JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengungkapkan, target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang ditargetkan Presiden terpilih Prabowo Subianto harus memperhatikan kapasitas fiskal yang dimiliki Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai, sangat penting untuk melihat kapasitas fiskal untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Sebab, jika kapasitas fiskal tidak cukup, harus mencari cara untuk dapat memperluas dan meningkatkan penerimaan negara.
"Apakah memang bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi dan kalau kapasitas fiskal kita tidak terpenuhi atau tidak cukup apakah langkah yang bisa kita lakukan," ujarnya dalam diskusi virtual Indef berjudul Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat, Kamis, 12 September.
Esther menyampaikan, jika melihat data ke belakang rasio pajak di Indonesia cenderung menurun dimana pada 1978-1980 dan 1990-1992 rasio pajak cukup tinggi berada dikisaran belasan hingga 20 persen.
Bahkan, pada tahun 1982 sekitar 22 persen, kemudian tahun 1990 itu sekitar 19 persen, kemudian tahun 2001 itu sekitar 16 persen, tapi kondisinya terus menurun hingga mencapai 10 persen.
Selanjutnya, Esther membandingkan dari sisi penerimaan pajak pada 2014 yang merupakan awal periode pertama Presiden Joko Widodo.
Ternyata penerimaan pajak yang mencapai target hanya pada 2021, 2022, dan 2023 karena saat itu harga komoditas sedang naik.
"Dari sisi penerimaan pajak, kalau kita sisir dari 2014 di mana awal periode pertama pemerintahan pak jokowi, ternyata penerimaan pajak ini hanya tercapai targetnya di 2021-2022 dan 2023 itupun karena harga komoditas yang booming pada saat itu, kelapa sawit ya sehingga positif terhadap penerimaan pajak," jelasnya.
Esther menyampaikan penerimaan dari sisi pajak saat ini relatif cenderung turun dan sekarang hanya 10 persen terhadap PDB.
BACA JUGA:
Sementara dari sisi pengeluaran, belanja modal tercatat lebih kecil daripada pengeluaran rutin artinya belanja pembangunan harusnya lebih besar dibandingkan pengeluaran rutin dan ini malah sebaliknya.
"Utang juga relatif tinggi, rasio utang terhadap PDB sektor 38 persen. kalau kita lihat dalam 10 tahun ini Presiden Jokowi, pemerintahan Presiden Jokowi utang naik 3 kali lipat. investasi-pun tidak ramah thd lapangan pekerjaan," tuturnya.
Karena itu, Esther menyampaikan agar pemerintah berikutnya untuk lebih memperhatikan kapasitas fiskal terlebih dahulu sebelum mewujudkan visi, misi, dan program andalan.
"Kalau melihat dari sisi fiskal, kapasitas kita itu ruang fiskal kita itu lebih kecil, karena rasio pajak atau penerimaan negara dari pajak itu cenderung turun dan rendah, kemudian dari sisi pengeluaran itu lebih condong pada pengeluaran rutin, tidak pada belanja modal," pungkasnya.