Belum tuntas pandemi COVID-19, dunia sudah dilanda cacar monyet. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) Dr. dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP, cacar monyet sebenarnya bisa dihadang dengan memperkuat imunitas dan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
***
Setelah mewabah di lebih dari 70 negara akhirnya kasus cacar monyet terkonfirmasi juga di Indonesia. Kasus pertama kasus cacar monyet atau monkeypox diumumkan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan pada 20 Agustus silam. Pasien yang terpapar adalah seorang pria berusia 27 tahun yang memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri (Swiss, Belgia dan Perancis) sebelum tertular.
Meskipun cacar monyet sudah ada di Indonesia, menurut Sally Aman Nasution sejatinya penyakit ini bisa dicegah. “Cacar monyet ini bukan penyakit baru, sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Kemudian menghilang, dan belakangan muncul lagi di banyak negara. Penyakit seperti ini sebenarnya bisa hilang sendiri asal daya tahan tubuh atau imunitas seseorang itu baik,” tandasnya.
Karena itu tidak perlu panik dengan cacar monyet, tapi dia melanjutkan jangan pula menganggap enteng. Sebagai gambaran, seperti dilansir oleh Kemenkes saat ini ada 39,718 kasus konfirmasi cacar monyet di seluruh dunia namun yang meninggal hanya 12 orang, atau kurang dari 0,001 persen dari total kasus. Dan transmisi cacar monyet tidak semudah COVID-19 yang melalui droplet di udara, tapi penularannya melalui kontak erat.
Menurut Sally Aman Nasution langkah preventif yang bisa dilakukan untuk menghindari paparan cacar monyet tidak terlalu sulit namun harus disiplin melakukannya. “Kita harus melakukan PHBS ini tidak boleh ditawar. Harus dipraktikkan dalam segala situasi dan kondisi. Itu kunci utamanya, disiplin diri masing-masing harus dilakukan. Menjaga kesehatan pribadi, mencukupi diri dengan nutrisi yang sesuai, lalu olahraga dan istirahat juga cukup. Jadi melakukan gaya hidup sehat,” katanya.
Dalam kondisi seperti saat ini ia masih menganjurkan untuk penggunaan masker saat berpergian ke tempat umum. “Meskipun penularan cacar monyet ini tidak semudah COVID-19. Karena dia harus melalui kontak dengan cairan tubuh dari orang yang terinveksi. Jadi harus tetap waspada, apalagi kalau sudah ada yang terkena di sekitar Anda. Kami juga mengingatkan teman-teman yang bertugas di rumah sakit untuk selalu waspada dan berhati-hati, karena risikonya juga jauh lebih tinggi,” tandasnya sembari mengingatkan untuk komunitas yang rawan terpapar seperti golongan autoimun, orang tua, bayi, dan ibu hamil harus mendapat perhatian khusus.
Selain bicara soal cacar monyet, Sally Aman Nasution juga bicara soal rasio dokter spesialis di Indonesia khususnya anggota PAPDI, keluhan dokter spesialis yang bertugas di daerah, pentingnya dokter beradaptasi dengan perkembangan zaman hingga kesiapan untuk menghadapi pasar bebas dan bersaing dengan dokter dari negara lain yang juga ingin berpraktik di Indonesia. Kepada Edy Suherli, Savic Rabos dan Rivai dari VOI, ia berbicara saat ditemui di kantor PB PABDI di bilangan Salemba, Menteng, Jakarat Pusat. Inilah petikan selengkapnya.
Apa saja yang masuk dalam kategori penyakit dalam? Masih ada yang belum bisa membedakan mana penyakit dalam dan bukan penyakit dalam, bisa dijelaskan soal ini?
Ilmu yang dipelajari dokter ahli penyakit dalam itu luas sekali. Ada 11 sub spesialisasi penyakit dalam yang sekarang ada. Ada alergi imunologi, metabolik endokrin, gastroenterohepatologi, geriatri, ginjal hipertensi, hematologi dan onkologi, kardiologi, psikosomatik, pulmonologi, reumatologi, dan tropik infeksi. Kalau kita lihat sejarah ilmu kedokteran sejak zaman berapa ratus tahun yang lalu, ilmu kedokteran terbagi dua saja, medikal dan surgikal. Jadi semua yang bukan bedah itu masuknya di medikal. Sebagian besar yang medikal itu dibagi lagi, anak dan bayi itu masuk ke anaknya berkembang jadi dokter spesialis anak. Yang di luar itu sebagian besar masuk ke penyakit dalam. Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, masing-masing berdiri dan berkembang sendiri. Misalnya penyakit syaraf berkembang sendiri, lalu THT (telinga hidung tenggorokan), mata dan sebagainya juga berkembang sendiri. Kalau di lihat sejarahnya sebagian besar penyakit orang dewasa adalah penyakit dalam.
Apakah masyarakat kita sudah peduli dengan penyakit dalam, sejauh mana kepedulian mereka atas risiko penyakit dalam?
Kalau dibilang peduli, masyarakat Indonesia sebagian besar belum peduli pada penyakit dalam, kalau tahu mungkin sudah banyak yang mengetahui. Tapi soal kepedulian belum. Contoh isu yang paling heboh sekarang ini soal inveksi COVID-19. Soal ini saya pikir hampir semua peduli pada COVID-19 karena takut. Tapi kalau bicara sebelumnya seperti penyakit kronik hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, obesitas itu masuk dalam lingkup penyakit dalam, banyak orang yang tahu tapi tidak banyak yang peduli. Buktinya angka kejadiannya di Indonesia dan di banyak negara masih tinggi.
Apa penyebabnya, apa memang publik yang memang tidak mau peduli atau tenaga medis kita yang kurang sosialisasi?
Menurut saya kedua faktor itu berpengaruh. Sekarang ini di mana penetrasi internet sudah sedemikian masif, sosial media demikian populer, mestinya sosialisasi informasi itu lebih cepat dan semua orang bisa dapat. Cuma memang latar belakang pendidikan juga berpengaruh.
Dari tenaga kesehatan dan profesi seperti kami dari PAPDI, setiap ada even selalu mengingatkan masyarakat. Misalnya saat ada peringatan Hari Diabetes Sedunia. Kami adakan edukasi, kegiatan pengecekan gula darah, senam sehat dan lain-lain. Upaya itu sudah dilakukan hingga ke level puskesmas dan primary care lainnya. Cuma tingkat penerimaan masyarakat tidak sama.
Tindakan preventif apa yang bisa dilakukan orang awam agar terhindar dari penyakit dalam?
Yang terpenting itu pengetahuan dan kedua awareness (kesadaran). Ada orang yang tahu tapi engga mau sadar. Bagaimana agar mereka sadar, harus ada edukasi kalau penyakit dalam ini sesuatu yang berbahaya kalau dibiarkan. Soalnya kalau publik tidak tahu hal itu berbahaya tidak akan ada yang mau peduli. Jadi edukasi itu penting sekali. Dan saat ini edukasi itu jauh lebih mudah. Kami dari organisasi profesi selalu mengingatkan teman-teman tenaga medis, dokter umum, dokter spesialis di primary care dan tempat praktiknya untuk meluangkan waktu mengedukasi masyarakat.
Sekarang ini masih masa pandemi COVID-19, ada banyak penyakit yang menjadi komorbid, penyakit dalam bagaimana?
Hampir semua yang menjadi komorbid itu penyakit dalam. Ada pasien diabetes, jantung, gagal ginjal, pasien yang mengidap sakit paru yang lama, hingga obesitas. Karena itu peran teman-teman dokter spesialis penyakit dalam amat dibutuhkan. Saat seorang terpapar COVID-19 penyakit komorbidnya harus diatasi selain mengatasi COVID-19. Pasien yang ditangani di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya akan terkontrol, yang repot itu untuk yang isoman. Kalau mereka sudah tahu namun selama ini tidak terkontrol dengan baik mungkin lebih mudah, misalnya dia pernah idap darah tinggi. Di suatu masa pernah dikasih obat oleh dokter, dengan layanan telemedicine ini bisa dikonsultasikan, apakah obat itu akan digunakan lagi atau tidak. Yang sulit itu kalau seseorang tidak mengetahui misalnya dia mengidap diabetes atau penyakit seperti darah tinggi yang terkategori penyakit penyerta atau komorbid.
Saat ini cacar monyet sudah mewabah di 70 negara lebih bagaimana mengantisipasi hal ini? Langkah preventif apa yang bisa dilakukan?
Penyakit-penyakit infeksi terutama penyakit infeksi tropik masuk dalam kategori penyakit dalam. Ada COVID-19, cacar monyet yang sekarang sedang viral, malaria, typus, dll., itu semua masuk dalam kategori penyakit dalam. Saat ini setelah COVID-19 melandai lalu lintas pergerakan manusia dari satu negara ke negara lain kembali bebas. Deteksi di perbatasan negara dan masyarakat harus ditingkatkan. Kalau ada yang punya gejala cacar monyet harus segera ditangani dan dilakukan tindakan.
Apakah untuk cacar monyet ini sudah ada obatnya atau vaksin tertentu untuk pencegahan?
Sampai saat ini masih dilakukan penelitian untuk obat cacar monyet ini. Jadi belum ada yang khusus. Yang utamanya itu simtomatic dan penyakit penyerta-nya yang ditangani. Pada orang yang rentan seperti yang menderita kanker tertentu, autoimun, orang tua, bayi, ibu hamil, mereka ini perlu perhatian khusus. Cacar monyet ini bukan penyakit baru, sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Kemudian menghilang, dan belakangan muncul lagi di banyak negara. Penyakit seperti ini bisa hilang sendiri asal daya tahan tubuh seseorang itu baik. Masalahnya ada beberapa populasi tertentu yang daya tahan tubuhnya tidak sebaik yang lain seperti mereka yang menderita, autoimun, orang tua, bayi, ibu hamil. Mereka ini rentan dan harus dijaga.
Jadi tindakan preventifnya apa?
Kita lakukan PHBS ini tidak boleh ditawar. Harus kita lakukan dalam segala situasi dan kondisi. Itu kunci utamanya, disiplin diri masing-masing harus dilakukan. Menjaga kesehatan pribadi, mencukupi diri dengan nutrisi yang sesuai, lalu olahraga cukup dan istirahat juga cukup. Jadi melakukan gaya hidup sehat. Dalam situasi sekarang ini pemakaian masker di tempat umum masih disarankan. Meskipun penularan cacar monyet ini tidak semudah COVID-19. Karena dia harus melalui kontak dengan cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Jadi harus tetap waspada, apalagi kalau sudah ada yang terkena di sekitar Anda. Kami juga mengingatkan teman-teman yang bertugas di rumah sakit untuk selalu waspada dan berhati-hati, karena risikonya juga jauh lebih tinggi.
VOIR éGALEMENT:
Saat ini apakah rasio dokter ahli penyakit dalam dengan populasi Indonesia sudah cukup?
Ini merupakan salah satu bahan diskusi kita dengan para pimpinan di Kementerian Kesehatan. Ada beberapa cara penghitungan untuk populasi ini. Secara umum menghitung rasio dokter dengan jumlah penduduk mungkin bisa, tapi untuk dokter spesialis harus ada variable tambahan. Apakah fasilitas kesehatan yang memadai? Bagaimana geografinya? Bagaimana penyebaran penduduk dan lain sebagainya. Untuk dokter spesialis penyakit dalam saya sempat tanyakan rasionya 3 per 100.000 penduduk.
Apakah di daerah untuk fasilitas untuk menunjang kerja dokter spesialis apakah sudah mendukung?
Ada program pemerintah saat ini yang mengupayakan agar distribusi dokter spesialis dasar. Jadi ada tujuh spesialis dasar yang diharapkan bisa tersebar dengan baik, spesialis penyakit dalam masuk juga di sana. Ada yang sudah mendukung fasilitasnya, ada yang masih amat sederhana. Perlu kelengkapan dan fasilitas pendukung. Ada juga dokternya ada tapi pasiennya tak ada. Setelah dicek ternyata jaraknya jauh dengan warga. Transportasi juga sulit. Akhirnya masyarakat kembali ke puskesmas lagi.
Untuk dokter penyakit dalam tidak terlalu sulit dibandingkan dengan dokter spesialis yang lain. Kami cukup dengan ruang perawatan dan laboratorium untuk analisa dasar saja. Tapi di beberapa tempat kebutuhan dasar ini pun belum terpenuhi. Teman-teman dari spesialis bedah, objyn, butuh sekali kamar operasi yang memadai agar bisa bekerja dengan baik. Ya begitu, tapi di Jawa sendiri masih ada daerah terpencil yang kasusnya seperti di luar pulau Jawa. Seperti di pedalaman Banten dan Jawa Tengah.
Kalau dokter umum ada program pengabdian, apakah dokter spesialis juga begitu?
Untuk penyebaran dokter spesialis memang ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Misalnya ada beasiswa dari pemda tertentu untuk sekolah bagi dokter umum ambil spesialis, setelah selesai dia harus mengabdi dalam kurun waktu tertentu. Harus ada dukungan agar tenaga kesehatan bisa mengembangkan ilmu dan layanannya di daerah. Insentif saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya.
Kami pernah survei mengapa dokter spesialis tidak betah di daerah, padahal rumah dapat, kendaraan ada, insentif juga cukup, ternyata apa jawabannya. Ternyata soal keluarga, sekolah anak yang menjadi motivasi utama mereka pindah ke daerah di Jawa misalnya. Ini soal manusiawi sekali ya.
Apa saja program PAPDI yang penting untuk disosialisasikan?
Ini periode kedua saya menjabat sebagai Ketua Umum PAPDI untuk 2022 – 2025. Pada periode pertama 2019-2022 kami menekankan anggota untuk beradaptasi dengan digitalisasi dan perubahan lainnya. Namun baru berjalan sebentar kita dilanda pandemi. Jadi kita putar balik semua programnya, prioritasnya anggota kita selamat dulu dan bisa membantu menyelamatkan masyarakat yang terpapar COVID-19. Kami kehilangan 40 orang internis selama COVID-19 ini. Pada periode kedua ini kita mulai mengikuti transformasi stakeholder yang paling dekat yaitu Kementerian Kesehatan. Dari IDI sendiri ada transformasi organisasi. Salah satunya meningkatkan kuota lulusan spesialis penyakit dalam sehingga bisa ditempatkan di daerah yang membutuhkan. Dari sisi organisasi transformasi yang dilakukan adalah sistem organisasi yang transparan dan akuntabel. Lalu menyiapkan tenaga spesialis kita untuk siap menghadapi pasar bebas ASEAN. Intinya dokter harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tidak perlu khawatir, yang penting harus menjaga kwalitas dan terus meng-update perkembangan teknologi biar tidak kudet alias kurang update kata kata anak sekarang.
Resep Sally Aman Nasution Jaga Keseimbangan Antara Tugas dan Hobi
Bagi seorang dokter ahli penyakit dalam seperti Dr. dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP kerja keras memang harus. Namun, menikmati hobi juga penting untuk menjaga keseimbangan dalam hidup. Bagaimana resep perempuan yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar PAPDI (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia) menyelaraskan kedua hal itu?
“Keseimbangan dalam hidup itu memang harus dilakukan dan itu sangat manusiawi, orang bilang work hard and play hard. Bagi saya menjalankan hobi itu penting meski kita sibuk bekerja,” katanya.
Dan, lanjut dokter yang murah senyum ini, urusan pekerjaan kalau mau diikuti tidak akan ada habisnya. “Seperti saya dan para dokter lainnya, mereka dituntut untuk ready 24 jam. Tetapi tentu ada waktunya kita istirahat dan di sela-sela itu menikmati hobi yang selama ini digeluti,” lanjut dokter yang hobi bermusik dan dunia tarik suara ini.
Soal musik memang sudah digemarinya sejak dulu ketika masih kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. “Dulu waktu kuliah saya ikut grup band. Hobi bermusik itu sampai sekarang terur berlajut meski cuma mendengarkan musik dan bernyanyi di rumah,” kata perempuan yang menjadi vokalis di grup bandnya.
Dalam urusan musik, ia tidak fanatik pada satu aliran musik saja. “Selagi musik itu saya bisa ikuti oke saja. Namun saya lebih senang dengan aliran musik pop dan jazz. Tapi kalau musik yang keras, saya kurang suka karena tidak bisa menikmatinya,” akunya.
Travelling
Selain musik, apalagi lagi hobi yang dilakoni dokter berambut sebahu ini? “Saya juga suka nonton film dan travelling,” ungkapnya.
Sally punya tips sebelum melakoni travelling dan mengunjungi sebuah tempat. “Dari sekian banyak tempat yang akan saya kunjungi saya daftar dulu. Lalu saya cari informasi soal daerah atau obyek wisata yang akan saya datangi itu. Karena saya senang sejarah saya akan banyak membaca soal sejarah tempat tersebut. Jadi sebelum travelling sudah tergambar tempat yang akan dikunjungi itu,” kata dokter yang tercatat sebagai Dosen Pendidik Klinis di Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ia beruntung menjadi pucuk pimpinan di PAPDI. Sally jadi punya kesempatan untuk mendatangi pengurus cabang yang tersebar dari Aceh hingga Papua. “PAPDI itu punya 39 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Saya sebagai pengurus punya kesempatan untuk mendatangi pelantikan pengurus cabang atau acara penting lainnya. Alhamdulillah saya bisa melaksanakan tugas, bertemu dengan teman-teman di daerah dan juga menikmati alam Indonesia yang indah,” paparnya.
Sebelum menjadi dokter spesialis penyakit dalam dan pakar dalam bidang kardiovaskular, Sally pernah bertugas sebagai dokter umum di kota Kupang NTT. “Tapi waktu saya bertugas itu beda sekali dengan kondisi NTT yang sekarang. Dulu waktu saya tugas di sana transportasi masih jarang. Biasanya naik kapal, soalnya naik pesawat susah. Tapi pengalaman bertugas di NTT amat berkesan,” katanya.
Salah satu yang paling berkesan baginya adalah mengenal aneka ragam tenun ikat khas NTT. “Salah satu yang saya cari di NTT itu adalah tenun ikat. NTT itu kaya sekali dengan motif tenun ikatnya. Masing-masing daerah punya ciri khas motif tenun ikat. Tenun ikat dari Manggarai, beda dengan yang dari Sumba atau Alor,” kenang Sally yang banyak diberitahu seorang rekannya yang bergerak dalam bidang tenun ikat di NTT.
Olahraga
Olahraga juga bagian penting yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan jasmani. “Dulu saya rajin datang ke pusat kebugaran. Waktu awal jadi anggota sebuah pusat kebugaran rajin dong. Tapi lama-lama saya cuma bayar iuran berkala saja. Soalnya banyak waktu yang tersita karena kesibukan sebagai dokter, dosen dan juga organisasi. Ya bagaimana lagi keadaan menuntut seperti itu,” kilahnya.
Solusi yang dilakukan Sally karena jarang ada waktu untuk ke pusat kebugaran adalah olahraga mandiri. Dia memilih olahraga jalan kaki di pagi hari sebelum berangkat ke tempat aktivitas. “Saya mencontoh ayah saya yang rajin jalan pagi. Usia ayah saya itu saat ini 88 tahun, kondisinya alhamdulillah sehat. Cuma sekarang dia susah jalan karena sempat jatuh beberapa waktu yang lalu,” katanya.
Ternyata kondisinya bisa begitu karena dia memang rajin sekali jalan pagi. “Sepertinya rajin olahraga jalan pagi itu berdampak pada kondisi fisiknya. Makanya saya teripsirasi untuk melakukan hal yang sama. Apa yang dilakukan ayah saya itu terbukti manfaatnya,” lanjutnya.
Tips sehat ala dokter Sally adalah keseimbangan hidup antara bekerja dan istirahat. “Kerja keras boleh banget, tapi ingat badan kita butuh istirahat juga. Kalau sudah bekerja sekian lama jangan lupa istirahat ya. Selain itu konsumsi makan dengan nutrisi dan gizi yang seimbang,” ujarnya.
Memang, lanjut Sally Aman Nasution tidak mudah untuk melakoni itu semua tapi dia berusaha sebisa mungkin meski keadaannya kadang tidak mendukung. “Olahraga itu penting dilakukan sesuai dengan kondisi masing-masing. Bergerak itu penting, soalnya di masa pandemi ini kita lebih banyak meeting, belajar secara virtual. Itu kan kurang bergerak. Makanya penting bergerak atau olahraga ringan di sela-sela zoom meeting. Dan rokok kalau bisa dihindari, karena badan Anda akan lebih sehat tanpa rokok,” katanya menyudahi perbincangan.
"Cacar monyet ini bukan penyakit baru, sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Kemudian menghilang, dan belakangan muncul lagi di banyak negara. Penyakit seperti ini sebenarnya bisa hilang sendiri asal daya tahan tubuh seseorang itu baik,"
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)