Bagikan:

JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir angkat bicara perihal tuduhan adanya komersialisasi vaksinasi Gotong Royong individu atau berbayar yang akan digelar PT Kimia Farma Tbk. Ia membantah bahwa pemerintah ingin komersialisasi vaksin sumbangan.

Sekadar informasi, vaksinasi berbayar Kimia Farma dihargai senilai Rp879.140 untuk dua dosis bagi individu atau perorangan.

"Kemarin ada tuduhan, oh ini jangan-jangan ini vaksin sumbangan, oh ini dll. Masyaallah, saya rasa, saya dan tim saya bukan dari bagian seperti itu, kita gak mungkin vaksin sumbangan dikomersialisasikan, masyaallah," tuturnya, dikutip Rabu, 14 Juli.

Erick mengatakan anggaran pendanaan vaksinasi Gotong Royong sendiri tidak diserap dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Ia menegaskan pengadaan vaksin COVID-19 tersebut menggunakan keuangan korporasi yang dilakukan langsung oleh Holding Farmasi BUMN.

"Tidak ada yang ditutup-tutupi, misalnya ketika ada tuduhan, oh ini (vaksinasi) memakai APBN, vaksin Gotong Royong sejak awal tidak memakai APBN," katanya.

Karena itu, Erick meminta agar kelompok yang membangun opini adanya komersialisasi vaksin COVID-19 melihat fakta yang terjadi di lapangan. Fakta yang dia maksudkan adalah kontribusi besar BUMN Farmasi dan sektor lain sejak pandemi COVID-19 berlangsung.

"Jadi kalau tuduhan BUMN ini berbisnis, sekarang dilihat dari sisi lainnya? Sekarang kita sudah banyak membantu terus," jelasnya.

Erick mengatakan digelarnya vaksin berbayar ini hanya untuk mempercepat program vaksinasi. Dengan adanya varian delta COVID-19, kata Erick, membuat pemerintah harus cepat untuk melakukan vaksinasi. Sebab, dari semua kasus kematian, lebih banyak mereka yang belum pernah divaksin.

"Dengan varian delta ini kemarin kalau kita ingat angkanya sudah 60 ribu lebih yang meninggal karena COVID-19. Salah satunya percepatan vaksinasi ini adalah tadi sebagai proteksi awal. Karena kalau sudah divaksin kalau terkena pun itu tidak fatal dan terbukti data-datanya kebanyakan mohon maaf yang meninggal itu yang belum divaksin. Nah percepatan vaksinasi ini sekarang harus dilakukan," jelasnya.

Kimia Farma tunda program vaksin berbayar

PT Kimia Farma (Persero) Tbk memutuskan untuk menunda penyelenggaraan vaksin COVID-19 gotong royong berbayar yang seharusnya digelar mulai hari ini. Penundaan ini seiring dengan munculnya polemik mengenai rencana tersebut.

Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno Putro menjelaskan bahwa penundaan dilakukan karena besarnya animo dan pertanyaan yang masuk.

"Kami mohon maaf karena jadwal Vaksinasi Gotong Royong Individu yang semula dimulai hari Senin, 12 Juli 2021 akan kami tunda hingga pemberitahuan selanjutnya," ujarnya saat dihubungi wartawan, Senin, 12 Juli.

Lebih lanjut, ia mengatakan, pihaknya melakukan penundaan sembari melakukan sosialisasi vaksin berbayar serta pengaturan pendaftaran calon peserta vaksinasi.

"Besarnya animo serta banyaknya pertanyaan yang masuk membuat manajemen memutuskan untuk memperpanjang masa sosialisasi vaksinasi gotong royong individu serta pengaturan pendaftaran calon peserta," tuturnya.

Sekadar informasi, sebelumnya pemerintah berencana mulai menjual vaksin berbayar via Kimia Farma mulai Senin, 12 Juli. Program berjalan bersamaan dengan program gotong royong pengusaha yang dikritik lamban.

Adapun vaksinasi berbayar Kimia Farma dihargai senilai Rp879.140 untuk dua dosis bagi individu atau perorangan.

Namun, sebelum mulai dibukanya program vaksin berbayar tersebut, berbagai kritik dari berbagai pun berdatangan. Salah satunya adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Buruh Indonesia mendukung upaya pemerintah untuk melawan pandemi COVID-19 dengan cara melakukan vaksinasi. Namun, KSPI mempermasalahkan pemberian vaksin yang dilakukan secara berbayar oleh PT Kimia Farma Tbk.

Presiden KSPI Said Iqbal mengaku khawatir jika rencana vaksinasi berbayar Kimia Farma dilanjutkan. Ia menduga akan terjadi komersialisasi yang hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu.

"Setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi, terhadap konsumen dalam hal ini rakyat termasuk buruh yang menerima vaksin," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Senin, 12 Juli.

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menilai bahwa kebijakan tersebut sebagai cara mencari untung dari rakyat. Ia juga mengakui kebijakan ini belum didiskusikan dengan DPR.

"Vaksinasi untuk mengatasi bencana non-alam seperti pandemi adalah tanggung jawab negara terhadap keselamatan rakyatnya. Setiap individu harus mendapat akses yang sama dan merata melalui vaksinasi gratis. Jadi, opsi vaksin berbayar seperti upaya mencari keuntungan dengan memeras rakyat," ujar Netty.