Bagikan:

JAKARTA - Berdasarkan proyeksi International Renewable Energy Agency (IRENA), dibutuhkan suntikan dana sebesar 29,4 triliun dolar AS atau Rp448,23 kuadriliun (kurs Rp15.246 per dolar AS) ingga tahun 2050 untuk melaksanakan transisi energi ASEAN dengan skenario 1,5 derajat C dengan skema 100 persen energi terbarukan.

"Menurut Laporan IRENA Renewable Energy Outlook for ASEAN, untuk melaksanakan transisi energi, ASEAN membutuhkan pendanaan sebesar USD29,4 triliun hingga tahun 2050 dalam skenario 1,5?C dengan 100% energi terbarukan," ujar Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam acara Sustainable Energy Financing And Mobilization of Energy Investments To Ensure Energy Security And Achieve NDCs In ASEAN yang dikutip Kamis 24 Agustus.

Arifin mengatakan, dana ini ditujukan untuk pengembangan pembangkit energi terbarukan, transmisi (nasional dan internasional), distribusi, dan penyimpanan, pasokan biofuel, elektrifikasi (mobil EV dan pengisi daya EV), serta dalam mempertimbangkan perspektif biaya yang lebih luas yang mencakup biaya bahan bakar, pengoperasian dan pemeliharaan.

"Untuk membiayai langkah-langkah ini, pembiayaan energi berkelanjutan sangat dibutuhkan. Hal ini dapat dicapai melalui berbagai cara, antara lain, pembiayaan campuran yang bentuknya bisa bermacam-macam, seperti hibah, pinjaman lunak dengan persyaratan yang menguntungkan, dan investasi bersama. Kedua, Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) dan Pendanaan Internasional dengan mengakses dana iklim internasional, seperti Green Climate Fund, dapat menyediakan sumber daya tambahan untuk inisiatif energi bersih," beber Arifin.

Arifin mengungkapkan, selain pendanaan lingkungan yang kondusif bagi investor juga hal yang penting untuk memobilisasi investasi energi ramah lingkungan dan hal ini dapat diciptakan melalui pemberian insentif, kerangka kebijakan yang jelas dan mendukung, termasuk rencana dan peraturan energi jangka panjang dapat membangun kepercayaan investor. Terakhir, Prosedur Investasi yang Transparan.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Yudo Dwinanda Priaadi membenarkan bahwa untuk melaksanakan transisi diperlukan pendanaan dan investasi dan hal ini menurutnya menjadi tantangan besar yang harus diatasi.

"Mendapatkan pendanaan dari negara-negara maju seperti Just Energy Transition Partnerships (JETP), Asia Zero Emission Communities (AZEC), dan Energy Transition Mechanism (ETM) sangatlah penting. Selain itu, pembiayaan ramah lingkungan yang inovatif seperti obligasi ramah lingkungan, perusahaan jasa energi (ESCO), dan skema pembiayaan lainnya didorong untuk dijajaki dan diterapkan," pungkas Yudo.