Bagikan:

JAKARTA - Rencana pemerintah meluncurkan bursa fisik CPO dalam waktu dekat menuai perhatian publik. Direktur Segara Research Institute Piter Abdullah menyarankan pemerintah agar lebih berhati hati sebelum melangkah terlalu jauh. Ia beralasan, setiap regulasi baru akan berdampak luas ke ekosistem industri sawit, terutama bagi para petani sawit dan perusahaan.

“Intinya, jangan sampai peraturan baru malah membebani kalangan pelaku usaha, baik untuk korporasi besar maupun para petani. Kelapa sawit adalah komoditas unggulan nasional dan karena itu perlu didukung oleh kebijakan yang kondusif bagi iklim usaha,” kata Piter dalam acara peluncuran dan diskusi White Paper Perkembangan dan Kebijakan Industri Sawit Indonesia pada Senin 2 Oktober.

Piter berharap hasil kajian Segara Institut ini bisa menjadi salah satu pertimbangan bagi pemerintah dalam meluncurkan kebijakan baru terkait industri sawit.

“Pemerintah pernah bikin blunder sewaktu menyetop ekspor CPO untuk meredam gejolak harga minyak goreng dalam negeri pada Januari 2022 silam. Kebijakan ini terbukti bikin kisruh, merugikan petani dan akhirnya direvisi. Kami berharap kejadian ini tidak terulang,” kata Piter.

Maka itu, Piter melanjutkan, ketika pemerintah merancang konsep pembentukan bursa CPO agar Indonesia menjadi penentu harga CPO dunia, Segara mengambil inisiatif untuk mengingatkan pemerintah agar lebih berhati hati dalam melangkah meski punya itikad baik.

“Para perancang kebijakan juga pasti mengerti bahwa pembentukan bursa CPO tidak serta merta menempatkan kita sebagai penentu harga, menggantikan bursa Rotterdam atau Malaysia. Butuh waktu yang sangat panjang dan paling penting mendapatkan pengakuan dari pelaku pasar. Kredibilitas di market akan terbangun jika bursa CPO ini tidak mendistorsi praktik bisnis yang wajar atau melakukan intervensi pasar secara berlebihan,” kata Piter.

Industri sawit telah berkembang dan memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Hilirisasi yang saat ini dicanangkan sebagai salah satu motor pendorong pencapaian Indonesia emas tahun 2045 sesungguhnya telah berjalan cukup lama. Kontribusi industri sawit terhadap perekonomian Nasional tidak hanya dalam bentuk nilai tambah tetapi juga dalam bentuk ekspor dan penyerapan tenaga kerja.

Produksi utama industri sawit di Indonesia adalah dalam bentuk CPO dan menjadi yang terbesar di dunia. Pada tahun 2022 Produksi CPO Indonesia mencapai 46,73 juta ton. Sementara itu total konsumsi CPO nasional pada tahun 2022 hanya sebesar 20,97 juta tonalias terjadi ekses supply sebesar kurang lebih 26 juta ton.

Ekses supply CPO yang mencapai puluhan juta ton adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dan ekspor adalah jalan keluarnya. Upaya peningkatan daya serap domestic memang dibutuhkan dan perlu dilakukan secara konsisten. Tetapi ekses supply terlalu besar dan upaya peningkatan daya serap domestic melalui pengembangan industry hilir tidak akan mungkin bisa menutup seluruh produksi sawit nasional.

“Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa ekspor adalah sebuah keniscayaan atau bahkan keharusan agar seluruh produksi sawit Indonesia terserap, menciptakan nilai tambah sekaligus memberikan kesejahteraan bagi pengusaha sawit yang sebagian diantaranya adalah para petani sawit,” kata Piter.

Ekspor CPO Indonesia terus menghadapi berbagai hambatan oleh negara-negara tujuan ekspor utama yaitu China, India dan uni Eropa. Berbagai hambatan terhadap ekspor CPO, baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif, akan berdampak negative terhadap industri sawit nasional dan yang paling dirugikan adalah petani sawit. Pemerintah sejauh ini telah melakukan berbagai upaya untuk menghadapi hambatan-hambatan ekspor CPO tersebut. Upaya pemerintah dalam menghadapi hambatan-hambatan ekspor CPO layak mendapatkan apresiasi.

Di tengah upaya pemerintah menghadapi hambatan-hambatan ekspor dari pihak eksternal tersebut pemerintah diharapkan tidak menciptakan hambatan ekspor dari dalam negeri.

“Pengalaman pada tahun 2022 membuktikan bahwa setiap hambatan ekspor (ditengah kondisi ekses supply) akan berdampak negative terhadap industry sawit dan ketika itu terjadi maka yang paling dirugikan adalah petani sawit,” kata Piter.

Maka itu, rencana pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) guna mengatur lebih lanjut ekspor CPO dan produk-produk turunannya perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.

Pengaturan ekspor CPO dan produk-produk turunannya yang terlalu ketat bisa menjadi boomerang, merugikan industri sawit, sementara di sisi lain tidak akan mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan dari pengaturan ekspor itu sendiri.

Membatasi ekspor CPO dan produk-produk turunannya tidak otomatis akan meningkatkan ketersediaan minyak goreng sebagai salah satu barang kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.

Hambatan ekspor secara langsung akan mengurangi ekspor dan pendapatan pemerintah, mengganggu rantai pasok industry sawit dalam negeri, yang pada gilirannya akan berdampak negative terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang paling buruk, adalah dampaknya kepada para petani sawit yang akan menjadi korban pertama ketika ekspor CPO dan produk turunannya terganggu.

Mewajibkan ekspor melalui bursa berjangka dalam negeri juga tidak akan serta merta menghilangkan peran bursa Rotterdam dan Malaysia sebagai rujukan harga CPO dunia.

“Perlu dipahami bahwa untuk menjadi rujukan harga global, pembentukan harga di sebuah bursa harus teruji kredibel melalui sebuah mekanisme pasar yang berjalan sempurna, tanpa ada sedikitpun intervensi pasar. Bursa CPO di Rotterdam dan Malaysia sudah melalui proses pengujian yang begitu panjang dan telah mendapatkan pengakuan secara global,” katanya.

Keinginan pemerintah membentuk dan mengembangkan bursa CPO di dalam negeri tentu saja harus didukung. Tetapi untuk menjadikan bursa CPO di dalam negeri sebagai bursa yang diakui global dan harga CPO di bursa tersebut menjadi rujukan semua pelaku perdagangan CPO global memerlukan waktu yang panjang, dan harus dipastikan tidak ada sedikitpun bentuk intervensi pasar.

“Bentuk-bantuk intervensi pasar yang harus dihindari, misalnya adalah: memaksa pelaku pasar untuk melakukan transaksi perdagangan hanya di bursa CPO tertentu, dan mengkaitkan transaksi CPO di bursa dengan berbagai kebijakan dan kepentingan dari pemerintah,” tutup Piter.