Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan strategi yang digunakan untuk mempercepat target net zero emission (NZE) di sektor industri yakni dengan meminimalkan komponen limbah industri dan menekan emisi dari penggunaan energi.

“Salah satu langkah untuk mempercepat target Net Zero Emissions (NZE) adalah dengan meminimalkan komponen limbah industri dan IPPU (Industrial Process and Product Use) di industri,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dikutip dari ANTARA, Jumat, 13 Oktober.

Kemenperin mencatat saat ini sektor industri berkontribusi sekitar 15-20 persen dari total emisi gas rumah kaca nasional.

Untuk itu, Kemenperin fokus menjalankan strategi dekarbonisasi di sektor industri dengan merangkul para pemangku kepentingan terkait.

Bila dilihat dari sumber emisinya, 60 persen berasal dari penggunaan energi, sedangkan 25 persen emisi dari limbah industri, dan 15 persen berasal dari IPPU.

Agus mengungkapkan, emisi yang dominan berasal dari penggunaan energi akan terus ditekan jumlahnya dengan meningkatkan sinergi dengan Kementerian/Lembaga lain, serta stakeholder yang berperan penting dalam penyediaan sumber energi yang bersih.

Hal itu lantaran sejumlah subsektor industri, misalnya alat transportasi, memiliki emisi siklus hidup (Life Cycle Emissions) yang cukup tinggi.

Life Cycle Emissions menunjukkan jumlah total gas rumah kaca dan partikel yang dikeluarkan selama siklus hidup kendaraan mulai dari produksi hingga penggunaan dan pembuangan (disposal).

Agus memberikan perbandingan, berdasarkan studi Polestar dan Rivian tahun 2021 di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Pasifik yang dilaporkan pada Polestar and Rivian Pathway Report (2023), selama siklus hidupnya, emisi yang dihasilkan kendaraan listrik lebih rendah, yaitu 39 tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2e), dibandingkan kendaraan listrik hybrid (HEV) sebesar 47 tCO2e, dan kendaraan konvensional atau internal combustion engine (ICE) yang mencapai 55 tCO2e.

Tingginya Life Cycle Emissions kendaraan konvensional dan kendaraan listrik hybrid terutama berasal dari faktor emisi gas buang saat pemakaian (tailpipe emissions), masing-masing sebesar 32 tCO2e (57 persen) dan 24 tCO2e (51 persen). Sedangkan, pada kendaraan listrik, faktor produksi energi listrik menjadi faktor utama penghasil emisi, yaitu 26 tCO2e (66,7 persen).

Jejak karbon juga terdapat pada produksi baterai kendaraan listrik BEV dan kendaraan listrik hybrid, masing-masing 5 tCO2e dan 1 tCO2e.

Produksi baterai dan komponen lainnya tersebut memerlukan mineral tambang dan energi yang signifikan.

Namun demikian, saat ini telah berkembang inovasi dan perbaikan dalam rantai pasok baterai dan teknologi pengemasan untuk mengurangi dampak ini.

Selama pemakaian, kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi gas buang karena menggunakan motor listrik dan baterai sebagai penggeraknya.

Sedangkan kendaraan konvensional menghasilkan emisi langsung dari proses pembakaran BBM tergantung pada jenis dan kualitas bahan bakar yang digunakan (misalnya, bensin atau diesel) dan efisiensi mesin.

Namun, penting untuk dicatat bahwa dampak emisi selama siklus hidup kendaraan sangat dipengaruhi oleh sumber energi listrik yang digunakan.

Emisi kendaraan listrik akan jauh lebih rendah jika energi listrik yang digunakan untuk proses produksi dan saat mengisi baterai berasal dari energi bersih yang ramah lingkungan.

“Sehingga, harapannya dekarbonisasi sektor kelistrikan dapat membantu mengurangi penggunaan fase emisi pada BEV,” jelas Menperin.

Secara umum, strategi dekarbonisasi di sektor industri terdiri atas pemanfaatan teknologi hemat energi dan rendah emisi, penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), efisiensi energi, air, dan bahan baku, juga manajemen limbah dan ekonomi sirkular.

“Kami juga mendorong sektor industri untuk lebih proaktif, sehingga pencapaian target NZE di sektor industri harus bisa tercapai pada tahun 2050, atau 10 tahun lebih cepat dari target NZE nasional pada tahun 2060,” kata Menperin.