Bagikan:

JAKARTA - China-Global South Project (CGSP) mengungkapkan sejumlah tantangan yang akan dihadapi oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto dari industri nikel Indonesia.

Antonia Timmerman, editor Asia Tenggara CGSP dan peneliti utama proyek ini mengatakan, laporan dan perangkat data tersebut menekankan bahwa ledakan nikel di Indonesia dibangun dengan landasan yang lemah atau dengan kebijakan yang cacat, praktik tidak berkelanjutan, serta meningkatnya ketegangan geopolitik yang segera membutuhkan perhatian pemerintah.

“Salah satu yang kami lakukan dalam proses riset ini adalah memantau laporan media lokal dan nasional seputar proyek nikel di Indonesia, dan kami menemukan bahwa sepertiga proyek nikel di Indonesia diduga atau dituduh melakukan korupsi dalam praktiknya,” ujar Antonia dalam keterangan kepada media, Senin, 7 September.

Antonia melanjutkan, sebanyak 90 persen dari kasus-kasus dugaan korupsi tersebut berasal dari sektor pertambangan nikel. Kasus korupsi dan pertambangan ilegal berkaitan erat dengan kerusakan lingkungan.

“Sementara, sangat sulit untuk mengetahui pemegang saham sebenarnya dari banyak proyek nikel di Indonesia akibat struktur kepemilikan yang sengaja dibuat rumit atau tidak jelas," sambung dia.

Antonia juga menyebut sulit bagi masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban jika ada proyek yang melanggar aturan.

"Hal ini sangat memprihatinkan, dan kami berharap presiden yang baru nanti dapat melakukan pembenahan di sektor nikel,” kata Antonia.

Yang tidak kalah penting, lanjut dia, pihaknyamenemukan bahwa janji hilirisasi atau downstreaming, yakni mimpi untuk memproses nikel mentah menjadi baterai kendaraan listrik, masih belum terwujud secara nyata.

Dalam praktiknya, Antonia menyebut kapasitas produksi baterai RI masih sangat rendah, dan jika lajunya dibiarkan sama seperti sekarang, Indonesia tidak akan pernah bisa menjadi salah satu pemasok baterai utama di dunia.

"Kenyataannya, nikel kita sekarang sebagian besar masih dipakai untuk memproduksi stainless steel,” pungkasnya.