Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Universitas Brawijaya Wildan Syafitri mengatakan, industri pengolahan (manufaktur) Indonesia masih menjadi yang terkuat di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), mengingat total nilai tambah manufaktur (manufacturing value added/MVA) RI mencapai 255 miliar dolar AS.

"Pencapaian sektor industri manufaktur Indonesia patut diapresiasi karena ini adalah pencapaian yang positif mengingat dalam situasi krisis justru Indonesia dapat meningkatkan efisiensi industri manufaktur,” kata dia dilansir ANTARA, Kamis, 25 Juli.

Dia menjelaskan, dalam lima tahun terakhir data MVA Indonesia yang dirilis Bank Dunia menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Dalam data terakhir yang dirilis, angka nilai tambah manufaktur Indonesia jauh di atas negara anggota ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Vietnam yang nilai MVA hanya setengah dari Indonesia, yakni masing-masing 128 miliar dolar AS, serta 102 miliar dolar AS.

Sementara dari sisi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan I 2024 menjadi penyumbang terbesar, yaitu 17,47 persen dengan pertumbuhannya sebesar 4,64 persen.

Di sisi ekspor, nilai pengiriman produk industri pengolahan nonmigas pada semester I tahun 2024 mencapai 91,65 miliar dolar AS atau setara 73,27 persen dari total ekspor nasional, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 18,82 juta orang.

"Tren positif ini dapat kita maknai sebagai peningkatan efisiensi industri. Kondisi ini juga cerminan dari kekuatan industri dalam memberikan kontribusi pada perekonomian Indonesia merupakan cerminan dan gambaran dari sejauh mana kekuatan industri dalam perekonomian nasional,” katanya.

Dia mengatakan, performa tersebut didorong karena Indonesia bisa memanfaatkan krisis rantai pasok (supply chain) akibat perang Rusia-Ukraina, peran dari pembangunan infrastruktur, investasi, serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM).

Dirinya secara khusus memberikan perhatian mengenai respons Indonesia dalam menghadapi kondisi impor barang-barang murah yang menyerbu ke pasar domestik.

"Jika kondisi ini berlangsung terus maka lambat laun akan mematikan industri dalam negeri. Industri dalam negeri perlu lebih baik beradaptasi dengan tren permintaan pasar dan regulasi pemerintah perlu menjaga industri dalam negeri dari serangan impor ini,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan nilai tambah manufaktur terhadap perekonomian (Manufacturing Value Added/MVA) Indonesia mencapai 255 miliar dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadikan nilai manufaktur RI naik ke posisi 12 secara global.