JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan telah menerima surat balasan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait isi 26.415 kontainer yang dikeluarkan dari Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak pada Mei lalu. Namun, data yang disampaikan masih belum lengkap.
Hal ini diutarakan oleh Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif. "Surat dari Dirjen Bea dan Cukai (Askolani) tersebut diterima pada 2 Agustus 2024 atau dua pekan sejak surat tersebut ditandatangani tanggal 17 Juli 2024," ujar Febri dalam keterangan tertulisnya, Senin, 5 Agustus.
Sayangnya, kata Febri, data yang disampaikan pada surat tersebut tidak bisa Kemenperin gunakan untuk memitigasi dampak pelolosan puluhan ribu kontainer tersebut pada industri karena terlalu makro, tidak detail dan hanya sebagian.
"Kesannya ada data isi dari puluhan ribu kontainer tersebut yang disembunyikan," ucapnya.
Dalam surat balasan tersebut, Febri bilang Askolani telah menyampaikan data isi dari 26.415 kontainer yang dikelompokkan berdasarkan Board Economic Category (BEC). Rinciannya, sebanyak 21.166 kontainer berupa bahan baku dan penolong (80,13 persen), barang-barang konsumsi sebanyak 3.356 kontainer (12,7 persen) dan barang-barang modal sejumlah 1.893 kontainer (7,17 persen).
Secara terperinci, Askolani juga menyampaikan data 10 besar jenis barang/kontainer dari masing-masing kelompok tersebut dalam dokumen yang dilampirkan.
Menanggapi surat Askolani itu, Kemenperin memberikan beberapa tanggapan. Pertama, kata Febri, jika sebagian besar kontainer yang menumpuk berisi bahan baku/bahan penolong (80,13 persen), apa urgensi penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 dan merelaksasi impor untuk barang hilir/barang konsumsi.
Sedangkan, kontainer dengan muatan barang hilir/barang konsumsi jumlahnya jauh lebih kecil (12,7 persen).
Kedua, Febri menyebut bahwa data yang disampaikan dalam surat Dirjen Bea dan Cukai Askolani baru menjelaskan terkait muatan 12.994 kontainer atau 49,19 persen dari data total 26.415 kontainer. Sisanya, isi dari 13.421 kontainer tidak dijelaskan dengan baik.
"Hal ini aneh dan janggal, mengingat Dirjen Bea dan Cukai mengeklaim telah meloloskan semua kontainer tersebut dari pelabuhan," tegas Febri.
Ketiga, permohonan importasi dari Kemenperin didasarkan atas HS Code 8 digit dan terdapat dalam dokumen impor yang dipegang oleh Ditjen Bea dan Cukai. Sedangkan, informasi yang disampaikan dalam surat balasan adalah HS Code 2 digit.
Oleh karena itu, tidak bisa diketahui barang sesungguhnya dalam bentuk bahan baku atau barang jadi.
"Kemenperin meminta Ditjen Bea dan Cukai untuk memberikan data detail barang importasi HS Code 8 digit dari 26.415 kontainer yang menumpuk di pelabuhan-pelabuhan tersebut," tuturnya.
Keempat, data importasi barang dengan HS Code 8 digit sangat diperlukan oleh Kemenperin. Sebab, apabila terdapat produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri, nantinya akan berpengaruh kepada industri dalam negeri.
"Inilah pentingnya pengendalian importasi, khususnya untuk produk-produk yang termasuk HS bahan baku," jelasnya.
BACA JUGA:
Kelima, Kemenperin perlu mendapat data yang lebih valid dalam HS Code 8 digit dan sesuai jumlah yang sampai saat ini sudah dikeluarkan oleh Dirjen Bea dan Cukai sejak diberlakukannya Permendag 8/2024, agar dapat diantisipasi kebijakan yang tepat untuk membendung produk impor guna meningkatkan daya saing produk industri dalam negeri.
Lalu keenam, pemusnahan sebagian barang dari 26.415 kontainer tersebut juga janggal. Pasalnya, hal itu menandakan adanya isi kontainer yang merupakan barang dilarang masuk ke Indonesia, tapi masuk dalam pengelompokan 26.415 kontainer.
Dirjen Bea dan Cukai perlu menyampaikan informasi mengenai kapan dan di mana barang-barang yang dimusnahkan tersebut masuk dan dibongkar di pelabuhan serta jumlah kontainer serta HS Code-nya. Kemudian ada berita acara pemusnahannya.
Lebih lanjut, Febri juga menyoroti keterlambatan surat Dirjen Bea Cukai sejak ditandatangani. Hal ini perlu mendapat perhatian dari Menkeu (Sri Mulyani), terutama terkait sistem administrasi pada Ditjen Bea Cukai.
"Kemenperin membutuhkan data yang valid dan dapat diandalkan serta tersedia dengan cepat untuk mengantisipasi penurunan kinerja industri manufaktur dalam negeri saat ini," imbuhnya.