Bagikan:

JAKARTA - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menyinggung soal keadaan kahar fiskal yang berpotensi terjadi pada masa mendatang.

Menurut dia, setelah perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 masih menyisakan ruang kevakuman pengaturan di dalam konstitusi.

Pasalnya, sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan

kewenangan subjektif superlatif dan kewajiban hukum.

“Ini penting untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar,” ujarnya dalam Sidang Tahunan MPR pada Rabu, 16 Agustus.

Sebagai informasi, dalam Pasal 22 UUD 1945 yang terdiri atas tiga ayat, menjelaskan di ayat pertama dalam hal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Ayat kedua, peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR.

Sementara ayat ketiga, jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

“Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara,” tutur Bamsoet.

Adapun, kahar fiskal biasanya situasi kegentingan tertentu yang melanda keuangan negara (APBN) dan diperlukan keputusan strategis secara cepat dan mendasar. Kahar fiskal bisa menjadi masalah tersendiri dan berujung pada kegagalan keuangan negara apabila tidak dicapai kesepakatan antara pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif).

Sebagai contoh, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara guna mengatasi tekanan akibat pandemi COVID-19. Dalam beleid tersebut menetapkan keputusan pelebaran defisit APBN yang sedang berjalan.

Namun, dalam konteks ini parlemen (DPR) menyetujui inisiatif pemerintah sehingga dalam implementasinya tidak menemui permasalahan.