JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan terus mengikuti perkembangan ekonomi China yang menunjukan tanda perlambatan serta dampaknya bagi Indonesia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengungkapkan bahwa China merupakan salah satu mitra perdagangan strategis RI dan gejala slowdown diyakini bakal memberi efek rambatan ke ekonomi nasional. Meski begitu, Febrio menegaskan bahwa ekses yang ditimbulkan kali ini masih cukup terbatas.
“Kita lihat memang ada risiko dari perambatan ekonomi China walaupun (mereka) sudah me-reopening ekonominya,” ujar dia dalam konferensi pers APBN belum lama ini.
Febrio menjelaskan pasca dibukanya kembali aktivitas produktif di negara Asia Timur itu, tingkat produksi yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan.
“Ini juga terlihat dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur China yang masih di zona kontraksi,” tutur dia.
Sebagai informasi, reopening ekonomi China di awal tahun membawa harapan besar bagi kebangkitan ekonomi dunia. Pasalnya, China merupakan negara basis produksi global yang terhubung dengan rantai pasok dari banyak negara.
BACA JUGA:
Perlambatan ekonomi China bisa berarti tekanan bagi para negara penyuplai bahan baku. Begitupun sebaliknya, saat perekonomian mereka bergerak kencang maka demand untuk raw material cukup tinggi.
Mengutip informasi yang dirilis Kementerian Keuangan, diketahui bahwa PMI manufaktur China berada di level 49,2. Angka tersebut berada di bawah kategori ekspansi karena tidak mencapai level 50.
Sementara itu, Indonesia masih terus menunjukan laju positif dengan menorehkan PMI manufaktur sebesar 53,3 atau melanjutkan rekor ekspansif selama 23 bulan berturut-turut.
Adapun, pertumbuhan ekonomi China pada akhir kuartal II/2023 adalah sebesar 6,3 persen year on year (yoy) dan Indonesia tercatat sebesar 5,17 persen.