Bagikan:

JAKARTA - Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto menepis anggapan bahwa pemerintah memilih strategi yang salah dalam investasi baterai kendaraan listrik.

Dia mengatakan, baterai kendaraan listrik berbasis nikel maupun litium memiliki potensi pengembangan dan investasi yang sama.

“Sebetulnya, kita tidak berada dalam dikotomi baterai nikel atau baterai litium. Jadi dua-duanya kita punya potensi untuk mengembangkan,” ujar Septian Hario Seto dilansir ANTARA, Kamis, 10 Oktober.

Dia menyatakan, baterai kendaraan listrik berbasis nikel atau Nickel Manganese Cobalt (NMC), dan baterai kendaraan listrik berbasis litium atau Lithium Ferro Phosphate (LFP) sama-sama akan diterima dan tetap eksis di pasaran.

Baterai listrik berbasis nikel banyak diminati di pasar Eropa dan Amerika, sementara baterai listrik berbasis litium banyak digunakan di Asia.

Septian menambahkan, Indonesia kini memiliki sumber daya dan fasilitas produksi baterai listrik yang hampir lengkap.

Saat ini, lanjutnya, fasilitas pemurnian litium (lithium refinery) untuk menghasilkan litium hidroksida tengah dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah, dan pabrik foil tembaga (copper foil) juga sedang dibangun di Gresik, Jawa Timur.

Selain itu, sebuah pabrik bahan anoda untuk baterai litium baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kendal, Jawa Tengah, Agustus lalu.

“Ini tinggal (pabrik untuk) aluminium foil, elektrolit, sama separator yang kami lagi coba tarik investasinya untuk masuk. Tapi, ini artinya sebenarnya tidak jauh lagi untuk kita bisa punya satu ekosistem industri baterai listrik yang sangat kompetitif,” ujarnya lagi.

Melihat progress pengembangan tersebut, Septian mengaku, ekosistem baterai litium terbesar di dunia, selain di China, kini berada di Indonesia.

Masih kata Septian, kapasitas produksi bahan anoda yang dapat digunakan baik untuk baterai berbasis nikel maupun baterai berbasis litium mencapai 80.000 ton per tahun di Indonesia, dan akan menjadi dua kali lipat pada awal 2025.

Sedangkan kapasitas produksi bahan anoda di Jepang hanya mencapai 10.000 ton, sedangkan Korea Selatan 40.000 ton.

“Jadi, ya kita harus lihat tren pasarnya gimana, dan apa yang kita punya. Jadi kalau dibilang kita agak salah trennya, salah investasi, kemudian (khawatir tren) dunia belok ke mana (menjadi berubah), ya tidak,” ujarnya pula.