Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif lembaga riset independen untuk bidang ekonomi energi dan pertambangan ​​​Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, mengatakan, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan komitmen kuat dan bahkan perlu intervensi lebih jauh dari pemerintah.

Komaidi mengatakan, banyak pengembang EBT di Indonesia dihadapkan pada kondisi pasar yang tidak seimbang dan situasi “risiko tinggi, imbal hasil rendah”.

Saat ini, kata dia, banyak pengembang EBT yang kesulitan menjual produknya karena hanya ada satu pembeli utama, yakni PLN.

Kondisi itu membuat posisi tawar pengembang menjadi lemah dan sulit untuk mendapatkan harga yang wajar.

“Pengembangan EBT sekarang ini adalah high risk, low return. Mau jualan, tetapi dihadapkan pada single buyer. Ini yang saya kira harus kita sadari bersama termasuk pengambil kebijakan agar (pengembangan EBT) bisa high risk, high return,” katanya.

Komaidi memberikan usulan agar pemerintah melakukan intervensi dalam pengembangan EBT, termasuk intervensi terhadap BUMN kelistrikan, yaitu PLN.

Intervensi ini dinilai perlu dilakukan untuk memastikan bahwa PLN sebagai offtaker atau pembeli listrik mau membeli listrik dari pengembang EBT dengan harga yang wajar.

Apabila PLN tidak mampu menyerap seluruh listrik yang dihasilkan, pemerintah perlu memfasilitasi mekanisme power wheeling agar pengembang EBT dapat menjual listriknya ke pihak lain, ujar dia.

Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN.

“Kalau memang tidak bisa power wheeling, pemerintah harus memberikan subsidi. Jadi harus ada jaminan bahwa listrik yang diproduksi oleh pengembang EBT itu 100 persen harus diserap, kalau tidak dibantu itu tidak akan berkembang,” jelasnya.

Upaya untuk mengembangkan EBT menghadapi tantangan karena hingga saat ini belum ada undang-undang yang spesifik yang mengatur pengembangan energi terbarukan.

Padahal, pemerintah memiliki target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. Capaian EBT pada 2023 baru mencapai 13,09 persen.

Kendati begitu, pemerintah saat ini intensif melakukan pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan dengan DPR, yang diharapkan menjadi regulasi yang komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan energi EBT yang berkelanjutan dan adil.

Sebelumnya, pemerintah telah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan EBT Untuk Penyediaan Tenaga Listrik sebagai salah satu upaya menarik lebih banyak investasi dalam pengembangan energi terbarukan.

Tidak hanya mengatur pemanfaatan energi terbarukan dari segi harga dan mekanisme pengadaan, tetapi juga transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang meliputi peta jalan percepatan penghentian PLTU dan pembatasan pembangunan pembangkit baru.