JAKARTA - Hasil studi yang dilakukan LSM lingkungan internasional 350.org dan CELIOS menunjukkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar Rp10.529 triliun selama 25 tahun.
Menurut Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, dampak positif yang dihasilkan sejalan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi secara lebih berkualitas.
“Dampak positif energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang. Dari sisi ketenagakerjaan, terdapat peluang kesempatan kerja sebesar 96 juta orang di berbagai sektor tidak sebatas pada energi, namun industri pengolahan dan perdagangan juga ikut terungkit.” kata Bhima dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Mei
Bhima menyampaikan ketika pemerintah sedang mencari cara agar tingkat pengangguran bisa turun di daerah, maka pengembangan energi berbasis komunitas jadi salah satu jalan keluarnya.
Menurut Bhima terdapat peluang pendanaan energi terbarukan berbasis komunitas bisa berasal dari komitmen JETP (Just Energy Transition Partnership). jika 50 persen dana JETP yang sebesar 20 miliar dolar AS dialokasikan untuk mengembangkan energi terbarukan skala komunitas maka dapat menghasilkan kapasitas 2,18 GW.
“Itu berarti pembangkit energi terbarukan setidaknya mampu menggantikan 3,3 unit PLTU setara Cirebon-1 yang memiliki kapasitas 660 MW.” ungkap Bhima.
Bhima menyampaikan kajian ini dapat membuka mata para pengambil kebijakan di negeri ini untuk segera menggeser kebijakan transisi energi yang selama ini hanya berfokus pada pembangkit skala besar yang justru rentan menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup bagi masyarakat lokal.
“Sebaliknya, pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas justru mampu berdampak pada penurunan ketimpangan antar wilayah selama 20 tahun implementasi dari 0,74 ke 0,71. Karena sifatnya lebih inklusif energi berbasis komunitas sangat cocok diterapkan di Indonesia,” tuturnya
Sementara itu interim Indonesia team lead 350.org Firdaus Cahyadi mengungkapkan bahwa selama ini kebijakan transisi energi di Indonesia didominasi narasi tunggal yang bias pada pengembangan energi terbarukan skala besar.
“Narasi tunggal itu terasa sekali dalam dokumen CIPP (Comprehensive Investment and Policy Plan) JETP yang diluncurkan November 2023 lalu,” katanya.
BACA JUGA:
Firdaus menyampaikan narasi tunggal itu, tidak bisa dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga bisnis bantuan internasional seperti GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero), ADB dan World Bank.
“Pengembangan energi terbarukan skala besar menjadi jalan untuk membuat jebakan utang luar negeri dalam skema pendanaan JETP,” tegasnya.
Firdaus menjelaskan lembaga-lembaga bisnis bantuan itu selalu ada di setiap working group dalam JETP.
Lebih lanjut, Firdaus menyampaikan kajian ini merupakan bagian dari upaya melawan dominasi narasi tunggal dari lembaga-lembaga bisnis bantuan internasional itu.
“Narasi tunggal dari lembaga-lembaga bisnis bantuan internasional itu harus dilawan, bila kita ingin mewujudkan transisi energi berkeadilan dalam JETP,” pungkasnya.