Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman RI menyebut masyarakat belum mendapatkan manfaat terhadap adanya pengelolaan tambang di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), usai dikelola oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam.

Hal tersebut diungkapkan Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto dalam Penyampaian Hasil Tinjauan Lapangan Ombudsman RI di Lokasi Tambang Nikel PT Antam Tbk Blok Mandiodo, di Gedung Ombudsman, Jakarta, Selasa, 23 Januari.

Hery bilang, Ombudsman telah melakukan peninjauan lapangan di Desa Tapumea, Tapunggaya dan Mandiodo di Blok Mandiodo pada akhir tahun 2023.

Peninjauan itu dilakukan di tiga desa karena adanya pemberitaan mengenai kasus tambang nikel ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Antam Tbk di Blok tersebut.

Dari kunjungan itu, Hery menyimpulkan sebagian besae masyarakat yang tinggal di sekitar Blok Mandiodo belum mendapatkan manfaat pasca Antam melakukan akuisisi Blok Mandiodo sejak 2022 lalu. Misalnya, di Desa Tapumea.

Hery bilang sebelumnya PT Sriwiyaja telah melakukan sistem kontrak untuk tahan masyarakat yang dijadikan lahan pertambangan. Namun, ketika Antam mengambil alih perusahaan tersebut tidak melakukan pembayaran ganti rugi atas tanah masyarakat.

“Proses perekrutan karyawan Antam juga sebagain besar menggunakan warga daerah lain. Sehingga angka pengangguran meningkat,” ucap Hery.

Padahal, sambung Hery, warga setempat berharap Antam melibatkan mereka sebagai pekerja tambang untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa. Bahkan, kerap terjadi banjir di desa ini yang berasal dari wilayah pertambangan.

Hery bilang banjir terjadi lantaran PT Antam tidak membangun bendungan kecil, bahkan setelah adanya kerja sama operasional dengan PT Lawu. Dampak lingkungan lainnya adalah terjadi pendangkalan pantai karena tidak adanya pengelolaan pertambangan oleh perusahaan, setidaknya 11 (IUP) yang sebelumnya melakukan eksploitasi di Blok Mandiodo.

“Tidak adanya pemeliharaan jalan umum baik dari pihak perusahaan maupun dari pihak pemerintah, membuat masyarakat lokal belum pernah merasakan jalan yang layak di desa mereka,” jelasnya.

Sementara di Desa Tapunggaya, sambung Hery, pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Antam sempat terhenti akibat adanya lahan masyarakat yang belum dibebaskan. Selain itu, hanya 10 persen masyarakat desa tersebut yang dipekerjakan. Sementara sisanya berasal dari daerah lain.

“Ini berbanding terbalik dengan kondisi sebelum Antam mengambil alih WIUP tersebut. Di mana tenaga kerja sebagian besar dari masyarakat lokal,” jelasnya.

Menurut Hery, hanya Desa Mandiodo yang merasakan manfaat pengelolan Blok Mandiodo oleh Antam, di mana terdapat kegiatan CSR ketika pihak PT Antam Tbk mengambil alih WIUP baik berupa pembangunan fisik maupun beasiswa.

Antam juga diharapkan dapat memberdayakan UMKM lokal.

“Masyarakat Desa Mandiodo juga berharap PT Antam Tbk dapat membuka lapangan kerja bagi warga lokal dan segera menyelesaikan tanah masyarakat yang belum dibebaskan,” ucapnya.