Bagikan:

BALI - Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan, Deklarasi ASEAN Inclusive Business (IB) Summit 2023 yang mana Kementerian Koperasi dan UKM sebagai tuan rumah, bisa menjadi tolok ukur pada penyelenggaraan kegiatan serupa di waktu-waktu berikutnya.

"Ya, ide-ide yang kami bahas di IB Summit ke-6 ini bisa diterima dengan baik. Bahkan, mereka (UN ESCAP dan ASEAN) tadi bilang akan dijadikan semacam benchmark, the best one," kata Menteri Teten ditemui usai melakukan pertemuan bilateral dengan UN ESCAP di kawasan Nusa Dua, Bali, pada Kamis, 24 Agustus.

Menteri Teten mengatakan, Indonesia dalam konsultasi dengan ASEAN Coordinating Committee on Micro, Small and Medium Enterprises, dan dukungan dari United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific dan Organisation for Economic Co-operation and Development, serta dari World Benchmarking Alliance, telah mengembangkan "Rencana Aksi untuk Promosi Bisnis Inklusif di ASEAN (2023-2027)".

Rencana Aksi berupa dokumen menguraikan area prioritas yang dibawa pada agenda Inclusive Business di ASEAN. Setelah bertukar pengalaman tentang upaya mempromosikan bisnis inklusif di negara masing-masing, delegasi ASEAN sepakat mengadopsi sebuah Pernyataan Bersama Menteri tentang "Deklarasi mengenai Promosi Model Bisnis Inklusif: Memberdayakan UMKM untuk Pertumbuhan yang Adil".

Oleh karena itu, dalam pertemuan dengan UN ESCAP, Teten mengusulkan supaya agenda Inclusive Business (IB) difokuskan pada agrikultur dan rantai pasok makanan (supply food), karena ASEAN memiliki potensi untuk menjadi pusat produksi agrikultur untuk hal itu.

"Kami bicara dengan UNESCAP supaya gagasan IB Summit dilanjutkan di Laos, supaya ini betul-betul menjadi pengembangan ekonomi di kawasan (ASEAN)," ujar Teten.

Teten mengungkapkan, ada beberapa catatan penting untuk sektor agrikultur, meliputi struktur kelembagaan dan akses pembiayaan. Di sisi sektor kelembagaan, petani-petani kecil harus diubah dari individual farmer ke kolektif farmer.

"Untuk kolektif farmer dengan pengalaman Indonesia sudah mulai, India, Thailand dengan koperasi dan non koperasi. Akan tetapi, harus juga didukung dengan kebijakan pemerintah di setiap negara," tuturnya.

Sementara dari sisi pembiayaan, Indonesia dan negara lain di Asia Tenggara telah memiliki banyak pembiayaan murah untuk usaha skala mikro. Meski begitu, pembiayaan untuk agregator seperti koperasi belum banyak.

"Untuk middle man-nya agregator seperti koperasi belum punya pembiayaan yang murah, padahal ini kan middle man membeli dari petani, harus dijual lagi ke market, baik buyer (pembeli) dalam negeri maupun luar negeri. Skema pembiayaan yang perlu juga dibicarakan," imbuhnya.