Kasus COVID-19 Menggila, Ekonom: Fokus Pemerintah Dominan ke Ekonomi
ILUSTRASI/VOI

Bagikan:

JAKARTA - Kasus COVID-19 di Tanah Air terus mengalami pertambahan kasus baru yang signifikan. Lonjakan kasus ini dianggap terjadi karena fokus pemerintah terlalu dominan ke faktor ekonomi dibanding kesehatan.

Managing Director Political Economy dan Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengatakan kondisi Indonesia saat ini dalam keadaan kritis karena kasus harian telah mencapai hampir 60 ribu dan sudah menjadi yang tertinggi di dunia. Karenanya perlu upaya cepat penanganan. 

Anthony mencontohkan India yang mengalami lonjakan pada 11 Februari sampai 8 Mei. Namun dalam waktu 7 minggu India sangat suskes menekan kasus COVID-19 di negaranya. Bahkan, positivity rate di angka 5 persen. Sementara, Indonesia di angka 10 persen. 

"Jadi kalau kita lihat ini menjadi suatu lonjakan yang membuat masalah di kita. Karena kalau positivity rate lebih dari 5 persen maka penularannya itu jauh lebih besar daripada yang terindikasi bahwa di situ ada kasus baru. Maka itu akan semakin melonjak kalau dia tidak diatasi, maka kita akan mendapati masalah-masalah semuanya," tuturnya dalam diskusi virtua, Jumat, 16 Juli. 

Sementara, kata Anthony, Indonesia baru mulai melonjak dari 29 Mei dan hingga saat ini. Sementara berkaca pada kasus India, maka Indonesia baru mencapai puncak akhir Agustus. 

"Kuncinya bagaimana kita bisa menekan seperti ini karena kita masih menanjak terus 26,4 persen ini sangat besar sekali. Kalau dibandingkan dengan India puncaknya saja 22,7 persen positivity rate. Kenapa positivity rate kita tinggi? karena kebijakan kita sudah salah sejak awal," paparnyya. 

Anthony mengatakan saat positivity rate di angka 8,49 persen dan belum mencapai angka 5 persen, pemerintah kala itu melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Akibatnya, positivity rate pun kembali melonjak mencapai 24 persen. 

Kemudian, pemerintah pun menekan penyebaran kasus dengan menerapkan PPKM, namun sebelum positivity rate menurun, kebijakan itu pun dilonggarkan kembali dan menjadi 32 persen. Setelahnya menurun tetapi masih di atas 10 persen dan direlaksasi lagi yang saat ini positivity rate pun mencapai angka 26 persen lagi. 

"Kenapa hal ini terjadi? karena ini faktor ekonomi yang terlalu dominan dan bisa saja tuntutan dari masyarakat PPKM, PSBB itu dibuka karena tidak sanggup menahan ekonomi," ujarnya. 

Apalagi, kata Anthony, jejaring sosial pun tidak kuat. Di mana pada 2020 pemerintah memberikan bantuan Rp600 ribu per kepala keluarga dan diberikan selama empat bulan. 

"Karena kalau apa karena masyarakat memang tidak diberikan bantuan dan bantuan sangat sedikit sekali Rp600 ribu per keluarga cuma 4 bulan dan sekarang di rencanakan Rp300 ribu per keluarga untuk dua bulan. Jadi orang tidak bisa bertahan," tuturnya.