Bagikan:

BELITUNG TIMUR - Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) memberikan dukungan fiskal mencapai Rp20,8 triliun kepada sektor perkebunan sawit di Indonesia pada 2023.

Dana yang dikumpulkan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu digunakan untuk berbagai program strategis. Salah satunya adalah insentif biodiesel sebesar Rp18,5 triliun. Kemudian, untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) senilai Rp1,7 triliun, riset senilai Rp1 miliar, dan program lainnya sebesar Rp5 miliar.

Analis Kebijakan Madya PKPN Badan Kebijakan Fiskal, Nursidik Istiawan mengatakan pemerintah berusaha untuk menghasilkan penerimaan pungutan negara yang kemudian bisa dikembalikan lagi kepada para pelaku industri tersebut.

“Melalui peremajaan, promosi, penelitian, sarana, perasaan, dan pekembangan sumber daya manusia dan beberapa hal lain,” katanya dalam Press Tour Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Rabu, 28 Agustus.

Nursidik mengatakan pemerintah juga memberikan fasilitas pembebasan bea masuk untuk mesin dan peralatan yang diimpor untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal.

Adapun pembebasan itu berlaku selama dua tahun, dan bisa diperpanjang hingga empat tahun bagi perusahaan yang menggunakan mesin produksi dalam negeri dengan nilai minimal 30 persen dari total mesin yang digunakan. Pembebasan bea masuk ini juga meliputi bahan baku untuk produksi.

Selain itu, fasilitas pembebasan bea masuk juga mencakup berbagai sektor industri jasa, pariwisata, transportasi, pelayanan kesehatan, pertambangan, konstruksi, telekomunikasi, dan kepelabuhanan.

“Pembebasan bea masuk atas impor barang-barang untuk pembangunan penanaman modal dalam rangka penanaman modal menggunakan PMK 176 di mana pembebasan bea masuk diberikan untuk industri yang baru dibangun berupa pembangunan pabriknya,” katanya.

Nursidik mengatakan pemerintah juga memberikan kemudahan bagi pelaku industri yang berorientasi ekspor. Kemudahan tersebut diberikan melalui fasilitas Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.160/PMK.04/2018.

Fasilitas tersebut memungkinkan perusahaan untuk mengimpor barang dari luar negeri atau memasukkan barang dari Kawasan Berikat (KB), Pusat Logistik Berikat (PLB), dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tanpa dikenakan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Dimana pelaku usaha yang menggunakan fasilitas KITE diwajibkan untuk melakukan ekspor paling lambat 12 bulan setelah impor atau sesuai dengan periode pembebasan yang diberikan.

Untuk memanfaatkan fasilitas ini, perusahaan harus menaruh jaminan minimal sebesar nilai Bea Masuk dan pajak yang tidak dipungut. Adapun kegiatan yang mendapat manfaat dari fasilitas ini meliputi proses pengolahan, perakitan, dan pemasangan.

Setelah proses tersebut selesai, barang hasil produksi harus diekspor, dan perusahaan diwajibkan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban paling lambat satu bulan setelah berakhirnya periode pembebasan.