JAKARTA - Semangat pemerintah untuk mereformasi aturan perpajakan sangat terasa pada paruh kedua 2021. Hal itu tercermin dari proses ‘kilat’ pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP) yang kemudian diubah penamaannya menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias HPP.
Pembahasan RUU HPP pertama kali dilakukan oleh pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan Komisi XI DPR pada 13 September lalu. Hingga pada akhirnya hari ini direncanakan pengesahan RUU HPP dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-7 di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.
Agaknya, semangat menggebu penyelenggara negara untuk memberlakukan RUU HPP didorong oleh situasi keuangan negara yang mulai kepayahan dalam mengatasi pandemi COVID-19.
Salah satu pokok beleid tersebut berbunyi bahwa pemerintah berencana menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sektor industri.
Kemudian, terdapat pula rencana penambahan lapisan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (OP) menjadi lima lapis dari sebelumnya empat lapis.
Pertama, pajak 5 persen untuk yang berpenghasilan Rp60 juta per tahun. Kedua, pajak 15 persen untuk penghasilan Rp60 sampai dengan Rp250 juta.
Ketiga, pajak sebesar 25 persen untuk penghasilan Rp250 juta hingga 500 juta. Empat, pungutan PPh 30 persen untuk orang dengan penghasilan Rp500 juta sampai Rp5 miliar.
Serta yang kelima adalah pajak 35 persen untuk masyarakat yang mempunyai penghasilan di atas Rp5 miliar dalam satu tahun.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan strategi menaikan pungutan perpajakan sangat berpotensi membawa dampak bagi pertumbuhan perekonomian.
“Secara makro, kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah rendahnya daya beli masyarakat di masa pandemi,” ujarnya dalam sebuah webinar, dikutip Kamis, 7 Oktober.
Menurut Ahmad, apabila daya beli masyarakat semakin tertekan maka otomatis penjualan dan kegiatan industri bakal melambat.
Ahmad menghitung, apabila PPN naik dari 10 persen menjadi 15 persen untuk kalangan masyarakat mampu, maka diyakini akan mereduksi pertumbuhan ekonomi sebesar minus 0,02 persen.
“Ini juga akan mengancam konsumsi masyarakat bisa turun minus 2,05 persen,” tuturnya.
Di sisi lain, dia menilai jika perluasan pungutan PPN dianggap bisa membawa dampak positif terhadap sektor pendapatan negara.
“Tapi yang perlu diingat adalah pemerintah juga harus memperluas basis pajaknya (wajib pajak) yang sesuai dengan struktur perekonomian dan karakteristik kelompok ekonomi masyarakat, termasuk juga ekstensifikasi cukai serta mengoptimalkan PNBP (penerimaan bukan pajak),” jelas Ahmad.
BACA JUGA:
Asal tahu saja, dalam Undang-Undang APBN 2021 disebutkan bahwa defisit anggaran menyentuh angka Rp1.006,4 triliun atau 5,7 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Adapun untuk tahun depan, Undang-Undang APBN 2022 menyebut jika defisit bakal berada di kisaran Rp868,02 triliun atau 4,85 persen dari PDB.
Sementara untuk 2023, APBN diharuskan kembali ke level awal dengan besaran defisit tidak boleh melampaui 3 persen dari PDB. Amanah tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Keuangan Negara.
Sejatinya, APBN pada tahun ini cukup tertolong oleh kinerja penerimaan PNBP yang cukup moncer seiring dengan harga komoditas yang melesat tinggi. Sementara sektor pajak, masih belum bisa diandalkan karena dunia usaha di dalam negeri masih cukup tertekan akibat terimbas pandemi COVID-19.
Kondisi sebaliknya diproyeksi bakal terjadi pada 2022. PNBP ditengarai bakal anjlok seiring dengan berakhirnya boom komoditas. Situasi ini mau tidak mau membuat pemerintah berharap betul pada sektor pajak untuk dapat berkontribusi secara maksimal guna menopang pendapatan.