Bagikan:

JAKARTA - Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Djoko Siswanto mengungkapkan sejumlah isu strategis yang menjadi tantangan dalam mengelola hulu migas Indonesia.

Adapun isu pertama yang dihadapi, kata Djoko adalah perbaikan iklim investasi hulu baik minyak maupun gas bumi. Djoko bilang, isu yang sering dihadapi oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah terkait pemberian pembebasan pajak-pajak tidak langsung, khususnya di dalam kegiatan eksporasi.

"Eksporasi ini belum menghasilkan uang, bahkan investor KKKS itu melakukan pengeluaran uang untuk kegiatan eksporasi dan kita berharap adanya pemberlakukan assume and discharge," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XII DPR RI, Senin, 18 November.

Dikatakan Djoko, tindak lanjut yang diharapkan oleh pelaku saua adalah percepatan penerbitan revisi PP Nomor 27 tahun 2017 terkait biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di budang usaha hulu migas. Tak hanya itu, KKKS juga menanti revisi PP Nomor 53 tahun 2017 terkait perlakuan perpajakan pada kgiatan usaha hulu migas dengan kontrak bagi hasil gross split.

"Perlu ditegaskan bahwa pemberian pajak-pajak tidak langsung diberikan tanpa pertimbangan keekonomian, khususnya untuk kegiatan eksporasi dapat dibebaskan," sambung Djoko.

Kemudian tantangan kedua yang sering dihadapi adalah terkait persetujuan terkait dengan lingkungan seperti Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

"Ini terus terang yang paling memakan waktu cukup banyak, yaitu antara 5 sampai 24 bulan," lanjut Djoko.

Djoko mengusulkan adanya standarisasi format dan kelengkapan dokumen serta tata cara flpw dan pemeriksaan dan mengharapkan adanya persetujuan melalui e-sign an bersifat otomatis via OSS dan AMDAL Net serta semua kegiatan hulu migas otomatis mendapatkan AMDAL

"Kecuali jika mencemari lingkungan akan mendapat denda," imbuh Djoko.

Permasalahan keiga adalah kendala dari operasi hulu migas di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Djoko menyebut persetujuan alih fungsi LP2B untuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hingga saat ini belum diterbitkan meski lahan sudah dibebaskan. Dirinya berharap persetujuan tersebut bisa diperoleh sebelum akhir tahun 2024.

Kemudian permasalahan lain yang dihadapi adalah terkait PBB Tubuh Bumi dan Permukaan.

Terkait hal itu, Djoko menjelaskan selain pengenaan PBB Tubuh Bumi terhadap total lifting.

Dikatakan Djoko, pajak tersebut juga dikenakan pada aset hulu migas yang sudah tidak dimanfaatkan.

Dia mengusulkan, PBB Tubuh Bumi hanya dikenakan terbatas pada lifting bagian kontraktor dan terhadap lokasi yang betul-betul dimanfaatkan di daratan oleh KKKS.

"Meski wilayah KKKS itu besar, tetapi yang dimanfaatkan adalah karena sumur pemboran itu paling cuman 10x10 dan juga fasilitas produksi, dan juga bangunan di lapangan itu tidak seluas dari wilayah kerja. Jadi jangan dikaitkan dengan lifting tapi sebagaimana dimiliki orang," terang Djoko.

Sedangkan untuk aset yang tidak termanfaatkan lagi, ada baiknya mendapat pembebasan PBB. Pasalnya, aset yang tidak dimanfaatkan tersebut secara otomatis menjadi aset milik negara.

"Kalau dikenakan pajak ya harusnya negara sendiri yang bayar pajak. Masuk kantong kiri, kantong kanan akan lebih baik kalau aset yang sudah tidak dimanfaatkan itu tidak dikenakan PBB," sambung Djoko.

Isu kelima adalah terkait Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Saat ini, Djoko bilang, kendala yang dialami adalah proses KKPRL dan UKL-UPL maupun AMDAL yang tidak bisa dijalankan secara paralel. Isu kedua adalah pengenaan PNBP KKPRL pada proyek-proyek hulu migas, termasuk pada kegiatan eksplorasi.

"Ke depan kami mengusulkan PNBP Rp0 untuk proyek-proyek migas karena merupakan proyek pemerintah, khususnya eksplorasi yang belum menghasilkan uang, proyek yang juga masih dalam tahap pembangunan dan belum menghasilkan uang, ini kami usulkan untuk Rp0," beber Djoko

Keenam, isu yang dihadapi SKK Migas adalah terkait serapan gas. Dikatakan Djoko saat ini terdapat kelebihan pasokan gas bumi di Jawa Timur serta Natuna. Ia juga memproyeksikan di masa yang akan datang aakan ada kelebihan pasokan gas di daerah Aceh.

"Perlu upaya untuk melakukan optimalisasi serapan gas dari sumber-sumber tersebut yang akan meningkatkan penerimaan negara, termasuk pencapaian target dari lifting kita terutama barel oil equivalen," kata Djoko.

Isu terakhir, Djoko bilang, SKK Migas dan KKKS menghadapi illegal drilling, refinery dan tapping yang membuat adanya potensi kehilangan minyak sebesar 8.000 BOPD.

"Saat ini rancangan Perpres atau bahkan dinaikkan dengan PP terkait pengelolaan daripada sumur-sumur tua yang dilakukan secara ilegal oleh masyarakat setempat," tandas Djoko.