Bagikan:

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Laporan Surveillance Perbankan Indonesia (LSPI) kuartal III 2023.

Dalam laporan tersebut disebutkan pertumbuhan ekonomi beberapa negara utama mengalami divergensi seiring dengan ketidakpastian global yang meningkat.

Adapun dalam IMF dalam World Economic Outlook (WEO) Oktober 2023 memproyeksi pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari tahun 2022 sebesar 3,5 persen (yoy) menjadi 3,0 persen (yoy) pada 2023 dan 2,9 persen (yoy) pada 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan, di tengah inflasi global yang mulai melandai, suku bunga acuan beberapa negara masih tetap pada level relatif tinggi seiring dengan tingkat inflasi yang masih belum mencapai target sekitar 2 persen.

"Tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih berpotensi tinggi utamanya karena kenaikan harga energi dan pangan akibat eskalasi geopolitik di berbagai wilayah yang masih berlanjut," Jelasnya dalam keterangan resminya, Kamis, 28 Desember.

Dian menambahkan, faktor lainnya yang dapat memengaruhi tekanan inflasi berasal dari adanya fenomena El Nino yang mengganggu proses dan tingkat produksi pangan.

Selain itu, Menurut Dian terjadinya perlambatan ekonomi Tiongkok juga perlu diwaspadai karena dapat memengaruhi arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global ke depan.

Di tengah ketidakpastian global tersebut, pada kuartal III2023 ekonomi domestik relatif tumbuh kuat yaitu sebesar 4,94 persen (yoy), meski melambat dari triwulan sebelumnya sebesar 5,17 persen (yoy).

Menurut Dian, relatif kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik didorong oleh permintaan yang solid tecermin pada kuatnya konsumsi rumah tangga serta meningkatnya investasi di tengah turunnya pengeluaran pemerintah dan kinerja ekspor masing-masing karena pergeseran belanja pegawai dan penurunan nilai ekspor maupun impor sejalan dengan perlambatan ekonomi global.

Dian menyampaikan, OJK terus mencermati perkembangan volatilitas ekonomi global dan dampaknya kepada ekonomi domestik, yang disertai dengan kebijakan pengawasan perbankan secara individual yang intensif dan berkelanjutan.

"Diharapkan mampu menjaga stabilitas sistem keuangan dan perbankan Indonesia pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang," ujarnya.

Ke depannya, pinta Dian, tetap perlu diperhatikan risiko perbankan utamanya risiko pasar dan dampaknya pada risiko likuiditas, serta potensi peningkatan risiko kredit seiring peningkatan biaya dana yang dapat berdampak pada penurunan daya beli nasabah.

Untuk itu, perbankan didorong untuk meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage CKPN secara memadai, serta secara rutin melakukan stress test untuk mengukur kemampuan permodalannya dalam menyerap potensi risiko khususnya terkait penurunan kualitas kredit restrukturisasi.

"OJK juga meminta bank-bank agar terus memperhatikan aspek kehati-hatian (prudential banking), profesionalisme, inovatif, dan selalu menjaga integritas untuk bisa mencapai pertumbuhan yang tinggi dan sehat," pungkasnya.

Selain itu, dalam hal penguatan regulasi, pada periode laporan OJK menerbitkan enam ketentuan perbankan berupa empat Peraturan OJK (POJK) dan dua Surat Edaran OJK (SEOJK).

Untuk mendukung hal tersebut, OJK juga menerbitkan dua surat Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (KEPP) terkait Kebijakan Relaksasi Pengaturan tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan, dan Insentif bagi Bank Umum mengenai Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA).

Sementara itu, OJK juga aktif berkoordinasi dengan pemerintah dan Otoritas terkait dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan.