadi kendalanya tidak bisa dilaksanakan program hilirisasi bauksit ini?
Yang utama adalah soal pembiayaan, kemudian soal perizinan dan kepastian hukum. Investor menanamkan dana yang tidak sedikit. Wajar jika mereka khawatir akan keamanan dana dan tentunya keuntungan dari bisnis ini.
Bank yang tergabung dalam Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) enggan mendanai pembuatan smelter bauksit, apakah karena tidak memenuhi kelayakan usaha atau ada sebab lain?
Dugaan saya, mereka sangat menjaga prinsip kehati-hatian. Namun, yang harus diingat adalah hilirisasi bauksit ini merupakan program pemerintah dan dijamin oleh pemerintah. Jika Himbara saja menilai proyek smelter ini tidak layak, artinya ada kontradiksi. Kami diharuskan membangun smelter, namun di sisi lain proposal kami ditolak oleh bank pelat merah. Jika bank Himbara saja menolak, apalagi bank asing. Seharusnya pemerintah turun tangan dengan menyediakan aset untuk membangun smelter. Jadi, perintah UU bisa dilaksanakan.
Selain bank Himbara, apakah sudah mencoba ke bank swasta lain atau bank asing yang beroperasi di Indonesia untuk pendanaan?
Bank swasta dananya terbatas, mereka harus menggalang sindikasi dengan bank lain. Bank asing juga begitu. Pemerintah China juga mendukung pengusahanya, setelah mereka besar baru dilepas dan mereka punya "anak asuh." Jadi pengusaha di sana dibina.
Apakah karena smelternya belum jadi, sehingga muncul wacana untuk membuka kembali keran ekspor bauksit?
Setelah ada pelarangan ekspor bauksit, pengusaha diperintahkan untuk membangun smelter. Pengusaha pontang-panting mencari dana. Saat ini kondisi keuangan pengusaha tidak begitu bagus. Jika ada relaksasi ekspor, itu sedikit memberi harapan. Ekuitas bisa membaik dan kita bisa menarik investor untuk masuk.
Jadi dapur bisa ngebul ya?
Ya, dapur bisa ngebul, lalu karyawan yang dirumahkan bisa kembali bekerja. Dan UMKM serta rekanan yang terlibat dalam pertambangan juga bisa terbantu. Semua lini kembali menggeliat.
VOIR éGALEMENT:
Estimasi Anda, kapan hilirisasi dengan membuat smelter bauksit bisa terealisasi?
Estimasi saya, paling cepat 10 tahun. Ada juga yang berpendapat bahwa jika eksplorasi terus dilakukan, lama-lama cadangan bauksit bisa habis. Cadangan bauksit kita diperkirakan mencapai 1 miliar metrik ton. Dan yang perlu dicatat, teknologi terus berkembang. Akan ada material baru yang lebih murah, ramah lingkungan, dan sebagainya yang bisa menjadi pengganti. Contohnya pada nikel, sekarang sudah ada bahan lain yang bisa digunakan untuk materi baterai kendaraan listrik.
Apakah ada upaya untuk melibatkan UMKM dan industri kecil dalam hilirisasi bauksit ini?
UMKM bisa terlibat dalam menyuplai bahan makanan yang diperlukan pertambangan dan smelter bauksit. Namun, untuk UMKM yang memanfaatkan hasil bauksit seperti untuk kerajinan, belum ada. Paling sisa pertambangan bisa digunakan untuk menimbun.
Apakah pengusaha bauksit sudah menggunakan energi hijau dalam pertambangan dan produksi?
Saat ini, pengusaha bauksit belum bisa menggunakan energi hijau. Kita melihat ke China, dulu di awal industri mereka juga menggunakan energi fosil. Sekarang setelah industri tersebut berkembang, baru mereka berbicara tentang energi hijau. Untuk saat ini, pengusaha bauksit belum bisa menerapkan energi hijau. Namun, di masa depan setelah industri bauksit lebih berkembang, saya kira ini bisa diterapkan.
Apakah di pertambangan bauksit sudah menerapkan konsep pertambangan lestari?
Ada program reklamasi, di mana pengusaha menyimpan sejumlah dana untuk jaminan reklamasi. Dana itu bisa diambil jika reklamasi sudah dilaksanakan. Pertambangan bauksit tidak terlalu dalam, hanya sekitar 3-4 meter, dan termasuk tambang terbuka. Jadi, tidak terlalu mengganggu lingkungan, berbeda dengan batubara yang bisa puluhan meter di bawah permukaan. Setelah reklamasi, kami melakukan regrading dan penanaman di atas lahan bekas tambang.
Apa harapan Anda untuk program hilirisasi dan relaksasi ekspor?
Keinginan kami, para pengusaha bauksit, adalah bisa berusaha dengan tenang tanpa takut dengan aturan yang menyulitkan. Kami berharap dapat menjual hasil usaha dengan harga yang wajar. Jika pemerintah menetapkan batas tertentu untuk pertambangan yang harus direalisasikan oleh pengusaha, maka jika tidak tercapai harus ada sanksi. Dengan demikian, usaha akan lebih bergairah. Pengusaha butuh pembinaan dari pemerintah. Setelah berkembang, pengusaha bisa membantu dan menyumbang untuk negara.
Ronald Sulistyanto Berhasil Bikin Jalur Pendakian di Pegunungan Alpen
Selepas kesibukan di kantor, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto punya hobi memanjat gunung. Nyaris semua gunung yang biasa didaki di tanah air sudah ia puncaki. Gunung-gunung terkenal di mancanegara pun sudah ia taklukkan. Yang hebat, ia berhasil membuat salah satu rute pendakian di Pegunungan Alpen, Eropa, yang diakui sebagai rute ke-13.
Sejak belia, Sulis –begitu ia biasa disapa– sudah hobi bertualang di alam terbuka. “Saya memang senang dengan petualangan di alam terbuka. Hobi saya mendaki gunung, olahraga yang menantang di alam terbuka,” kata pria yang usianya sudah kepala tujuh ini.
Menurutnya, ada tiga tahap dalam menggeluti olahraga ini. Pertama, hiking, yaitu berjalan di area perbukitan dengan perlengkapan sepatu kets. Kedua, mountaineering, yang sudah melibatkan pendakian dengan kemiringan 50 atau 60 derajat, lebih serius. Dan ketiga, yang spesial adalah rock climbing. Dalam prakteknya menggunakan berbagai alat khusus karena medannya amat berat.
Yang perlu diluruskan, tegas Sulis, mendaki gunung apa pun bentuknya harus memperhatikan faktor keselamatan sejak dini. “Tidak boleh mendaki gunung hanya dengan modal nekat. Kalau itu yang dilakukan bisa mati konyol. Jadi, perhatikan benar dan siapkan sebelum mendaki. Perhatikan soal cuaca, asupan makanan, peralatan yang digunakan, dan lain-lain,” tegas Sulis yang selepas SMA melanjutkan studi di Teknik Sipil ITB.
Karena sudah hobi, nyaris semua gunung yang sering didaki oleh pendaki gunung di Indonesia sudah didakinya. “Untuk Indonesia, nyaris semua gunung sudah saya daki, soalnya saya hobi. Dulu setiap akhir pekan pasti mendaki gunung,” kenangnya. Namun, sekarang, karena usia sudah tak muda lagi, intensitas pendakian sudah berkurang.
Beruntung sempat tugas belajar di Swiszerland dalam bidang tatakelola air permukaan. Setelah menyelesaikan pendidikannya dan masih ada waktu tersisa dia gunakan untuk belajar Tehnik Rock Climbing selama 1 bulan di Leysin. Di jazirah Alpen ada beberapa puncak yang sangat menentang antara lain Mont Blanc, Grandes Jorasses, Matterhorn dan Eiger.
Bikin Rute di Puncak Eiger
Dalam dunia rock climbing, Ronald Sulistyanto memang tidak main-main. Ia bahkan berhasil membuat rute sendiri di puncak Eiger. “Kebetulan saya berkesempatan untuk membuat rute yang paling berbahaya. Namanya rute ke-13 di puncak Eiger. Rute yang saya buat itu diakui sebagai salah satu rute di sana, nama lainnya adalah Indonesian Route. Saat itu, yang mendokumentasikan pendakian saya adalah wartawan senior TVRI, Hendro Subroto,” katanya, sembari menambahkan saat ini sudah ada sekitar 27 rute yang diakui di puncak Eiger.
Memang tidak sembarangan orang bisa membuat rute di puncak Eiger karena medannya berat dan lokasinya sempit. “Puncak Eiger itu sempit, seperti potongan roti. Jadi tegak lurus, dan memanjatnya membutuhkan waktu yang cukup panjang,” ujar Sulis yang kini menjabat sebagai Asistent Director di PT Laman Mining.
Selain puncaknya yang memiliki kemiringan yang curam bahkan nyaris tegak lurus, cuaca dingin menjadi tantangan tersendiri, khususnya untuk orang yang berasal dari daerah tropis seperti Sulis. “Temperatur udaranya bisa mencapai -7 derajat. Itu dingin sekali, saat mau buang air kecil yang paling repot,” ujarnya.
Taklukkan Puncak Himalaya
Gugusan pegunungan tertinggi di dunia, Pegunungan Himalaya, yang menjadi target pendaki gunung profesional, juga tak luput dari sasaran Ronald Sulistyanto. “Awalnya untuk survei saja, eh karena sudah di sana lanjut pendakian. Sama seperti di Alpen Club, di puncak Himalaya juga banyak puncak-puncak yang populer, yang paling terkenal tentu Mount Everest,” katanya.
Jalur menuju Himalaya juga tidak terbilang. Ada yang dari Tibet, Bhutan, China, Nepal. “Kita bisa memilih jalur mana yang cocok untuk mencapai puncak Himalaya,” kata Sulis yang mendaki Himalaya di awal tahun 1980-an.
Soal ransum yang dibawa juga sudah dipersiapkan dengan apik, lengkap dengan label masing-masing. “Jadi, kita tidak bisa pilih-pilih mau makan apa dalam pendakian. Pokoknya harus mengonsumsi makanan yang sudah disiapkan persis sesuai dengan label. Karena makanan sudah dihitung untuk sampai ke puncak,” tegas Sulis yang bisa berhasil di dunia tambang meski saat kuliah mengambil jurusan Teknik Sipil. Kuncinya adalah kerja keras, tekun dan ikhlas.
Mencapai Mount Everest, menurut Sulis, beratnya menghadapi cuaca yang cepat sekali berubah dan peralatan yang diperlukan untuk pendakian.
“Soal teknik pendakian, alhamdulillah saya sudah kuasai. Namun yang paling berat itu menghadapi cuaca yang cepat sekali berubah. Karena itu, perencanaan strategis harus benar-benar matang. Apalagi zaman saya dulu belum ada aplikasi cuaca yang canggih seperti saat ini. Sekarang semua sudah dalam genggaman. Dulu kita mengandalkan radio,” pungkas Ronald Sulistyanto.
"Saya kira pengusaha setuju dengan hilirisasi, soalnya ini menyangkut martabat bangsa. Tapi kendala pengusaha juga harus didengar. Pemerintah harus membina pengusaha, bukan membinasakan pengusaha. Cara membinanya bagaimana, mari kita bicarakan. Kalau hilirisasi belum sesuai dengan keinginan pemerintah mari diperbaiki atau direncanakan ulang. Kalau program ini tidak bisa terejawantahkan artinya ada masalah,"
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)