Bagikan:

JAKARTA - Penerapan ekonomi sirkular atau bertransisi ke sistem plastik sirkular, yang mana semua plastik digunakan kembali, didaur ulang, dan dikelola secara bertanggung jawab, dinilai merupakan kunci untuk mengatasi masalah sampah plastik.

"Transisi menuju ekonomi sirkular akan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK)," ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Edi Rivai dalam keterangannya di Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa 26 November.

Selain itu, lanjutnya, juga meningkatkan efisiensi sumber daya, mendorong perkembangan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, terutama di negara-negara dengan infrastruktur pengelolaan sampah dan daur ulang yang kurang berkembang.

Oleh karena itu, menurut Edi, yang menjadi perwakilan Indonesia di Global Plastics Alliance, membangun sirkularitas dalam seluruh siklus hidup plastik, mulai dari desain, daur ulang, hingga pengelolaan akhir masa pakai yang bertanggung jawab, dan mengembangkan sistem pengelolaan sampah yang sesuai dengan kebutuhan harus menjadi landasan utama perjanjian internasional guna mengakhiri polusi plastik.

Sebelumnya, menjelang putaran final negosiasi yang dijadwalkan untuk perjanjian internasional guna mengakhiri polusi plastik, World Plastics Council (WPC) dan anggota Global Plastics Alliance (GPA) menyerukan kepada pemerintah negara-negara untuk menyepakati perjanjian yang ambisius dan dapat diimplementasikan, yang secara signifikan meningkatkan pengelolaan sampah dan daur ulang.

Pada sesi kelima Komite Negosiasi Antarpemerintah (Intergovernmental Negotiating Committee/INC5), yang dimulai pada Senin (25/11/2024) di Busan, Korea Selatan, para negosiator dari pemerintah masing-masing negara diharapkan mencapai kesepakatan terkait sejumlah topik penting, termasuk model yang akan digunakan instrumen hukum internasional yang mengikat (Internationally Legally Binding Instrument/ILBI) untuk membantu negara-negara mengatasi sampah plastik

Menurut Edi, cara paling efektif untuk mencapai tujuan perjanjian, sambil tetap mempertahankan manfaat plastik bagi masyarakat adalah menjadikan sampah plastik sebagai komoditas yang memiliki nilai nyata.

Plastik memungkinkan penggunaan tenaga angin dan surya, meningkatkan efisiensi bangunan dan transportasi, menjaga ketahanan pangan, memperbaiki infrastruktur, serta mendukung layanan kesehatan modern.

"Oleh karena itu, perjanjian ini harus mengakui bahwa plastik diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan penanganan perubahan iklim," katanya.

Perjanjian ini, tambahnya, juga harus mengakui bahwa sampah yang tidak terkelola adalah penyebab utama polusi, serta memprioritaskan penyediaan pengelolaan sampah yang memadai bagi sekitar 2,7 miliar orang yang belum mendapatkannya.

Ketua WPC Benny Mermans menyatakan setiap negara menghadapi tantangan yang sangat berbeda dan membutuhkan solusi yang berbeda pula, pendekatan global yang seragam terhadap kebijakan dan regulasi tidak akan berhasil.

"Oleh karena itu, perjanjian ini harus memberikan fleksibilitas bagi setiap negara dan wilayah untuk mencapai tujuan perjanjian dengan cara yang paling sesuai untuk mereka," katanya.

Perjanjian ini harus mewajibkan negara-negara untuk mengembangkan rencana aksi nasional sehingga mereka dapat menerapkan solusi yang disesuaikan dengan kondisi mereka secara efektif.

Misalnya, target kandungan daur ulang wajib untuk sektor-sektor yang menggunakan plastik di tingkat nasional akan meningkatkan nilai sampah plastik sebagai bahan baku sirkular dengan meningkatkan permintaan untuk bahan mentah plastik sirkular.

Rencana tersebut harus memiliki elemen-elemen umum dan persyaratan pelaporan yang memastikan akuntabilitas negara dalam melacak kemajuan serta menciptakan sinyal permintaan untuk mendorong investasi dalam pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang.

Benny menambahkan World Plastics Council, selama 18 bulan terakhir telah menyatukan berbagai pemangku kepentingan guna membahas cara terbaik mengatasi salah satu tantangan terbesar di masa kini yakni mengakhiri polusi plastik.