Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) buka suara terkait penumpukan kontainer yang berisi berbagai macam barang di pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut penyebab penumpukan kontainer tersebut adalah kendala persetujuan teknis sebagai syarat untuk mendapatkan perizinan impor.

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, pihaknya tidak terkait langsung dengan penumpukan kontainer di beberapa pelabuhan. Sesuai dengan tugas Kemenperin dalam membina industri dalam negeri, dia menyebut pihaknya berkewajiban memastikan kebutuhan bahan baku industri terpenuhi.

"Menanggapi pernyataan Kementerian Perdagangan yang menyatakan penyebab penumpukan kontainer tersebut adalah kendala persetujuan teknis sebagai syarat untuk mendapatkan perizinan impor, kami sampaikan bahwa Kemenperin tidak terkait langsung dengan penumpukan kontainer di beberapa pelabuhan," ujar Febri dalam keterangan resminya, Senin, 20 Mei.

Febri pun menampik bahwa lamanya penerbitan persetujuan teknis (Pertek) di Kemenperin menjadi penyebab dari kondisi penumpukan tersebut. Dia menuturkan, prosedur pengajuan pertek hanya membutuhkan waktu 5 hari. Prosesnya pun berjalan secara elektronik.

"Penerbitan pertimbangan teknis ditetapkan paling lama dalam waktu lima hari kerja setelah permohonan dan dokumen persyaratannya diterima dengan lengkap dan benar," katanya.

Dia menjelaskan, per 17 Mei 2024, Kemenperin menerima 3.338 permohonan Pertek untuk 10 komoditas. Dari 3.338 itu telah diterbitkan 1.755 Pertek, 11 permohonan ditolak dan 1.098 dikembalikan untuk dilengkapi persyaratannya.

Sementara berdasarkan rapat koordinasi (rakor) pada Kamis, 16 Mei, diperoleh data menunjukkan perbedaan jumlah Pertek dan persetujuan impor (PI) yang diterbitkan Kemendag. Febri pun mencotohkan, dari total 1.086 Pertek yang diterbitkan untuk komoditas besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya, PI yang diterbitkan sejumlah 821 PI.

"Volume dari gap perbedaan tersebut kira-kira sekitar 24.000 jumlah kontainer," ucap dia.

Di samping itu, hingga saat ini Kemenperin juga belum mengetahui isi dari kontainer-kontainer tersebut. Bahkan pada rakor sebelumnya pun, Ditjen Bea Cukai juga menyampaikan informasi mengenai ketidaktahuannya apakah kontainer tersebut dimiliki oleh perusahaan dengan Angka Pengenal Importir Umum atau Angka Pengenal Importir Produsen.

Adapun sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, setiap barang impor yang dimasukkan ke dalam wilayah RI, khususnya barang-barang yang masuk dalam kategori larangan dan/atau pembatasan (lartas), wajib memiliki dokumen perizinan impor. Untuk mendapatkan perizinan impor tersebut, salah satunya adalah memiliki pertimbangan teknis yang diterbitkan oleh Kemenperin.

Dengan demikian, kata Febri, barang-barang impor yang masuk dalam kategori lartas dimaksud mestinya tidak bisa masuk ke daerah pabean sebelum memiliki dokumen perizinan impor, seperti penumpukan yang terjadi saat ini.

Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya menjaga industri dalam negeri, Kemenperin harus menjaga keseimbangan antara produksi dalam negeri dengan pasarnya.

"Kami tidak alergi dengan barang impor sepanjang barang-barang tersebut dibutuhkan di dalam negeri, sedangkan produksinya di dalam negeri tidak mencukupi. Dengan demikian, kebijakan Lartas diarahkan untuk tidak mengganggu industri dalam negeri," imbuhnya.