JAKARTA - Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda mengungkapkan, perubahan pola konsumsi dari offline ke online telah mendorong perkembangan produk digital. Menurutnya, hal tersebut juga termasuk produk keuangan yang semakin diadopsi melalui teknologi digital, yang dikenal sebagai financial technology atau fintech.
Salah satu layanan fintech yang tumbuh pesat adalah fintech P2P Lending, yang mengalami peningkatan tahunan pengguna sebesar 59 persen selama periode 2020-2023, dibandingkan dengan pertumbuhan kartu kredit yang hanya 0,5 persen. Masyarakat yang unbankable atau underserved lebih memilih pembiayaan digital alternatif seperti fintech P2P Lending.
“Fintech P2P Lending sendiri memiliki pola bisnis two-sided market, yaitu pasar yang memiliki dua jenis konsumen,” ucap Nailul, dikutip Rabu 10 Juli.
Konsumen pertama dalam fintech P2P Lending, lanjutnya, disebut dengan borrower atau penerima dana. Penerima dana dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.10/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) disebutkan orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang menerima pendanaan.
Sedangkan konsumen satu lagi adalah pemberi dana atau disebut lender, yaitu orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang memberikan pendanaan. Fungsi dari platform fintech P2P Lending adalah mempertemukan antara lender dengan borrower. Perubahan perilaku di satu konsumen bisa mempengaruhi konsumen lainnya, termasuk dalam perlindungan kegiatan. Maka penting bagi regulator untuk memberikan perlindungan baik bagi borrower maupun lender.
Dalam peraturan POJK terbaru, perlindungan masih dititikberatkan dari sisi borrower dimana pasal 100 POJK N0.10/2022 tersebut masih dari sisi data, transparansi, hingga penanganan penagihan yang memang dikhususkan untuk sisi borrower. Padahal, terdapat sisi lender yang juga perlu perlindungan sebagai pemberi pendanaan.
Menurutnya, alam sistem two-sided market, kegagalan bayar di sisi borrower menyebabkan kerugian bagi sisi lender. Bahkan, uang yang diberikan ke borrower bukan merupakan uang dari platform, melainkan dari lender. Jadi platform hanya sebagai perantara, bukan sebagai lembaga penyalur pembiayaan bagi borrower.
“Menariknya, kasus yang akhir-akhir ini terjadi banyak melibatkan borrower tanpa melihat perlindungan untuk lender. Lender masih dianggap orang yang tidak dirugikan dari berbagai kasus di fintech P2P Lending,” terang Nailul Huda.
Ia memaparkan bila salah satu hal yang masih belum banyak dipahami oleh masyarakat adalah kegiatan pemberian dana merupakan kegiatan investasi dimana ada pengembalian berupa biaya manfaat yang diperoleh oleh lender.
“Ketika ada investasi, maka sudah sewajarnya ada risiko yang potensial dihadapi oleh lender. Risiko investasi ini yang harus diketahui oleh lender sebagai bagian tidak terpisahkan dari kegiatan investasi mereka di fintech P2P lending. Regulator pun harus mempersiapkan regulasi mitigasi risiko ketika terjadi gagal bayar hingga fraud,” tambah Nailul Huda.
Salah satu alternatif yang ditawarkan untuk meningkatkan keamanan investasi dalam fintech P2P Lending adalah asuransi bagi dana yang diberikan oleh lender kepada borrower. Asuransi ini bertujuan melindungi lender dari risiko gagal bayar oleh borrower, sehingga lender dapat merasa lebih aman dan tenang dalam menginvestasikan uangnya melalui platform fintech P2P Lending. Dengan adanya asuransi, lender akan memiliki jaminan bahwa dana yang mereka pinjamkan akan tetap aman meskipun borrower mengalami kesulitan dalam pengembalian.
Namun demikian, solusi ini juga penuh dengan risiko, terutama risiko moral hazard dari borrower. Borrower yang mengetahui bahwa dana telah diasuransikan mungkin merasa tidak perlu bertanggung jawab penuh atas pengembalian dana tersebut. Mereka bisa saja menganggap bahwa kewajiban pengembalian berada pada pihak asuransi, bukan pada mereka. Akibatnya, perilaku ini dapat menyebabkan peningkatan risiko gagal bayar yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai tingkat wanprestasi/gagal bayar (TWP) 90 hari. Ketika borrower tidak merasa memiliki tanggung jawab penuh, mereka mungkin kurang termotivasi untuk memenuhi kewajiban pembayaran tepat waktu.
Potensi ini akan semakin besar ketika proses credit scoring belum dapat menggambarkan kualitas peminjam secara penuh. Terlebih tidak ada agunan yang diberikan oleh borrower ke fintech P2P Lending yang semakin membuat potensi moral hazard terjadi. Borrower tidak memberikan aset yang bisa dijadikan jaminan, sehingga tidak ada tekanan tambahan bagi mereka untuk mengembalikan pinjaman. Hal ini membuat asuransi harus berhati-hati dalam menyusun kebijakan dan mengelola risiko, agar tidak terjebak dalam kerugian besar akibat meningkatnya tingkat gagal bayar.
BACA JUGA:
“Maka, langkah mitigasi dilakukan ketika awal transaksi di fintech P2P Lending, baik dari sisi borrower maupun dari sisi lender. Dari sisi borrower, credit scoring harus dipertajam validasi-nya. Integrasi innovative credit scoring (ICS) yang digunakan oleh fintech P2P Lending dengan data sistem layanan informasi keuangan (SLIK) harus dilakukan sebagai data filter awal untuk menyaring bad borrower dari awal. Kemudian, asuransi menjadi opsi optional yang diberikan kebebasan ke borrower (terutama untuk kredit produktif) guna meningkatkan nilai credit scoring mereka. Informasi mengenai kepesertaan asuransi ditampilkan ketika lender ingin memberikan dana ke borrower,” paparnya,
Dari sisi lender, informasi mengenai risiko investasi harus dijelaskan ketika di awal memulai investasi. Risiko investasi ini harus diiringi dengan penilaian dari sisi lender terkait dengan profil risiko lender, sama seperti yang dilakukan ketika penilaian profil risiko investasi fintech wealth management.
“Dengan demikian, platform juga dapat memberikan rekomendasi borrower yang tepat bagi lender sesuai dengan profil risikonya. Pemahaman mengenai investasi lender pun juga harus melihat dari sisi dampak yang akan diberikan oleh lender kepada borrower dan dunia usaha secara umum,” tutup Nailul Huda.