JAKARTA - Vice Chairman Committee of Mineral and Coal Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Djoko Widajatno menyebut bisnis industri bauksit tidak seatraktif nikel.
"Bisnis dari industri bauksit ini agak lain," ujarnya dalam Mining Zone yang dikutip Selasa 25 Juni.
Hal ini merujuk pada pembangunan smelter bauksit yang dinilai lebih lambat dibandingkan industri mineral lainnya seperti nikel. Dari pembangunan 12 smelter bauksit diketahui hanya 4 yang teah beroperasi sementara 8 lainnya masih dibangun dan hanya 1 smelter yang menunjukkan kemajuan dann7 lainnya masih dalam bentuk lapangan tanpa bangunan.
Djoko mengatakan, sewaktu dirinya masih menjabat sebagai Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), dirinya perh mengajukan pertanyaan kepada pelaku industri bauksit terkait masalah yang dihadapi saat membangun smelter.
"(Katanya) Tidak ada. Uang juga ada, dan sebagainya. Tapi ternyata masalah keuangan jadi masalah pokok yang membentuk pemurnian bauksit jd alumina," sambung Djoko.
Padahal, lanjut Djoko, proses yang paling mahal adalah pembangunan smelter karena memerlukan infrastruktur yang besar seperti kebutuhan listrik d sebagainya yang saat ini belum dimiliki Indonesia.
BACA JUGA:
"Pada umumnya kita menghadapi masalah karena letak dari smelter ini tersebar dan ada usulan di awal bagaimana kalau kita buat cluster untuk bangun infastruktur dengan mudah. Tapi tidak mudah menyamakan pendapat kebijakan pemerintah untuk memudahkan terbentuknya cluster smelter," beber dia.
Djoko juga menyebut sejatinya saat ini banyak investor yang ingin masuk dan menanamkan modalnya di industri pemurnian bauksit namun masih terkendala kepastian regulasi.
"Tadi pagi diskusi di Komite Pengolahan di IMA dan ketuanya mengatakan investor sudah menunggu dan mudah-mudahan ini bisa betul-betul terealisasi dengan adanya investasi yang masuk melewati BKPM maupun Kemenko Marves," pungkas Djoko.