JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok.
Adapun dalam beleid tersebut, ditetapkan pajak rokok elektrik adalah 10 persen dari cukai rokok. Besaran tarif ini sama seperti tarif yang ditetapkan dalam ketentuan sebelumnya, yakni PMK 115/2013.
Pajak Rokok yang dimaksud dalam PMK ini termasuk pajak rokok elektrik. Hal ini telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro menyampaikan tujuan diterbitkannya PMK ini sebagai upaya mengendalikan konsumsi rokok oleh masyarakat. Untuk itu, peran para pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha rokok elektrik dalam mendukung implementasi kebijakan ini menjadi sangat penting.
"Pemberlakuan Pajak Rokok atas Rokok Elektrik (REL) pada tanggal 1 Januari 2024 ini merupakan bentuk komitmen Pemerintah Pusat dalam memberikan masa transisi pemungutan pajak rokok atas rokok elektrik sejak diberlakukan pengenaan cukainya di pertengahan tahun 2018," Jelasnya dalam keterangan resminya, dikutip Minggu 31 Desember.
Sebagai informasi, rokok elektrik merupakan salah satu barang kena cukai sebagaimana amanat dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur bahwa cukai dikenakan terhadap barang kena cukai yang salah satunya adalah hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL).
Pengenaan cukai rokok terhadap rokok elektrik akan berkonsekuensi pula pada pengenaan pajak rokok yang merupakan pungutan atas cukai rokok (piggyback taxes). Namun pada saat pengenaan cukai atas rokok elektrik pada tahun 2018, belum serta merta dikenakan Pajak Rokok.
Hal ini merupakan upaya pemberian masa transisi yang cukup atas implementasi dari konsep piggyback taxes yang telah diimplementasikan sejak 2014 yang merupakan amanah dari Undang Undang Nomor 28 tahun 2009.
Deni menjelaskan pada prinsipnya, pengenaan pajak rokok elektrik ini lebih mengedepankan aspek keadilan, mengingat rokok konvensional dalam operasionalnya melibatkan petani tembakau dan buruh pabrik, yang telah terlebih dahulu dikenakan pajak rokok sejak tahun 2014, selain untuk pendapatan negara.
Menurut Deni dalam jangka panjang penggunaan rokok elektrik berindikasi mempengaruhi kesehatan dan bahan yang terkandung dalam rokok elektrik termasuk dalam barang konsumsi yang perlu dikendalikan.
Adapun penerimaan cukai rokok elektrik pada tahun 2023 hanya sebesar Rp1,75 triliun atau hanya sebesar 1 persen dari total penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dalam setahun.
Deni mengatakan kebijakan pengenaan pajak rokok elektrik ini juga merupakan kontribusi bersama antara pemerintah dan para pemangku kepentingan terutama pelaku usaha rokok elektrik yang diharapkan dapat dirasakan manfaatnya secara optimal oleh masyarakat.
"Paling sedikit 50 persen dari penerimaan pajak rokok ini diatur penggunaannya (earmarked) untuk pelayanan kesehatan masyarakat (Jamkesnas) dan penegakan hukum yang pada akhirnya mendukung pelayanan publik yang lebih baik di daerah," Pungkasnya.