Harga CPO Indonesia Ditargetkan Terbentuk Awal 2024
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Didid Noordiatmoko (foto: Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian PerdagAngan (Kemendag) melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) resmi meluncurkan Bursa CPO. Ditargetkan  harga acuan CPO untuk kegiatan ekspor akan terbentuk di awal 2024.

Hal ini diungkap Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Didid Noordiatmoko dalam acara peresmian bursa CPO, di Hotel Mulia, Jakarta, Jumat, 13 Oktober.

“Sejak 23 Oktober nanti kita sudah mulai membentuk price discovery. Dan dengan ini upaya keras meningkatkan kredibilitas bursa, kami berharap pada triwulan pertama di 2024 sudah mampu mewujudkan price reference,” ujar Didid.

Lebih lanjut, Didid menjelaskan pemerintah tidak mewajibkan seluruh pengusaha sawit melakukan transaksi, terutama ekspor melalui Bursa CPO. Namun, kata dia, saat ini sudah ada 18 pelaku usaha terdaftar dalam bursa CPO.

“Saat ini sudah bergabung sebanyak 18 pelaku usaha CPO yang siap untuk berdagang melalui bursa ICDX,” tutur Didid.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan saat ini harga acuan CPO memang belum terbentuk dalam bursa tersebut. Namub, Kemendag menargetkan Bursa CPO bisa membentuk harga acuan yang adil, transparan, dan juga real-time.

“Belum, kan baru keluar hari ini,” ujarnya.

Di samping itu, Zulhas sapaan akrab Zulkifli mengatakan pembentukan bursa CPO ini berangkat dari kondisi Indonesia yang menjadi produsen CPO terbesar di dunia, namun harga acuannya masih mengacu pada negara lain.

“Kita sudah lama ingin punya bursa CPO. Kita yang juara dunia produksi CPO, itu yang menjadi rujukan harga CPO dunia. Jadi kalau orang tanya harga bursa CPO, di kita. Ya selama ini belum, gak terjadi. Kita bahkan ikut Rotterdam dan Malaysia,” katanya.

Menurut Zulhas, bursa CPO ini akan menguntungkan pengusaha. Sebab, harga acuan CPO yang dikeluarkan negara lain seperti Rotterdam, biasanya terlalu tinggi. Sehingga, pengusaha harus membayar bea keluar dan pungutan ekspor yang lebih besar.

“Seperti Rotterdam itu kadang-kadang lebih tinggi. Lah kalau lebih tinggi harganya, bayar pajaknya mahal, pungutan ekspor dan bea keluar lebih mahal. Karena acuannya, Rotterdam kan gak punya sawit, tapi dia menjadi acuan harga. Tentu akan sangat merugikan teman-teman pengusaha sendiri,” ujarnya.