Partager:

JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafid Abbas mengungkapkan pemicu munculnya aksi terorisme di Indonesia akarnya adalah ketidakadilan. Sejumlah kasus seperti penggusuran rumah warga, pengambilalihan lahan oleh pengusaha yang didukung pemerintah, membuat sebagian masyarakat mengambil tindakan di luar kewajaran.

“Gimana misalnya orang diambil tanahnya di pulau, digusur, kalau dia keberatan lalu disebut teroris? Itu bukan teroris. Dia radikal karena diperlakukan tidak adil. Jadi hampir semua kasus-kasus seperti itu, akarnya ketidakadilan,” ujar Hafid kepada host Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 30 Oktober 2024.

Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1957 itu mencontohkan kebijakan Pemerintah DKI Jakarta yang menggusur permukiman warga di Kalijodo, Jakarta Utara, pada 2016. Kala itu warga melapor kepada Komnas HAM karena merasa tidak mendapatkan keadilan dari kebijakan tersebut.

“Dia (Pelapor) mau bunuh diri. Karena sudah renovasi rumahnya. Sejak 1957 rumahnya punya sertifikat. Dia pinjam ke bank, tiba-tiba digusur. Jadi merasa tidak ada lagi artinya hidup. Kalau dia punya bom, dia bom semua orang. Itu tidak bisa dikatakan teroris,” ucap Hafid. “Makanya, perlu menghadirkan Pancasila pada negara yang ber-Pancasila ini,” ucapnya menambahkan.

Hafid lantas merunut asal mula isu terorisme. Menurutnya, isu terorisme berkaitan dengan isu Islamophobia yang diciptakan Amerika Serikat untuk mendukung militansi Afganistan dalam perang dengan Uni Soviet sekitar 1979. Tujuannya, kata Hafid, agar Uni Soviet atau sekarang Rusia segera hengkang dari wilayah okupasinya di Afganistan. Oleh karenanya, Hafid menegaskan terorisme bukanlah isu agama. “(Karena) tidak ada agama yang mau (mengajarkan) bunuh diri,” ucapnya.

Kendati demikian, guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu tidak menampik penyebab terorisme yang terjadi di sejumlah negara karena paham maupun kelompok pemikiran seperti ISIS. “Tapi di Indonesia bukan itu penyebabnya, bukan. Tapi sekali lagi ketidakadilan,” katanya tegas.

Kepada Eddy Wijaya, Hafid Abbas menceritakan pengalamannya membela HAM. (Dok Eddy Wijaya)
Kepada Eddy Wijaya, Hafid Abbas menceritakan pengalamannya membela HAM. (Dok Eddy Wijaya)

Ungkap Kasus Anak di Sel Dewasa Australia Lewat Tulisan

Kepada Eddy Wijaya, Hafid menceritakan sejumlah kasus besar yang pernah diungkapnya dalam memperjuangkan isu HAM. Salah satunya kasus imigran ilegal dari Timur Tengah ke Australia melalui NTT pada medio 2008-2013. Mereka kemudian tertangkap, termasuk anak-anak Indonesia yang membantu para imigran gelap tersebut menuju Australia.

Mengetahui anak-anak Indonesia yang masih di bawah umur ditahan di penjara orang dewasa dan hal tersebut melanggar HAM. Hafid kemudian menulis di sejumlah media asing terkait aparat keamanan Australia yang telah menempatkan anak-anak Indonesia itu di penjara dewasa.

“Saya itu aktif menulis di berbagai media internasional. Suatu hari saya melihat mengapa, kok, ada anak-anak Indonesia ada di penjara Darwin, di Perth, di Queensland, dan di Melbourne. Mereka berada di penjara orang dewasa padahal masih anak kecil,” ujarnya.

“Saya menulis, hey Australia, kamu melanggar ini, melanggar itu. Australia kaget dan anehnya masyarakat Australia yang baca tulisan saya juga maki-maki pemerintahnya. Bahkan tulisan saya didukung juga oleh Dewan HAM PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),” kata dia.

Hafid yang pernah menjabat Deputi Menteri Negara Urusan HAM periode 1999-2000 itu mengatakan dukungan yang mengalir akibat tulisannya tersebut akhirnya bermuara ke ranah hukum. Sejumlah pengacara Australia membela narapidana anak tersebut. “Setelah lebih 10 tahun, awal tahun ini (Australia) memutuskan untuk memberikan kompensasi 27,5 Miliar Dolar Australia setara 275 triliun rupiah. Mudah-mudahan ini bisa bermanfaat bagi negeri ini,” ujarnya.

Hafid mengaku sudah mengirim surat ke Presiden Prabowo Subianto mengenai pemberian kompensasi tersebut. Harapannya agar kasus serupa tidak terulang. “Masyarakat yang bermukim di pesisir pantai jangan lagi mau digoda untuk menjadi imigran ilegal. Jadi mestinya pemerintah membina mereka. Diberi dia pendidikan yang baik, bisa mandiri, supaya tidak tergoda melakukan hal illegal. Itu negara harus hadir,” kata dia.

Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini Profilnya

Sosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa. Gagasan-gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”. (ADV)


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)