Bagikan:

JAKARTA - Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menilai, pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall bukan menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah penurunan muka tanah (land subsidence) di Pesisir Jakarta dan kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa.

Menurut Elisa, pemerintah hanya memakai alasan persoalan tersebut untuk membangun sebuah proyek besar dengan anggaran jumbo. Namun, tak juga menyelesaikan persoalan yang ada.

"Soal pemindahan ibu kota atau penurunan muka tanah tersebut selalu dipakai berulang-ulang menjadi alasan untuk pindah ibu kota, alasan untuk membuat proyek sangat besar dan mahal, seperti tanggul laut, tanggul pantai atau ada yang menyebutnya sebagai Giant Sea Wall," ucap Elisa dalam Diskusi Dampak Giant Sea Wall (GSW) terhadap Kawasan Pantai Utara Jawa secara virtual, Jumat, 12 Januari.

"Tetapi, kami melihat bahwa mekanisme pembangunan infrastruktur di Jakarta itu memang cenderung menggunakan alasan kerusakan lingkungan itu sebagai alasan untuk bikin proyek besar dan mahal," tambahnya.

Elisa menuturkan, bahwa dari era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo (Jokowi) maupun hingga pergantian presiden di tahun ini, belum ada yang mengetahui cara untuk menghentikan penurunan muka tanah tersebut.

Dia menilai, pemerintah hanya fokus pada pembangunan proyek-proyek besar dengan anggaran cukup fantastis, tanpa menyelesaikan persoalan yang ada secara menyeluruh.

"Kalau kami melihat ada berbagai macam skema dari era Fauzi Bowo, dari menterinya masih Djoko Kirmanto sampai Bapak Basuki, presidennya dari SBY sampai ke presidennya mau ganti lagi, itu namanya ganti-ganti. Entah itu NCICD, updated NCIDC atau great garuda," ujarnya.

"Tetapi, kalau kami baca dokumennya satu persatu tidak ada satupun dalam skema itu tentang bagaimana caranya menghentikan penurunan muka tanah," sambungnya.

Lebih lanjut, Elisa mengganggap bahwa hingga saat ini pemerintah belum ada yang mendiskusikan terkait solusi untuk menghentikan terjadi penurunan muka tanah itu.

"Jadi, (pemerintah) sama sekali tidak membicarakan itu. Yang mereka bicarakan adalah bagaimana caranya bikin tanggul, pompanya di mana, butuh biayanya berapa, lalu nanti skema untuk pembiayaannya maka harus reklamasi berapa, hitung duitnya berapa, bikin jalan tol. Tapi, tidak ada yang berbicara soal bagaimana menghentikan penurunan muka tanah (land subsidence)," ungkapnya.

Dengan demikian, lanjut Elisa, pemerintah hanya terkesan menyelesaikan persoalan untuk jangka waktu pendek saja dan belum mengetahui solusi untuk jangka panjangnya.

"Jadi seperti orang kena kanker, sudah kena kanker paru-paru dia cuman kemoterapi, tapi dia enggak berhenti merokok. Jadi, membuat tanggul tanpa menyelesaikan masalah kenapa (permukaan tanah) turun, ya, itu cuman mengobati sedikit. Nanti 20 tahun lagi atau bahkan 10 tahun lagi kami akan menghadapi masalah yang sama," pungkasnya.