Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan program Prakerja merupakan program Pemerintah yang memberikan pelatihan dengan skala besar. Sebelum ada Prakerja, pelatihan dari seluruh K/L hanya berjumlah sekitar 870 ribu orang per tahun.

“Namun, Prakerja terbukti sebagai initial effort berskala besar, menggunakan mekanisme pasar, dan inklusif. Prakerja berkolaborasi dengan berbagai pihak, pemerintah dan swasta untuk mewujudkan hal ini,” ungkapnya dalam keterangan resminya, Jumat 24 November.

Pada 2045, diproyeksi jumlah tenaga kerja Indonesia akan mencapai 233 juta, dan berdasarkan data dari A.T. Kearney (2023) disebutkan bahwa 50 persen tenaga kerja Indonesia perlu dilatih.

Hal ini berarti bahwa terdapat sekitar 117 juta tenaga kerja Indonesia yang perlu dilatih untuk mencapai target tersebut. Sementara, jumlah penerima manfaat Prakerja hingga saat ini baru mencapai 17,5 juta orang, sehingga jumlah penerima Prakerja saat ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan pelatihan semua tenaga kerja.

Airlangga mengatakan pemerintah telah mendirikan digital center di KEK Nongsa Batam serta Apple Academy, lalu ada program Kampus Merdeka yang salah satunya bekerja sama dengan IBM Academy yang menawarkan kelas pembelajaran untuk Hybrid Cloud dan Artificial Intelligence (AI).

“Pemerintah sudah mengeluarkan super deduction tax, karena kami tidak bisa bergerak sendiri, melainkan perlu kerja sama dengan swasta,” ujarnya.

Akan tetapi, pusat pelatihan tersebut mempunyai kapasitas atau kuota yang terbatas, sedangkan kalau melalui Prakerja sudah bisa melatih jutaan secara daring. Hal itu sejalan untuk merespon tren kerja hybrid.

Terkait skill-first policies, yang menekankan bahwa pendidikan atau gelar itu penting, namun pengembangan skill adalah yang utama untuk dapat bekerja dengan baik di tempat kerja.

Prakerja merupakan eksperimen yang berhasil menjawab tiga poin utama terkait kebijakan Pemerintah yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan skill masa depan angkatan kerja Indonesia, yaitu skill-first policies, yaitu fokus pada keterampilan bukan gelar atau degree, kemudian mendukung cara kerja hybrid (kombinasi WFO dan WFH), dan mengembangkan keterampilan Artificial Intelligence (AI).

Airlangga menceritakan bagaimana awal Kartu Prakerja yang dimulai tanpa definisi, hanya berdasar kepada penugasan dari Presiden untuk membuat program pelatihan untuk jutaan orang secara digital/daring, sehingga harus dibuat startup Kartu Prakerja dari awal.

Namun, progres Program Kartu Prakerja terkendala dengan adanya pandemi Covid-19 sehingga programnya diubah menjadi semi-bansos.

“Ini selalu dilakukan Pemerintah, kebetulan Kemenko Perekonomian cukup persisten, selain Kartu Prakerja kami juga mengawal pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja. Jadi, yang penting adalah resiliensi sama seperti kita membangun startup,” tutup Airlangga.