Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) memperketat ekspor terhadap sejumlah limbah pabrik kelapa sawit.

Langkah ini dilakukan untuk mendukung implementasi biodiesel B40.

Pengetatan limbah pabrik kelapa sawit tersebut meliputi Palm Oil Mill Effluent (POME), residu minyak sawit asam tinggi atau High Acid Palm Oil Residue (HAPOR), dan minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO).

Kebijakan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan, kebijakan ini untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng dalam pelaksanaan program minyak goreng rakyat. Selain itu juga, untuk mendukung implementasi penerapan biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen (B40).

“Kami menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis, 9 Januari.

Permendag Nomor 2 Tahun 2025 mulai berlaku pada Selasa, 8 Januari kemarin ini akan memperketat Kebijakan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit residu, yaitu POME dan HAPOR, dan UCO, termasuk syarat untuk mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE).

Budi tak nemapik bahwa kebijakan ini akan memiliki dampak. Namun sayangnya, dia tidak menjelaskan secara rinci apa dampak negatif yang dimaksud.

“Tentu akan ada dampak dari kebijakan ini. Namun, sekali lagi kami tegaskan, kepentingan industri dalam negeri adalah yang paling utama,” tuturnya.

Dalam Permendag 2 Tahun 2025 Pasal 3A, kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit berupa UCO dan Residu dibahas dan disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan pemerintah di bidang pangan.

Selain itu, sambung dia, pembahasan pada rapat koordinasi termasuk ada dan tidaknya alokasi ekspor yang menjadi persyaratan untuk mendapat persetujuan ekspor.

“Namun demkian, bagi para eksportir yang telah mendapatkan PE Residu dan PE UCO yang telah diterbitkan berdasarkan Permendag Nomor 26 Tahun 2024, tetap dapat melaksanakan ekspor. PE- nya masih tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir,” kata Budi.

Ekspor Melebihi Kapasitas Wajar

Budi mengatakan, selama ini ekspor limbah pabrik kelapa sawit tercatat jauh melebihi kapasitas wajar yang seharusnya.

Lebih lanjut, Budi bilang, selama Januari jinhhOktober 2024, ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton.

Volume ekspornya lebih besar daripada ekspor CPO pada periode yang sama yang hanya sebesar 2,70 ton.

Sementara itu, pada 2023, ekspor POME dan HAPOR mencapai 4,87 juta ton. Volume ekspornya juga jauh lebih besar daripada ekspor CPO pada periode itu yang hanya sebesar 3,60 juta ton.

Sedangkan ekspor POME dan HAPOR pada lima tahun terakhir (2019 hingga 2023) tumbuh sebesar 20,74 persen.

Sementara volume ekspor CPO turun rata-rata sebesar 19,54 persen pada periode yang sama.

Berdasarkan data tersebut, kata Budi, ekspor POME dan HAPOR tercatat jauh melebihi kapasitas wajar yang seharusnya atau hanya sekitar 300.000 ton.

Hal ini menjustifikasi POME dan HAPOR yang diekspor bukan yang murni dari residu atau sisa hasil olahan CPO saja, tetapi juga merupakan pencampuran CPO dengan POME atau HAPOR asli.

Selain itu, peningkatan ekspor POME dan HAPOR juga dapat diakibatkan oleh pengolahan buah dari Tandan Buah Segar (TBS) yang dibusukkan langsung menjadi POME dan HAPOR.

Budi menilai kondisi tersebut mengarah pada banyaknya TBS yang dialihkan untuk diolah oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) atau dikenal sebagai PKS berondolan. Hal tersebut mengakibatkan PKS konvensional kesulitan mendapatkan TBS.

“Jika kondisi ini terus terjadi, maka akan mengkhawatirkan bagi ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri di dalam negeri,” katanya.