Eksklusif, Sekjen PDGI Tari Tritarayati Ungkap Urgensi Ikut Aksi Demo RUU Kesehatan
Dalam sejarah baru kali ini organisasi profesi kesehatan menggelar aksi unjuk rasa. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) bersatu mengkritisi RUU Kesehatan Omnibus Law yang kini dibahas DPR RI. Menurut Sekjen Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) drg. Tari Tritarayati, SH., MHKes., mereka terpaksa menggelar unjuk rasa damai pada 8 Mei 2023, karena ada persoalan esensi yang harus diluruskan.
***
Ada beberapa hal yang membuat RUU Kesehatan ini perlu dibahas lebih lanjut. Pertama soal transparansi, pembahasan UU ini dianggap tidak transparan. Kedua, ada indikasi untuk melakukan liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan. Dan ketiga, menolak penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi, dan Surat Tanda Registrasi (STR). Mereka berpendapat bahwa semua tenaga kesehatan harus terdaftar di konsil masing-masing dan harus dievaluasi setiap lima tahun.
“Tidak perlu terburu-buru mengesahkan sebuah RUU. Apa yang ingin dikejar? Lihat dulu perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya seperti UU Praktik Kedokteran, UU Keperawatan. Itu sudah diatur semua. Dalam RUU ini kami tidak diberi ruang untuk menyampaikan hal-hal penting agar kami bisa menjalankan profesi sesuai etika,” tegas Tari.
Khusus yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut yang menjadi perhatian PDGI adalah soal prasa “negara hadir dan bertanggungjawab dalam kesehatan gigi dan mulut”. Dalam RUU Kesehatan yang baru ini kata-kata itu hilang. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab kalau negara saja tidak dibebankan oleh UU. Soalnya kesehatan gigi dan mulut itu penting untuk meningkatkan derajat kesehatan pada umumnya.
Target lima organisasi profesi ini adalah penghentian membahasan RUU Kesehatan ini. Mereka ingin duduk bareng dan pikirkan kepentingan yang lebih besar ke depan. “Kita baru saja lewat dari masa pandemi COVID-19 yang mencekam. Saat itu tenaga medis berjibaku di garda terdepan. Ayo ingat situasi itu, itu semua peran tenaga kesehatan. Karena itu sekarang kami meminta, dengarkan aspirasi kami,” kata Tari Tritarayati yang ditemui Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai dari VOI di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan belum lama berselang. Inilah petikannya.
Apa saja problem kesehatan gigi yang umum ditemukan di Indonesia, bagaimana mengatasi hal itu?
Masalah utama dalam kesehatan gigi dan mulut yang adalah soal karies gigi, lalu ada soal beberapa penyakit gigi yang kita kenal dengan periodontitis, jaringan pendukung gigi dan penyakit kesehatan gigi lainnya. Menurut data riset kesehatan nasional 2013 dialami masyarakat menggunakan indeks DMF (Decayed, Missing due to caries, Filled due to caries) yaitu dicabut karena karies gigi sebesar 7,5 (perdesaan) 6,8 (perkotaan). Tahun 2018 dilakukan riset lagi angkanya masih sama, ini masih jadi penyakit gigi tertinggi di Indonesia. Ini memang pekerjaan rumah yang berat bagi kami, pemerintah dan masyarakat.
Solusinya apa?
Pencegahan lebih penting daripada pengobatan. Semua pihak harus melakukan edukasi masyarakat untuk bisa menjaga kesehatan gigi dan mulut. Soalnya biaya kesehatan kalau sudah mengobatan itu sangat mahal. Makanya perlu sekali upaya preventif.
Bagaimana kesadaran masyarakat untuk periksa kesehatan gigi?
Dari data riset kesehatan nasional, ternyata soal kesehatan gigi dan mulut masih belum menjadi prioritas di masyarakat kita. Kesehatan gigi dan mulut bisa berdampak pada kesehatan tubuh secara umum. Saat riset kita tanya berapa kali gosok gigi setiap hari, sudah banyak yang menjawab dua kali. Lalu kita tanya waktunya, ternyata ini yang banyak kurang tepat. Yang tepat itu ketika akan tidur dan bangun tidur dan selesai makan agar tak ada sisa makanan yang bisa menyebabkan karies gigi. Kebanyakan setelah sakit baru ke dokter gigi. Minimal 6 bulan sekali ke dokter gigi untuk mengecek dan membersihkan karang gigi. Dengan BPJS semua itu sudah ada solusinya.
Apakah PDGI ada program untuk edukasi kesehatan gigi baik mandiri atau kerja sama dengan pemerintah dan pihak swasta?
Kita melakukan edukasi dan bekerjasama dengan pemerintah dan pihak terkait. Itu terjadi dari tingkat anak-anak sampai lansia. Dengan pihak swasta dan Badan Dunia seperti FDI (Federation Dental Internasional) juga bekerjasama dengan PDGI melakukan program sosialisasi. Jadi ada yang preventif dan kuratif juga.
Kemarin PDGI ikut demo soal RUU Kesehatan Omnibus Law, apa urgensinya melakukan aksi ini?
Dari beberapa dekade belum pernah ada organisasi profesi kesehatan melakukan demo. Baru kali ini terjadi. Artinya ini memang penting sekali untuk dilakukan. Kami melihat RUU Kesehatan ini menggabungkan beberapa perundangan yang sudah ada dan sebelumnya; UU Praktik Kedokteran, Keperawatan, dll., yang sebelumnya bersifat lex specialist. Itu sudah diatur semua. Dalam RUU ini kami tidak diberi ruang untuk menyampaikan hal-hal penting agar kami bisa menjalankan profesi sesuai etika.
Spesifik untuk PDGI apa poin krusial yang akan diperjuangkan?
Mulanya aspirasi PDGI dan organisasi profesi lainnya, artinya sesuai aspirasi kami. Dari sisi pemerintah kami berharap bisa mewarnai. Namun apa yang kami sampaikan belum direspons dengan baik. Khusus untuk bidang kesehatan gigi dan mulut juga belum mendapat perhatian. Salah satu pasal yang menjadi perhatian kami adalah soal narasi “negara hadir dan bertanggungjawab dalam kesehatan gigi dan mulut”. Dalam RUU Kesehatan yang baru ini kata-kata itu hilang. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab kalau negara saja tidak dibebankan oleh UU. Ini penting, soalnya kesehatan gigi dan mulut itu penting untuk meningkatkan derajat kesehatan pada umumnya.
Ada lagi yang krusial?
Yang penting dan menjadi perhatian kami juga adalah peran organisasi profesi dalam menjaga kompetensi anggotanya. Seperti perkembangan teknologi yang makin canggih. Ini yang harus terus dipelajari teman-teman sejawat, agar kompetensi terus terjaga. Ini juga yang belum terakomodir dalam RUU ini.
Dalam RUU Kesehatan ini tembakau disamakan narkoba karena zat adiktif, apa tanggapan Anda?
Saya akan tanggapi sesuai kompetensi kami sebagai praktisi kesehatan. Memang narkoba dan tembakau itu sama-sama memiliki zat adiktif yang akan berpengaruh buruk untuk kesehatan. Itu fakta ya. Kami selalu mengedukasi publik tembakau itu tidak baik untuk kesehatan gigi dan mulut. Seorang perokok kondisi Kesehatan gigi dan mulutnya tak baik. Secara estetik perokok giginya kuning bahkan ada yang sampai hitam. Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus akan berdampak pada kesehatan. Yang paling buruk itu adalah bahaya cancer mulut untuk mereka yang perokok.
Petani tembakau di Temanggung berdemo karena tembakau disamakan dengan narkoba, soalnya ini mengancam mata pencarian mereka, tanggapan Anda?
Untuk soal itu kami berharap bisa dipikirkan oleh pemerintah. Banyak jalan yang bisa dilakukan, misalnya beralih membudidayakan pertanian lain seperti teh, kopi, sayuran, dll. Itu tergantung kajiannya di lapangan seperti apa, tanaman apa yang bisa dibudidayakan dan punya nilai ekonomi yang bagus.
SEE ALSO:
Sebelum demo apa ada upaya dialog dengan pemerintah dan anggota dewan?
Ini memang aksi demo, tapi damai. Kita ingin menyampaikan aspirasi dengan baik. Agar aspirasi kami bisa jadi masukan. Kami ingin dalam menyusunan RUU itu kajiannya mendalam, jadi tak terburu-buru, agar bisa bedampak positif bagi semua pihak. Urgensinya apa kok harus buru-buru. UU yang existing saja sudah baik.
Kalau aspirasi tak diakomodir apa rencana aksi selanjutnya?
Saya yakin akan ada solusi untuk setiap persoalan. Kita baru lepas dari pandemi selama dua tahun. Selama itu tenaga kesehatan amat penting. Mereka berjibaku di garda terdepan hadapi COVID-19. Ini yang harus dikedepankan. Duduk bersama, apa tidak ada yang bisa disinergikan dan bisa bermitra dengan baik.
Berapa rasio dokter gigi di Indonesia sekarang?
Pemenuhan tenaga kesehatan dan distribusinya ini lebih penting. Untuk dokter gigi rasionya 0,2 dokter gigi / 1000 penduduk. Artinya dua dokter gigi untuk 10.000 penduduk. Jadi masih kurang banget. Puskesmas kita masih 40 persen yang belum punya dokter gigi. Idealnya menurut WHO 1 dokter gigi untuk 1000 penduduk. Ini yang harus kita selesaikan bersama.
Soal globalisasi, bagaimana dokter gigi menghadapinya?
Ini adalah keniscayaan, rumah sakit di sini sudah banyak yang masuk modal asing. Tentu saja dokter gigi harus siap. Jaga kompetensi dan profesionalisme. Agar bisa menjawab tantangan masuknya dokter gigi asing. Kami tidak anti, namun masuknya harus sesuai standar, jangan yang masuk di bawah standar. Kita jangan menjadi asing di negeri sendiri. Jadi kami tidak takut bersaing dengan dokter gigi asing.
Ini Kiat Tari Tritarayati Menoptimalkan Waktu di Sela Kesibukan
Aktivitas sebagai dokter dan kegiatan organisasi membuat drg. Tari Tritarayati, SH., MHKes., harus bisa memanfaatkan waktu. Hal itu dilakukan agar tugasnya sebagai seorang profesional dan juga sebagai ibu bisa terlaksana dengan baik. “Harus jeli dan seoptimal mungkin menggunakan waktu yang ada,” kata Sekjen Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) ini.
Selain itu aktivitas yang rutin dilakukannya adalah berolahraga. Tak perlu olah raga yang berat, yang penting berkeringat.”Saya tidak ada rahasia untuk urusan olahraga, yang saya lakukan adalah olahraga jalan kaki. Itu kan murah dan meriah, nyaris tak memerlukan biaya. Kita hanya perlu menyiapkan busana olahraga dan sepatu yang cocok,” katanya.
Dari satu tempat ke tempat yang lain di lingkungan kerja juga bisa ditempuh dengan berjalan. “Jadi tak perlu menjadwalkan khusus kalau memang waktunya sulit,” tambahnya.
Jalan-jalan atau traveling bersama keluarga di akhir pekan menjadi pilihan bagi Tari untuk mengusir kebosanan setelah suntuk berkaktivitas di kantor. Selain sehat dan bugar yang dirasakan Tari setelah traveling adalah refresh. “Setelah jalan-jalan kita akan segar kembali. Akan muncul rasa segar dan ide-ide segar usai traveling. Seperti batere yang habis di-charge,” lanjutnya.
Untuk urusan traveling, bagi Tari di dalam negeri atau luar negeri semua ia lakoni. “Kalau di tanya traveling nya ke mana, tergantung waktu dan kesempatan. Kalau waktunya singkat saya traveling di dalam negeri, kalau ada waktu yang agak panjang baru ke luar negeri,” katanya.
Ia teringat masa kecil ketika traveling. “Saat masih kecil ada kenangan yang tak terlupakan. Ayah saya senang sekali mengajak anak-anaknya jalan-jalan naik mobil dari Jakarta ke Jawa Timur bahkan sampai ke Bali. Jadi semua keluarga ikut, pokoknya seru banget dan itu membekas sampai sekarang setelah saya berkeluarga,” lanjutnya.
Karena itulah saat sudah punya keluarga sendiri, Tari pun melakukan kebiasaan yang sama dengan keluarganya. “Jalan-jalan itu tak perlu yang mahal, dengan mobil dan menyetir sendiri atau pun dengan naik kereta itu sudah cukup. Jadi bagaimana mengoptimalkan waktu yang ada untuk berkumpul sembari berjalan-jalan bersama keluarga,” ujarnya.
Sembari Tugas
Momen melaksanakan tugas kantor ke daerah juga dimanfaatkan Tari Tritarayati untuk menikmati tempat wisata yang ada di kota tujuan. “Saat bertugas pun kita bisa memaksimalkan waktu yang tersedia. Memang tidak ideal karena misi utama kita melaksanakan tugas kantor. Tapi itu bisa dilakukan setelah tugas utama selesai,” katanya.
Karena itu, lanjut Tari pilihan lokasi wisata yang tak jauh dari tempat aktivitas. “Sebelum berangkat ke kota tujuan saya searching dulu. Apa saja lokasi wisata yang ada di daerah tujuan dan berapa jarak tempuhnya. Jadi tak perlu jauh dan memakan waktu yang banyak,” katanya.
“Misalnya ke Medan, saya sudah dapat info soal kota Medan. Apa saja lokasi wisatanya. Setelah rapat kita jalan-jalan dan wisata kuliner,” ujar Tari yang masih bisa mempertahankan bobot tubuh ideal meski hobi kulineran.
Hal yang sama ia lakukan saat bertugas ke manca negara. “Terakhir saya dapat tugas ke Bangkok, Thailand dalam rangka menghadiri pertemuan terkait penyusunan action plan untuk negara-negara Asia dalam kesehatan gigi dan mulut. Meski itu adalah tugas, saya tidak menjadikannya sebagai beban. Saya bawa happy saja,” katanya.
Kiat yang dilakukan Tari saat kulineran adalah harus bisa mengerem dan membatasi makanan yang disantap. “Biasanya kalau berjumpa makanan kesukaan kita lupa diri. Nah itu yang harus kita jaga. Jangan sampai semua dimakan. Remnya ada di kita, jadi cukup makan seperlunya saja. Soalnya kalau enggak direm bisa berbahaya, hehehe,” katanya.
Ia menerapkan filosofi Jawa dalam urusan kulineran. “Kata orang Jawa itu yang penting tombo kangen. Kalau sudah mencicipi yang sudah cukup, jangan berlebihan. Jadi sesuai dengan sunah nabi, berhenti makan sebelum kenyang,” ungkapnya.
Keluarga
Meski sibuk dengan tugas kantor, Tari tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri, ibu dan kini nenek. “Akhir pekan adalah waktu yang harus dioptimalkan bersama keluarga. Ragam kegiatannya bisa olahraga bersama, makan bersama atau nonton film bersama keluarga,” ungkapnya.
Jadi, lanjut Tari harus seimbang antara kesibukan sebagai seorang profesional dengan perannya sebagai seorang ibu dan juga istri. “Sekarang setelah punya cucu, yang menjadi prioritas selain anak, ya main bersama cucu. Saya mencoba membaur dengan cucu saat libur,” kata Tari yang kini sudah punya dua cucu.
Waktu berjumpanya memang sedikit, namun waktu yang terbatas itu dia maksimalkan. “Saya bisa mengetahui apa kesukaan anak-anak zaman sekarang. Meski waktunya sedikit tapi kena, jadi quality time banget,” lanjutnya.
Bagaimana dukungan keluarga untuk tugas sebagai dokter. “Sejak awal saya dan suami masing-masing punya profesi, dia support apa yang saya lakukan. Memang waktu anak-anak kecil repot membagi waktu, namun lama-lama bisa dilewati dengan baik. Karier jalan, rumah tangga juga sukses,” kata Tari Tritarayati.
"Saya yakin akan ada solusi untuk setiap persoalan. Kita baru lepas dari pandemi selama dua tahun. Selama itu tenaga kesehatan amat penting. Mereka berjibaku di garda terdepan hadapi COVID-19. Ini yang harus dikedepankan. Duduk bersama, apa tidak ada yang bisa disinergikan dan bisa bermitra dengan baik,"