Bagikan:

JAKARTA - Bank Indonesia mengejutkan pasar dengan menaikkan suku bunga ke level tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Hal ini ditengarai sebagai upaya memperkuat rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS meski sejumlah intervensi di pasar valuta asing telah dilakukan.

Di saat banyak para ekonom memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan atau BI-Rate di 6 persen, namun kenyataannya BI justru menaikan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen, level yang terakhir kali terjadi pada 2016.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan, kenaikan ini dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah di tengah potensi risiko global yang meningkat.

Country Manager Center for Market Education Indonesia (CME ID) Alfian Banjaransari menyampaikan bahwa penurunan nilai rupiah baru-baru ini terutama dipicu oleh faktor eksternal yaitu inflasi Amerika Serikat yang lebih tinggi dari yang diperkirakan membuat suku bunga Federal Reserve tetap tinggi, hal ini mendorong aliran kapital ke pasar Amerika.

Selain itu, ketegangan geopolitik yang berkepanjangan di Timur Tengah meningkatkan kepercayaan pada dolar sebagai mata uang yang lebih stabil.

"Langkah ini sebetulnya menunjukkan komitmen Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan rupiah. Jika pasar merespon positif, ini bisa berdampak baik. Namun, tekanan pada rupiah sangat mungkin akan berlanjut mengingat ketidakpastian global dan transisi pemerintahan." jelasnya dalam keterangannya, Kamis, 25 April.

Untuk solusi jangka panjang, Alfian menyarankan perlu kerja sama yang lebih erat antara bank sentral ASEAN untuk mendukung daya beli masyarakat. Dalam menghadapi keterbatasan untuk mengadopsi solusi ideal seperti kembali ke standar emas atau memperkenalkan kompetisi antar mata uang di dalam negeri.

Alfian merekomendasikan sejumlah langkah reformasi seperti mendorong adopsi mata uang bersama ASEAN, dan mengadopsi satuan hitung ASEAN yang berbasis pada keranjang berbagai barang (basket of goods).

Menurut Profesor Warren Coats langkah tersebut diharapkan dapat menahan inflasi dan memperkuat mata uang regional yang kompetitif dengan dolar AS dan Euro.

Selain itu, Warren menyampaikan kedua reformasi ini dapat dicapai dengan menggunakan Hak Tarik Khusus (SDR) IMF dalam transaksi pribadi.

"SDR, yang merupakan klaim atas mata uang yang dapat digunakan secara bebas oleh negara anggota IMF dapat memberikan likuiditas tambahan dan stabilitas nilai lebih besar," tuturnya.

CEO CME Carmelo Ferlito menekankan dalam masa sulit bagi mata uang negara berkembang seperti saat ini perlu kerja sama yang lebih intens antara bank sentral regional di kawasan untuk menciptakan sistem moneter baru dengan mata uang terintegrasi, yang diharapkan dapat bersaing dengan dolar AS dan Euro.