OJK Ungkap Dua Risiko Perbankan pada Tahun 2024
Otoritas Jasa Keuangan (dok. Antara).

Bagikan:

JAKARTA - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan, Dian Ediana Rae, menilai ke depannya tetap perlu memerhatikan risiko perbankan yang berasal dari risiko pasar dan dampaknya pada risiko likuiditas terkait sentimen suku bunga global yang masih tetap tinggi.

Dian menyampaikan sentimen lainnya berasal dari potensi peningkatan risiko kredit menjelang berakhirnya masa relaksasi kredit restrukturisasi terkait Covid-19 pada akhir Maret 2024.

Sebagai informasi, hal tersebut disampaikan dalam Laporan Surveillance Perbankan Indonesia (LSPI) Triwulan IV-2023 memuat tentang overview dan analisis kondisi perekonomian global dan domestik serta kaitannya dengan perkembangan kinerja, penyaluran kredit dan/atau pembiayaan, serta profil risiko yang dihadapi oleh perbankan.

Menurut Dian, perbankan perlu didorong dalam meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage CKPN secara memadai serta secara rutin melakukan stress test untuk mengukur kemampuan permodalannya dalam menyerap potensi risiko khususnya terkait penurunan kualitas kredit restrukturisasi.

"Ekonomi domestik yang relatif kuat juga terekam pada indikator perbankan sebagaimana terlihat pada pertumbuhan kredit (bank umum) yang masih cukup baik, yaitu sebesar 10,38 persen (yoy) meskipun melambat dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu di 11,35 persen (yoy)," ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Jumat, 29 Maret 2024.

Dian menyampaikan pertumbuhan kredit tersebut turut didorong oleh membaiknya aktivitas usaha dan meningkatnya tingkat keyakinan (optimisme) konsumen.

Jika dilihat dari penyaluran kredit untuk tujuan konsumtif, kredit kepemilikan properti menunjukkan peningkatan pertumbuhan dari sebesar 7,55 persen (yoy) pada Desember 2022 menjadi 12,00 persen (yoy) pada Desember 2023.

Kredit kepemilikan kendaraan bermotor juga masih bertumbuh sebesar 13,34 persen (yoy). Sementara DPK juga masih tumbuh yaitu sebesar 3,73 persen (yoy) meskipun jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 9,01 persen (yoy) yang antara lain dipengaruhi oleh high based effect pertumbuhan DPK pada akhir 2022.

Dian lebih lanjut menuturkan melambatnya DPK diakibatkan adanya preferensi penggunaan dana internal korporasi untuk kebutuhan operasional dan ekspansi perusahaan, penggunaan dana/simpanan untuk konsumsi masyarakat yang kembali meningkat setelah pandemi, serta dampak dari perpindahan dana dari instrumen perbankan (DPK) ke alternatif investasi lainnya.

Dalam situasi demikian, kondisi likuiditas bank umum terpantau masih cukup memadai sebagaimana tecermin dari rasio AL/NCD dan AL DPK masing-masing sebesar 127,07 persen dan 28,73 persen, masih jauh di atas threshold.

Dian menilai tingkat permodalan juga cukup solid dengan CAR sebesar 27,65 persen yang utamanya ditopang perbaikan tingkat rentabilitas (ROA).

"Risiko kredit juga terpantau membaik dengan rasio NPL gross dan NPL net yang menurun serta relatif stabil masing-masing menjadi 2,19 persen dan 0,71 persen," tuturnya.

Sejalan dengan kinerja bank umum, Dian menyampaikan kinerja BPR dan BPRS juga cukup baik dengan kredit/pembiayaan serta DPK masih tumbuh tinggi meski relatif melambat dibandingkan tahun sebelumnya.

"Rasio permodalan juga cukup kuat dengan CAR BPR dan BPRS masing-masing sebesar 29,98 persen dan 23,21 persen," pungkasnya.