JAKARTA - Pemerintah tengah menggodok revisi Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Dengan adanya revisi ini, peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi terancam akan dibubarkan.
Mengenai hal tersebut, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas) Moshe Rizal mengungkapkan, pihaknya sudah sejak lama menanti revisi UU Migas yang memakan waktu hingga belasan tahun.
Menurutnya, permasalahan hal yang menyebabkan lamanya revisi UU Migas ini tidak menjadi perhatian bagi pelaku usaha karena pelaku usaha hanya ingin berkontrak dengan lembaga resmi pemerintah.
"Terserah mau namanya SKK Migas, Badan Usaha Khusus Migas (BUK Migas) atau sistem organisasi seperti apa, kita serahkan ke pemerintah yang penting berkontrak dengan pemerintah," ujar Moshe dalam ENergy Corner yang dikutip Rabu, 20 September.
Menurutnya, terdapat tiga hal yang menjadi perhatian pelaku usaha di sektor migas antara lain kepastian hukum, kemudahan dalam berusaha dan masalah insentif yang bisa terbuka dan bisa didiskusikan.
"Intinya kita mau apapun prosesnya, kontrak dengan siapapun setidaknya kita ada kepastian hukum, kemudahan dalam berusaha dan masalah insentif yang bisa terbuka Tiga hal itu," tegas Moshe.
Moshe menambahkan jika alotnya proses revisi RUU kigas ini justru mempengaruhi iklim investasi di Indonesia.
"Investor jadi melihat, ini hal sepele bagi mereka, tapi bagi pemerintah ini bukan hal sepele. Kita simpel. Kita mau berbisnis di sini," kata dia.
BACA JUGA:
Dengan keluarnya UU Migas ini, lanjut Moshe, pelaku industri hulu migas makin melihat komutmen pemerintah dalam memajukan industri migas.
"Kan yang penting bagi Indonesia adalah energi security dan ketahanan energi nasional," pungkas Moshe.