Bagikan:

JAKARTA - Mangkraknya proyek pembangunan smelter feronikel di Halmahera Timur (Haltim) menjadi sorotan berbagai pihak. Salah satunya, direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan. Ia menilai, persoalan berlarut-larutnya proyek pembangunan smelter feronikel tersebut harus segera diselesaikan.

Seperti diketahui, proyek smelter feronikel di Haltim yang rencananya sinergi dengan PT PLN tersebut, sampai saat ini operasionalnya tertunda lantaran belum ada aliran listrik.

"Jika ini terus buntu, saya kira salah satunya Kementerian BUMN harus hadir dan mengundang kedua belah pihak (Antam dan PLN) untuk membicarakan terkait dengan permasalahan ini dan berdiskusi mengenai masalah ini, sehingga kita coba cari win-win solution-nya seperti apa," tuturnya saat dihubungi VOI, Senin, 12 April.

Menurut Mamit, jika Antam keberatan dengan harga yang ditawarkan oleh PLN, hal ini bisa dibicarakan lebih lanjut. Namun, bukan dengan mengabaikan surat yang dikirimkan PLN.

"Jika Anda merasa keberatan dengan harga yang ditawarkan oleh PLN ya monggo silakan didiskusikan dengan PLN. Atau ada hal-hal lain yang memang harus dibicarakan secara b to b, saya kira Kementerian BUMN sebagai induk daripada BUMN kita, ya harus turun tangan," ucapnya.

Dengan kondisi fisik pembangunan yang sudah mencapai 97,98 persen, kata Mamit, smelter ini harusnya sudah bisa berjalan. Karena itu, perlu ada pembicaraan kembali secara intensif antara Antam dan PLN, agar proyek ini dapat segera diselesaikan.

Jika sinergi antara Antam dan PLN tidak juga dibenahi oleh Menteri BUMN Erick Thohir terkait dengan proyek smelter tersebut, kata Mamit, dampaknya akan sangat besar terhadap kerugian negara.

"Pastinya kerugian yang terjadi pertama adalah materi orang sedang melakukan pembangunan. Kedua adalah potensi kerugian penerimaan negara, karena proyek ini kan diharapkan menjadi sumber tambahan bagi negara, belum lagi nanti ada kerugian pajak yang hilang," tuturnya.

Tak hanya itu, kata Mamit, dengan mangkraknya proyek smelter feronikel tersebut, potensi penyerapan tenaga kerja dari daerah lokal juga akan hilang.

"Jadi cukup banyak hal-hal yang akhirnya tertanggung akibat belum jalannya proyek ini. Harapan saya bisa segera diselesaikan. Sehingga pembangunan smelter ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar pemerintah daerah maupun bagi pemerintah pusat," jelasnya.

Sekadar informasi, terkait pasokan listrik untuk smelter, diketahui tender lelang pengadaan power plant telah digelar sejak 2017. Namun, belakangan diketahui bahwa proses tender itu berbelit-belit. Hal itu terungkap dari surat PT PLN (Persero) yang dikirim ke PT Aneka Tambang Tbk atau Antam tertanggal 23 Juli 2020.

Di dalam surat yang ditandatangani Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan Bob Saril, PLN menawarkan harga sebesar Rp595,65 per kilo watt per hour (kwh). Tak hanya itu, pada Agustus 2021 PLN menjanjikan smelter sudah commercial operation date atau COD.

Namun, alih-alih memberi tanggapan kepada PLN, PT Antam justru membuka tender baru. Bahkan, PT Antam menggandeng pihak ketiga atau swasta sebagai procurement agent.

Anggota Komisi VII DPR Abdul Wahid menyoroti mangkraknya proyek pembangunan proyek smelter feronikel di Halmahera Timur. Sebab, perkembangan proyek ini sudah mencapai 97,98 persen, namun belum teraliri listrik hingga saat ini.

Lebih lanjut, Abdul menilai membangun smelter tanpa pasokan listrik menjadi bukti sinergi antar BUMN yang digaungkan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum berjalan maksimal. 

"PLN kan sudah membuat penawaran. Cuma tidak ada respons (Antam) sampai hari ini. Kita dengar tiba-tiba ada penawaran dari swasta, kok bisa pula swasta yang diambil oleh Antam," tuturnya.

Terkait hal ini, Abdul meminta agar Menteri BUMN Erick Thohir membenahi sinergi kedua perusahaan pelat merah tersebut. Sebab, hal ini merupakan pekerjaan rumah Kementerian BUMN.

"Seharusnya Menteri BUMN (Erick Thohir) tegas dong, hanya soal listrik aja kok. Kalau soal harga kan bisa dinego," tegasnya.