Mengenal Brain Rot, Pembusukan Otak Akibat Konsumsi Konten Kualitas Rendah di Media Sosia
JAKARTA – Oxford University Press mengumumkan kata brain rot sebagai Word of the Year 2024. Istilah brain rot mendapat perhatian signifikan tahun ini mengingat dampak media sosial terhadap individu kian memprihatinkan.
Kita mungkin masih ingat tren skibidi toilet yang pernah populer beberapa waktu lalu. Video pendek berdurasi 11 detik di YouTube sudah disaksikan lebih dari 215 juta kali, dan menghasilkan ratusan juta referensi di TikTok serta media sosial lainnya.
Seiring kemunculan tren skibidi toilet, dan video pendek lainnya atau disebut short di YouTube, istilah brain rot makin sering digunakan. Maka pantas saja jika diumumkan oleh Oxford sebagai kata paling populer tahun ini.
Kata tersebut awalnya populer di media sosial di kalangan komunitas generasi Z dan generasi Alpha tetapi sekarang digunakan sebagai cara untuk menggambarkan konten berkualitas rendah dan bernilai rendah di mesia sosial.
Brain rot atau kebusukan otak didefinisikan sebagai kemerosotan kondisi mental atau intelektual seseorang, terutama yang dipandang sebagai akibat dari konsumsi berlebihan konten online, yang dianggap sepele atau tidak menantang. Sayangnya, hanya sedikit orang yang menyadari betapa teknologi telah merusak otak kita.
Internet Mendistorsi Proses Kognitif
Dampak penggunaan media sosial secara berlebihan sudah sering diutarakan berbagai kalangan, mulai dari sisi kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Belakangan, istilah brain rot makin mendapat perhatian signifikan.
Hal ini tercermin dari kekhawatiran tentang dampak mengonsumsi konten daring berkualitas rendah dalam jumlah berlebihan, terutama di media sosial, seperti dikutip BBC. Bahkan, frekuensi penggunaan istilah ini mengalami peningkatan sebesar 230 persen dari tahun 2023 hingga 2024.
Psikolog dan Profesor Universitas Oxford Andrew Przybylski mengatakan popularitas kata tersebut merupakan “gejala dari masa yang kita jalani saat ini”. Istilah brain rot sudah tercatat jauh sebelum terciptanya internet, ketika Henry David Thoreau menuliskan istilah ini dalam bukunya berjudul Walden pada 1854.
Ia mengkritik kecenderungan masyarakat untuk merendahkan nilai ide-ide yang kompleks dan bagaimana hal ini menjadi bagian dari penurunan umum dalam upaya mental dan intelektual.
Tapi jika dikaitkan dengan dampak internet dan media sosial, brain rot atau pembusukan otak sudah diramalkan 20 tahun yang lalu ketika para ahli mempelajari dampak sebuah penemuan baru yang disebut email, terutama dampak dari rentetan informasi yang tidak henti-hentinya terhadap otak para peserta.
VOIR éGALEMENT:
Hasilnya? Kelebihan beban kognitif yang terus menerus memiliki dampak yang lebih negatif daripada mengonsumsi ganja, dan IQ para peserta turun rata-rata 10 poin.
Dan, ini terjadi sebelum telepon pintar menghadirkan internet di ujung jari kita, yang mengakibatkan rata-rata orang dewasa Inggris sekarang menghabiskan paling sedikit empat jam sehari untuk online. Pria generasi Z menghabiskan 5,5 jam sehari untuk online, sedangkan perempuan dari generasi yang sama 6,5 jam.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak penelitian akademis dari berbagai lembaga termasuk sekolah kedokteran Harvard, Universitas Oxford, dan King’s College London menemukan bukti bahwa internet menyusutkan ‘materi abu-abu otak’, memperpendek rentang perhatian, melemahkan memori, dan mendistorsi proses kognitif kita.
Materi abu-abu dalam otak memungkinkan kontrol gerakan, ingatan, dan emosi. Materi utama ini terdiri dari badan sel saraf, yang memproses dan melepaskan informasi.
Pentingnya Batasan Waktu Bersama Gawai
Penurunan ini tidak terbatas pada kelompok usia tertentu. Kerusakan otak akibat penggunaan media sosial dapat memengaruhi anak-anak dan orang dewasa, meski penyebab dan gejalanya bisa berbeda.
Anak-anak yang mengalami gangguan akibat brain rot terlihat dari berkurangnya perhatian, kesulitan berkonsentrasi mengerjakan tugas, dan prestasi akademis yang buruk.
Sedangkan kerusakan otak yang dialami orang dewasa ditandai dengan mudah lupa, motivasi rendah, mudah tersinggung, dan terlalu bergantung pada perangkat gawai untuk hiburan.
Psikolog klinis dari Rumah Sakit Holy Family di Mumbai Narendra Kinger menjelaskan bahwa waktu menonton layar yang berlebihan adalah salah satu penyebab terbesar dari kerusakan otak.
“Konsumsi berlebihan terhadap materi yang remeh mengurangi rentang perhatian dan membatasi pemikiran kritis,” ujar Kinger.
Selain penggunaan media sosial dan pengguliran (scrolling) internet tanpa akhir, hal lain yang menyebabkan kerusakan otak meliputi kurangnya aktivitas fisik, kurang tidur, dan gizi buruk. Tanpa istirahat yang cukup dan diet seimbang dengan asupan banyak nutrisi penambah fungsi otak seperti asam lemak omega-3 dan antioksidan, fungsi kognitif dapat menurun seiring berjalannya waktu.
Gaya hidup yang aktif makin memperburuk masalah karena aktivitas fisik sangat penting untuk menjaga kesehatan otak dan mental. Untuk itu, Kinger menyarankan agar orangtua menetapkan batasan waktu layar yang jelas dan mendorong permainan di luar ruangan untuk merangsang kreativitas dan mengurangi stres anak-anak.
Kinger juga menyoroti pentingnya hobi lain seperti membaca, musik, dan seni. Aktivitas tersebut dapat membantu anak-anak mengembangkan fokus dan keterampilan berpikir kritis.
Bagi orang dewasa, memerangi kerusakan otak berarti menemukan keseimbangan antara konsumsi digital dan aktivitas menantang pikiran. Menurut Kinger, seseorang perlu melakukan permainan yang dapat merangsang pikiran seperti memecahkan teka-teki, atau melakukan percakapan yang mendalam dan bermakna.
"Memahami kerusakan otak adalah langkah pertama untuk mencegahnya," kata Kinger.
"Otak Anda adalah aset Anda yang paling berharga. Lindungilah dengan saksama, karena kesehatannya menentukan kualitas hidup Anda," pungkasnya.