Bagikan:

JAKARTA - Indonesia harus memperluas pengembangan industri energi hijau agar dapat mempertahankan statusnya sebagai eksportir energi serta membangun industri energi berkelanjutan.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, upaya itu perlu dilakukan untuk menggantikan ekspor bahan bakar fosil yang selama ini menjadi andalan.

Berdasarkan data Bank Indonesia dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ekspor bahan bakar fosil Indonesia pada 2023 cukup signifikan, dengan ekspor batu bara mencapai 518 juta ton senilai 43 miliar dolar AS.

Selain itu, ekspor gas pipa mencapai 181 juta metrik british thermal unit (MMBTU) dan ekspor LNG mencapai 474 juta MMBTU, dengan total nilai 8 miliar dolar AS.

Luhut menyadari pentingnya mengembangkan industri panel surya domestik untuk menghindari ketergantungan berlebihan pada impor dan memastikan model ekspor energi hijau yang berkelanjutan.

“Kita akan mengekspor 2 GW (energi surya) ke Singapura dan pada saat yang sama, kita juga harus membangun industri panel surya kita sendiri … Kami tidak mau mengimpor panel surya untuk mengekspor energi hijau ke Singapura,” katanya mengutip Antara.

Luhut menyebut Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Potensi ini mencakup energi surya, angin, hidrogen, bioenergi, panas bumi, dan laut.

Potensi energi surya mencapai 3.286 gigawatt (GW), angin 155 GW, hidrogen 95 GW, bioenergi 57 GW, panas bumi 24 GW, dan energi laut 20 GW. Sayangnya, ia menyebut produksi energi terbarukan saat ini masih sangat terbatas, hanya sekitar 7 GW.

Dalam upaya memperluas pengembangan industri energi hijau dalam negeri, Luhut mengatakan bahwa Indonesia pada 2023 telah menandatangani kerja sama dengan Singapura terkait pengembangan industri manufaktur energi terbarukan, seperti produksi panel surya dan sistem penyimpanan energi baterai (BESS).

Ia menjelaskan kerja sama dengan Singapura tersebut telah menarik investasi di sektor energi hijau, khususnya pada pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan rantai pasok baterai.

Investasi yang diperoleh mencapai puluhan miliar dolar AS, yang meliputi 30–50 miliar dolar AS dari perusahaan pengembang energi, 1,7 miliar dolar AS dari produsen panel surya, dan 1 miliar dolar AS dari produsen baterai dan inverter.