Bagikan:

JAKARTA - PT Pos Indonesia menegaskan tidak akan ikut-ikutan program free atau bebas ongkos kirim (ongkir) seperti yang dijalankan perusahaan sejenis lainnya dalam layanan platform e-commerce atau marketplace.

Direktur Operasi dan Digital Services PT Pos Indonesia Hariadi mengatakan, ekosistem yang dibentuk oleh platform e-commerce tidak sejalan dengan prinsip yang dianut oleh PT Pos Indonesia.

“Sebenarnya ini isu lama, yang namanya free ongkir dan segala macam itu sebenarnya dibebankan ke perusahaan logistik dan juga ke seller untuk fasilitasi itu,” katanya saat ditemui di Sarinah, Jakarta, Rabu, 2 Oktober.

Hariadi bilang perusahaan-perusahaan logistik yang ikut bermain dalam ekosistem e-commerce itu, umumnya merupakan korporasi baru yang masih mencari valuasi lewat pembebasan biaya pengiriman kepada konsumen.

Sementara, sambung Hariadi, PT Pos Indonesia sebagai perusahaan pelat merah, sudah tidak lagi mencari valuasi. Karena itu, kta dia, PT Pos Indonesia tidak bisa mengikuti pola yang dimainkan oleh platform e-commerce.

“Pada saat itu kami transformasi, tapi ada cara bermain yang memang PT Pos tidak bisa ikuti pola tersebut, terutama itu ada marketplace besar yang punya bargaining power untuk mencari the best yang akan didapatkan,” ujarnya.

Menurut Hariadi, meski tak ikut terjun ke dalam ekosistem tersebut, PT Pos Indonesia tetap bisa tumbuh dengan transformasi yang dilakukan. Terutama melalui proses digitalisasi layanan.

“So far walaupun tidak mengikuti games seperti itu, ya kami tetap tumbuh di marketplace, kami tetap growing dan kami berharap ke depan industri ini akan jauh lebih baik. Karena kita tahu sendiri startup itu sustainabilitynya jadi tanda tanya, apakah praktik seperti itu (free ongkir) akan dilakukan terus-terusan,” ucapnya.

Hariadi mengakui saat ini market share PT Pos Indonesia pada layanan pengiriman barang domestik berada hanya di level 3,5 hingga 4 persen dengan volume 300.000 sampai 400.000 paket setiap harinya.

Meski begitu, Hariadi menilai layanan free ongkir merupakan fitur yang terbatas karena ada risiko mengenai keberlanjutan. Karena itu, kata dia, PT Pos Indonesia memilih untuk tidak memanfaatkan ekosistem yang dibentuk oleh platform e-commerce.

“Dengan risiko tadi sustainability, kita sudah tahu kan beberapa kurir kan juga sudah mulai kolaps kan. Bapak dan Ibu bisa lihat lah di media, yang dulunya menjadi anchor-nya sebuah ekosistem marketplace, kan tiba-tiba mundur,” tuturnya.