JAKARTA - Ekonom Wijayanto Samirin menilai, bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) merupakan langkah strategis yang dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di kancah global.
Khususnya, lanjut dia, di mata Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Hal ini diungkapkan Wijayanto menanggapi pengumuman resmi dari Brasil, sebagai Ketua BRICS 2025, mengenai peresmian keanggotaan penuh Indonesia dalam organisasi tersebut.
“Saya rasa keputusan menjadi anggota BRICS adalah tepat, sepanjang kita juga tetap mendorong proses membership OECD. Indonesia adalah kekuatan ekonomi potensial di dunia ini, potensi itu harus di unlock dengan lebih berani mengambil sikap. Keputusan bergabung BRICS justru akan meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata OECD yang selama ini seolah kita diposisikan tidak setara dengan negara lain,” ujar Wijayanto dilansir ANTARA, Selasa, 7 Januari.
Terkait agenda dedolarisasi yang menjadi salah satu agenda BRICS, Wijayanto menilai, fenomena ini akan terjadi secara alami seiring menurunnya dominasi ekonomi Amerika Serikat (AS).
Peran ekonomi AS di dunia, meskipun akan tetap penting, cenderung menurun akibat munculnya kekuatan baru seperti China, India, Rusia, Brasil, Meksiko, atau bahkan Indonesia.
Menurut Wijayanto, tren dedolarisasi akan lebih banyak terjadi dalam konteks perdagangan antaranggota BRICS, seperti yang telah diterapkan China dan Rusia dengan menggunakan mata uang lokal untuk 90 persen transaksi ekspor-impor mereka.
Namun, dirinya skeptis terhadap kemungkinan terciptanya mata uang alternatif global atau sistem transfer pengganti SWIFT dalam waktu dekat.
“Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dengan lebih banyak menggunakan mata uang lokal untuk ekspor-impor dengan negara lain. Kendatipun demikian, kita tidak perlu menjadikan dedolarisasi sebagai gerakan ekonomi-politik, ini akan kontraproduktif dan diluar kepentingan kita,” jelas Wijayanto.
Dalam pandangan Wijayanto, menjadi bagian dari BRICS juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk ikut menentukan arah dan cetak biru organisasi tersebut ke depan.
Dia menekankan pentingnya Tanah Air untuk memanfaatkan keanggotaan ini untuk membuka peluang kerja sama di berbagai bidang, seperti teknologi, ketahanan pangan, dan perubahan iklim.
Meskipun demikian, Wijayanto juga menyoroti potensi dampak keterpilihan kembali Donald Trump sebagai Presiden AS pada dinamika organisasi-organisasi multilateral.
“Keterpilihan Trump justru akan membuat organisasi-organisasi yang dibidani oleh negara Barat menjadi kurang efektif, karena Trump lebih menyukai pendekatan unilateral, maksimal bilateral. Komitmen multilateral termasuk COP, WTO, OECD, bahkan NATO cenderung ia nafikan,” terangnya.
Dengan demikian, Wijayanto menilai bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS, meski agak terlambat, merupakan langkah strategis untuk memperluas pengaruh dan memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional.
Sementara, Kementerian Luar Negeri RI dalam pernyataan resminya menyambut baik keanggotaan penuh Indonesia di BRICS.
Indonesia menyambut baik status keanggotaan penuhnya di BRICS, sebagaimana diumumkan Brasil sebagai Ketua BRICS 2025, dan berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda organisasi tersebut ke depannya.
“Sebagai negara dengan perekonomian yang terus tumbuh dan beragam, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda BRICS, termasuk mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, dan pembangunan berkelanjutan,” kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dalam pernyataan persnya.
BACA JUGA:
Indonesia berkomitmen untuk terus berperan melalui BRICS dalam ikut mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat, serta mewujudkan tatanan global yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Indonesia juga berdedikasi bulat untuk “bekerja dengan seluruh anggota BRICS dan pihak lainnya demi dunia yang lebih adil, damai, dan sejahtera."
Menurut Kemlu RI, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS merupakan cerminan atas semakin meningkatnya peran aktif RI di kancah global serta momentum untuk meningkatkan kerja sama multilateral.