JAKARTA - Setelah 19 tahun, Indonesia akhirnya berhasil kembali merebut trofi bergengsi bulu tangkis dunia, Thomas Cup. Namun euforia penuh kebanggan itu tercoreng dengan gagal berkibarnya bendera kebangsaan merah putih. Kerja Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) disoroti. Di balik gagalnya pengibaran Merah Putih, kita sekarang tahu kapasitas Zainudin Amali.

Untuk melihat persoalan ini secara komprehensif, kita perlu kembali ke kabar buruk beberapa waktu lalu. Jumat, 8 Oktober, World Anti-Doping Agency (WADA) menyatakan Indonesia tak mematuhi penegakan standar program antidoping. Dampaknya, sejumlah hak Indonesia di berbagai ajang olahraga dicabut selama satu tahun.

Pertama, Indonesia tak bisa menjadi tuan rumah kompetisi olahraga regional, kontinental, dan dunia selama masa penangguhan. Selain itu Indonesia juga kehilangan hak untuk duduk sebagai anggota dewan di komite. Kerugian lain, meski atlet-atlet Indonesia tetap diizinkan bermain dalam berbagai kejuaraan, tapi bendera nasional Indonesia tak diizinkan berkibar, kecuali di Olimpiade.

Poin terakhir adalah implikasi yang kemarin malam kita lihat di Aarhus Arena, Denmark, ketika Tim Thomas Indonesia menjuarai kompetisi bersejarah Thomas Cup. Jonatan Crhistie dan rekan merayakan tanpa pengibaran merah putih yang agung. Pemandangan ini disoroti pedas sejumlah stakeholder olahraga. Legenda bulu tangkis, Taufik Hidayat, misalnya.

Peraih medali emas Olimpiade 2004 itu memertanyakan kerja otoritas olahraga, dalam hal ini Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Komite Olimpiade Indonesia (KOI), dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Taufik menyatakan pesimisme pada kesiapan Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade di masa mendatang.

Selain Taufik, mantan pemain ganda putra nasional, Candra Wijaya juga berkomentar pahit. Candra, kita tahu adalah salah satu pemain yang ikut menjuarai Piala Thomas 2002, kali terakhir Indonesia memenangi kejuaraan tersebut. "Ironis. Pada saat merayakan kemenangan Thomas Cup, Merah Putih tidak bisa berkibar. Memalukan," tutur Candra, dikutip Antara.

Sorotan pada kinerja Menpora

Dari parlemen, Ketua Komisi XI DPR Saiful Huda menyoroti janji Menpora Zainudin Amali merespons sanksi WADA. Setelah WADA menjatuhkan sanksi beberapa waktu lalu, Zainudin Amali berjanji bergerak cepat melakukan klarifikasi dan berbagai upaya lain untuk menghindarkan Indonesia dari sanksi. Nyatanya tak terbukti.

“Saat itu Pak Menpora menyatakan jika WADA bersedia menunggu sampel uji doping di PON Papua untuk memenuhi batas minimal TDP atlet Indonesia. Ternyata Indonesia resmi disanksi sehingga Merah Putih tidak berkibar meskipun Hendra Setiawan dan kawan-kawan berhasil mengembalikan Piala Thomas ke Tanah Air,” kata Huda.

Diketahui, WADA mengirim formal notice terkait status Indonesia yang dinilai tidak mengikuti standar test doping plan (TDP) pada 15 September 2021. WADA memberikan kesempatan 21 hari kepada Indonesia untuk memberikan klarifikasi.

Sementara, Menpora Zainudin Amali hanya menanggapi teguran WADA terkait implementasi program uji doping yang efektif. Zainudin Amali mengklaim WADA sudah memahami kondisi olahraga di Tanah Air yang sempat terhenti karena pandemi.

Menpora Zainudin Amali (Sumber: Dokumentasi Kemenpora)

Zainudin Amali juga mengklarifikasi soal keterlambatan respons. Zainudin Amali beralasan keterlambatan respons itu terjadi karena LADI sedang dalam transisi pergantian kepengurusan. Lebih lanjut Zainudin Amali mengklaim ada hasil dari upaya pemerintah mengklarifikasi.

Buktinya, hanya bendera Merah Putih yang dilarang berkibar, sementara lagu kebangsaan Indonesia Raya tetap boleh berkumandang. "Terlihat bendera tidak diperkenankan (berkibar), tetapi lagu Indonesia Raya diperbolehkan. Kalau kita udah dapat sanksi penuh itu dua-duanya tidak bisa," katanya.

Tentu saja salah. Lagu kebangsaan tidak termasuk sebagai implikasi hukuman WADA. Pernyataan Zainudin Amali pun dihujat publik. "Budaya ngeles dengan putusnya urat malu adalah ciri khas politik Indonesia. Mbok kudu teladani budaya Jepang. Salah yo RESIGN, rek!!!" akun @Jimhan21878 dalam kicauan Twitter.

"Sungguh sangat memalukan punya Kementerian seperti ini. Banyak ngeles. Banyak alasan enggak masuk akal. Kalau di negara sono ud malu lanjut mengundurkan diri kali ya. Tapi apa mau dikata negara kita pejabatnya muka tembok. Ayo pak @jokowi ini bukan masalah sepele loo," tulis pengguna Twitter lain, @rona_ri.

Tak cuma itu. Blunder lain yang ditunjukkan Zainudin Amali tampak ketika ia menyebut Fajar Alfian dan Muhammad Rian Ardianto sebagai atlet junior. Padahal dalam kategorisasi umum kejuaraan bulu tangkis dunia, kategori junior merujuk pada atlet-atlet U-15, U-17, dan U-19. Dan untuk kejuaraan bulu tangkis level kontinental dan dunia, biasanya yang dipertandingkan adalah U-19.

Usia Fajar dan Rian adalah 26 tahun dan 25 tahun. Fajar yang lahir di Bandung, 7 Maret 1995 mengawali karier bulu tangkisnya dari PB SGS PLN, Bandung. Ia masuk ke pusat pelatihan nasional PBSI pada 2014. Sementara, Rian, yang lahir di Bantul pada 13 Februari 1996 mengawali karier untuk klub Jaya Raya Jakarta.

 

Duduk persoalan versi LADI

Pada hari di mana sanksi WADA dijatuhkan, Wakil Ketua LADI Dokter Rheza Maulana menjelaskan persoalan yang mendorong jatuhnya sanksi. Ada tiga poin. Pertama soal planning test untuk 2022. Kedua, tentang testing untuk Pekan Olahraga Nasional (PON). Ketiga, jumlah testing yang tidak sesuai dengan realisasi. Persoalan yang ditinggalkan kepengurusan lama.

"Testing 2021 tidak sesuai dengan jumlah realisasi karena terkendala COVID. Kedua testing untuk PON. National game. Itu sudah dikirim ke mereka. Sudah di-acc, tinggal tunggu pelaksanaannya saja. Itu sebenarnya tidak masalah. Ketiga, planning test untuk 2022. Kan kita belum bisa prediksi COVID ada atau enggak," kata Rheza kepada VOI.

"Mereka (WADA) ini per tahun harus melakukan tes sejumlah sekian. Namun pada tahun 2021 ini kita bisa lihat bersama bahwa jumlah tes yang direncanakan oleh kepengurusan sebelumnya, pada 2020 itu tidak seperti realisasi 2021. Kita terkendala banyak hal, termasuk yang paling parah pandemi," tambah Rheza.

Rheza menjelaskan pihaknya telah menjalin komunikasi dengan WADA. Pembenahan juga dilakukan, termasuk mengejar jumlah target testing sesuai standar WADA. Nanti setelah tes doping terpenuhi, LADI akan kembali bersurat, meminta WADA kembali me-review. Jika hasilnya sesuai standar, bukan tak mungkin sanksi segera dicabut sebelum masa penangguhan satu tahun.

"Nanti tim mereka, tim adjustment mereka, tim compliance namanya akan me-review. Kalau memang sudah sesuai semua tinggal dicabut sama mereka, mas," kata Rheza.

Ia optimis persoalan bisa diselesaikan sesegera mungkin karena menurut dia pada dasarnya ini bukan masalah krusial. "Dulu Rusia kan pernah ada itu melibatkan pemerintahan. Manipulasi data. Itu kan bahaya. Itu sangat fatal ... Kalau kita itu masalah administrasi. Ketidakcocokan saja," tutur Rheza.

*Baca Informasi lain soal OLAHRAGA atau baca tulisan menarik lain dari Nailin In Saroh, Riki Noviana juga Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya