Partager:

JAKARTA – “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya… Hiduplah Indonesia raya.” Lagu Indonesia Raya diciptakan oleh WR. Supratman ketika usianya belum genap 25 tahun. Diperdengarkan kali pertama di Kongres Pemuda kedua pada hari Minggu 28 Oktober 1928.

Prof. Dr. Subroto sampai termenung, bagaimana bisa seorang pemuda kala itu menulis lirik lagu dengan tegas dan jelas. Menginginkan kejayaan jiwa raga dari negara yang bernama Indonesia.

Padahal, nama ‘Indonesia’ masih seperti embusan angin ketika itu. Kebanyakan orang juga masih terikat dengan kesukuan dan masih dalam bayang-bayang penjajahan.

“Tapi, itulah pemuda. Dia seperti anak panah yang ditakdirkan melesat ke masa depan. Dia memiliki mimpi dan kemampuan mewujudkan impiannya itu,” tutur Subroto dalam bukunya ‘Indonesia di Tanganmu’.

Saat ini, mungkin banyak anak usia belasan yang tidak tertarik lagi menyimak kisah-kisah perjuangan pada masa lampau. Tak lagi mampu menangkap getaran perjuangan kisah sejarah semisal Budi Utomo, Sarikat Islam, Sumpah Pemuda, atau perjuangan Soekarno.

Tak menampik, itu mungkin karena kesalahan kalangan tua yang tidak cukup menyadari pentingnya mengenalkan anak-anak sejarah bangsanya sendiri. Konsep trilogi pendidikan yang dilontarkan Ki Hajar Dewantara berarti belum sepenuhnya berjalan baik.

Ing ngarso sung tulodho (di depan menjadi teladan), ing madya mangun karso (di tengah membangun motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).

“Sekalipun demikian, anak-anak muda tetap harus disadarkan bahwa merekalah pemimpin masa depan negeri ini. Apapun yang sedang mereka pelajari dan gandrungi, mereka harus tetap terjaga menatap masa depan Indonesia,” ucap mantan Menteri Pertambangan dan Eenergi era Orde Baru ini.

Selamat Hari Sumpah Pemuda. (Kemenpora)

Membangun kesadaran tentang nilai-nilai Pancasila menjadi hal wajib. Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

Namun, bukan sebagai rapalan jimat, nilai-nilai Pancasila harus diajarkan, ditanamkan ke dalam hati hingga kemudian terwujud dalam tindakan.

“Kita tidak menekankan perkataan Pancasila, tetapi menanamkan tindakan-tindakan nyata,” Subroto menjelaskan.

Tak penting apa judulnya, penanaman nilai-nilai Pancasila harus meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sehingga anak tidak sekadar hafal, tetapi juga dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada masa digital dan keterbukaan arus informasi, tidak mungkin lagi pola pendidikan hanya mengajak anak membaca sejarah era kejayaan bangsa masa lalu. Nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan menyesuaikan kondisi zaman.

Anak harus dididik membangun semangat gotong royong dan usaha bersama, bukan mencari kemenangan diri sendiri. Saling membantu, saling asah, asih, asuh.

Seperti yang sudah dicontohkan para pemuda yang menjelma menjadi tokoh pendiri bangsa. Gotong royong diwujudkan dalam pengakuan akan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak mungkin akan ada gotong royong tanpa adanya persatuan rakyat Indonesia sebagai satu bangsa.

Dalam konteks yang lebih luas, gotong royong selalu mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat. Gotong royong juga dilakukan demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah jati diri bangsa Indonesia.

Jati Diri Bangsa

Bangsa yang kuat, kata Subroto, adalah bangsa yang memiliki jati diri. Jepang menjadi negara maju bukan karena memiliki kekayaan alam yang lebih melimpah dari Indonesia, melainkan karena kekuatannya memegang teguh jati diri bangsa, sebagai orang Jepang.

Itulah mengapa, dalam lagu Indonesia Raya yang didahulukan adalah membangun jiwa, baru kemudian membangun badan.

“Sekali lagi, ini mengherankan dan membanggakan, bagaimana pemuda (WR Supratman) bisa memiliki pandangan setajam itu,” ucap Subroto.

Demikian pula dalam perumusan Pancasila, sambung Subroto, “Bung Karno, Bung Hatta, dan sederet anak-anak muda lainnya begitu mampu merasakan apa yang berdetak di hati bangsanya dan merumuskannya ke dalam gerakan melawan kolonialisme. Mereka telah memberi teladan yang tak ternilai bagi kita saat ini.”

Sayangnya, pemuda Indonesia saat ini seperti tengah kehilangan panutan. Cenderung individualistis dan terjebak dalam gaya hidup konsumerisme. Kekuasaan ekonomi dan politik tidak diabdikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, tapi dijadikan sebagai kesempatan memperkaya diri.

Lebih miris lagi, Pancasila hanya dijadikan sebagai komoditas politik. Banyak orang mengaku Pancasilais tetapi perilakunya jauh dari nilai-nilai Pancasila.

“Ini menunjukkan kita telah kehilangan kompas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Subroto.

Prof. Dr. Subroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi (1978-1988). (Laman resmi Kementerian ESDM)

Yang terpenting adalah menanamkan nilai-nilainya dan mendidik serta memberinya teladan agar nilai-nilai itu berbuah dalam tindakan.

Presiden Soekarno mengatakan, “Bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya, dengan sendirinya harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya.”

Bung Hatta pun memberi pesan, “Kalau sekali-sekali kita berbuat salah, diingatkan. Sehingga, kita harus kembali ke jalan yang lurus. Itulah gunanya Pancasila. Bukan sekadar dihapalkan di bibir saja. Hapalkan, jalankan dengan bukti.”

Mendidik tidak hanya sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, namun juga menanamkan nilai-nilai akhlak mulia dan budi pekerti yang baik.

Selamat Hari Sumpah Pemuda, bersatu membangun bangsa.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)